Yap Thiam Hien

“Mengabaikan ketidakadilan dalam bentuk apa pun sesungguhnya adalah perbuatan melanggar dan penuh dosa.”

(Yap Thiam Hien, 1913 — 1989)

 

Latar Belakang

 

Yap Thiam Hien lahir di Banda Aceh pada tanggal 25 Mei 1913, sebagai anak pertama dari pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Ia adalah cucu dari Kapitan Yap Hun Han, yang berimigrasi dari provinsi Guangdong, China, ke Bangka, sebelum akhirnya pindah ke Aceh.

Dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang kental dengan nuansa feodal, Yap Thiam Hien pun terbentuk menjadi pribadi pemberontak yang membenci segala bentuk penindasan atau kesewenang-wenangan. Ketika Yap berusia 9 tahun, ibunya meninggal. Kemudian, ia dan kedua adiknya dibesarkan oleh gundik kakeknya, seorang perempuan Jepang bernama Sato Nakashima.

Ketika Yap Sin Eng, ayah Thiam Hien, memutuskan untuk memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa, anak-anaknya pun memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan Eropa. Thiam Hiem pun bersekolah di Europesche Lagere School (Sekolah Eropa untuk pendidikan dasar – Red.), Banda Aceh. Kemudian, berlanjut ke MULO (Sekolah Eropa tingkat pendidikan menengah atau setara SMP – Red.) di Banda Aceh.Pada tahun 1920-an, Yap Sin Eng membawa Thiam Hien dan adiknya, Thiam Bong, pindah ke Batavia sehingga ia pun bersekolah di MULO Batavia, lalu meneruskan ke AMS A-II dengan program bahasa-bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta, dan akhirnya lulus pada tahun 1933. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia tinggal pada sebuah keluarga keturunan Jerman. Di sanalah awal mula ia mengenal gaya hidup Kristus dalam mewujudkan kasih, yang kemudian mendasari banyak prinsip hidupnya di kemudian hari. Pada masa itu pula, ia sangat tertarik akan sejarah dan banyak menghabiskan waktu membaca literatur berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin hingga menjadi fasih.

Keinginan Yap untuk mengenal iman Kristen berlanjut saat ia memasuki Sekolah Guru di Batavia, tempat ia menjadi aktivis pemuda dan guru sekolah minggu. Setelah mengikuti katekisasi dan dibaptis di GKI Perniagaan, Yap Thiam Hien pun menjadi seorang Kristen pada usia 25 tahun.Yap kemudian menjadi guru di Chinese Zendingschool, Cirebon, serta guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan di Christelijke School di Batavia. Pada tahun 1938, ia bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada tahun 1943. Seusai kemerdekaan, Yap melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, dan akhirnya meraih gelar Meester de Rechten (Master dalam bidang hukum – Red.)

 

Bekerja sebagai Advokat

 

Setelah kembali ke Indonesia, ia kemudian bekerja sebagai advokat yang banyak membela warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Pada tahun 1950,ia membuka kantor pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar, sebelum akhirnya membuka kantor pengacaranya sendiri pada tahun 1970. Sebagai seorang advokat, Yap banyak membela hak-hak kaum minoritas dan orang tertindas, dalam hal  ini etnis Tionghoa, yang banyak mengalami tindakan diskriminatif. Selain memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), Yap juga mendirikan BAPERKI, suatu organisasi massa yang awalnya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan politik orang-orang Tionghoa, yang mengantarnya menjadi anggota Konstituante (DPR pada era 1955 – Red.)

Dalam Pemilihan Umum 1955 nama Yap menjadi populer setelah menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia menjadi satu-satunya anggota konstituante yang menentang keberadaan pasal 6 UUD 1945 karena dianggapnya diskriminatif dengan konsep kepresidenan yang terlalu kuat.Sebagai seorang pengacara, uang tidak pernah menjadi tujuannya dalam membela perkara atau kasus seseorang. Motivasinya yang terbesar dalam membela seseorang adalah untuk melayani dan melindungi hak mereka di mata hukum. Hampir semua perkara yang ditanganinya selalu kental dengan isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, serta prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Meski hidup pada masa di mana belum ada kewajiban bagi para pengacara untuk melakukan pendampingan probono (membela klien yang berpenghasilan rendah dengan cuma-cuma -Red.), Yap Thiam Hien hampir selalu menangani kasus tanpa memungut bayaran dari kliennya. Menurut Yap Thiam Hien, “uang adalah tujuanyang tak dikedepankan dan karenanya tak kunjung datang, tetapi pendirian membuatnya bertahan”.

Yap menganjurkan agar setiap gereja mendirikan biro bantuan hukum untuk menolong mereka yang tidak memahami hukum dan tidak berdaya dalam membela haknya. Ide tersebut memang kemudian tidak dilakukannya di dalam gereja, tetapi bersama dengan Adnan Buyung  Nasution, Albert Hasibuan, dan beberapa orang lainnya, Yap menjadi pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sebuah lembaga bagi mereka yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di PHK, dan dilanggar hak-hak asasinya. Selain itu, ia juga turut merintis pembentukan Dewan HAM di Asia. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang duduk di Komisi Internasional Advokat yang berkedudukan di Jenewa, serta konsultan HAM Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa. Yap Thiam Hien juga merupakan orang yang berjasa dalam mendirikan Universitas Kristen Indonesia (UKI).

 

Kiprah sebagai Pengacara Pembela Hak Asasi

 

Kepeduliannya yang besar terhadap penegakan hukum dan kebenaran,berkali-kali ditunjukkannya pada pilihannya untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM dan kepada mereka yang tertindas. Ia pernah menulis artikel yang menganjurkan kepada Presiden Soekarno untuk membebaskan para tahanan politik yang menjadi musuh pemerintah berkuasa saat itu, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen. Mewakili Amnesty Internasional,Yap meminta supaya para Tapol PKI dibebaskan.

Kasusnya yang paling fenomenal adalah ketika membela Soebandrio,Wakil Perdana Menteri Kabinet Dwikora I, Kepala Badan Pusat Intelijen, dan Menteri Luar Negeri Kabinet Djuanda, yang dituduh terlibat penculikan sejumlah jenderal pada peristiwa 30 September.Dalam pembelaannya di sidang, Yap menyatakan bahwa memang benar Soebandrio bersalah menjadi pendukung Soekarno. Namun, pada waktu itu, semua orang pun menjadi pendukung Soekarno. Yap kemudian mengambil cerita Injil tentang seorang perempuan yang hendak dirajam oleh para pemuka agama dengan tuduhan berzina, dan mengutip ucapan Yesus kepada para pemuka agama itu, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa,hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”(Yohanes 8:7). Karena pembelaannya itu, Yap dikagumi di dunia internasional.

Kiprahnya tidak berhenti ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. Dalam peristiwa Malari (Lima Belas Januari) 1974, Yap memosisikan dirimembela para aktivis sehingga ia ditahan tanpa proses peradilan karena dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi secara besar-besaran. Kemudian, pada peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap juga maju di dalam sidang peradilan untuk membela para tersangka. Ia juga menjadi seorang tokoh yang sangat antikorupsi, dan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 karena kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.

Yap Thiam Hien meninggal dunia pada tanggal 25 April 1989, setelah dirawat selama 2 hari karena mengalami pendarahan usus dalam perjalanan tugasnya untuk menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di Brussel, Belgia. Berdasarkan sepak terjang dan kegigihannya dalam membela hak asasi manusia, namanya pun kemudian diabadikan sebagai penghargaan bagi mereka yang berjuang untuk menegakkan HAM.

 

Sumber : Sabda.Org / Sumber bacaan:

  1. _____ “Obor Pejuang Keadilan dan HAM Yap Thiam Hien”. Dalam

   http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1787-obor-pejuang-keadilan-dan-ham

  1. Dior, Christian. “Yap Thiam Hien, Sang Pendekar Keadilan”. Dalam

   http://vicaraveritas.com/?p=55

  1. Ismael, Andar. 2014. “Yap Thiam Hien” Dalam “Selamat Berpadu”.

   Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 127 — 131.

  1. _____ “Yap Thiam Hien”. Dalam

   http://id.wikipedia.org/wiki/Yap_Thiam_Hien

 

 

 

 

Comments

comments