AYAH PEMARAH (1)
Ayat bacaan: Efesus 6:4
=================
“Fathers, do not irritate and provoke your children to anger [do not exasperate them to resentment], but rear them [tenderly] in the training and discipline and the counsel and admonition of the Lord.”
Saya masih ingin mendasarkan renungan hari ini pada film “The Angriest Man in Brooklyn”. Kali ini saya akan lebih fokus kepada salah satu hubungan yang ingin diperbaiki oleh sang tokoh utama, yaitu antara dia dan anaknya. Ia sempat marah besar terhadap sang anak karena menolak untuk melanjutkan firma milik ayahnya dan lebih memilih untuk menekuni karir sebagai penari profesional. Si ayah memaksakan kehendaknya dan mengamuk habis-habisan. Ia kemudian mengusir anaknya dan membuang semua kartu nama yang sudah ia bikin ke jalan dari jendela atas. Ketika ia menyadari bahwa umurnya tinggal sebentar lagi, ia pun berusaha keras untuk memperbaiki hubungan. Sebuah adegan pemulihan yang digambarkan lewat adegan ayah yang berdansa dengan anaknya sangat mengharukan. Si anak memaafkan anaknya dan kembali merajut hubungan yang erat seperti saat ia masih kecil dengan ayahnya dan berada di sisi sang ayah hingga ajal menjemput.
Ada banyak hubungan antara ayah dan anak yang rusak di dalam keluarga. Ada yang beruntung masih sempat dipulihkan seperti kisah film tadi, tapi tidak sedikit pula yang terlambat atau sama sekali tidak pernah pulih. Benar, ada kalanya anak-anak bersikap buruk, bandel dan melawan sehingga hukuman memang kerap harus diberikan. Tetapi seringkali seorang ayah menjalani otoritasnya terlalu berlebihan. Para ayah ini bersikap terlalu keras dan kasar terhadap anaknya. Dengan alasan agar anak tidak menjadi besar kepala, mereka tidak mau memuji setiap perbuatan atau pencapaian baik dari si anak, tetapi akan marah habis-habisan kalau anaknya gagal menampilkan performa terbaik mereka. Gampang protes, mudah marah, tapi sulit memuji. Dan itu seringkali melukai hubungan antara ayah dan anak yang seharusnya bisa membuat si anak tumbuh menjadi lebih bijaksana dan tidak mengalami kerusakan gambar diri.
Seorang pendeta bercerita dalam konseling-konseling yang ia lakukan ia menemukan sebuah kesimpulan bahwa rata-rata dari mereka yang bermasalah ternyata berawal dari kehilangan figur ayah dalam hidup mereka. Itulah akar permasalahan yang paling sering ia temukan. Akarnya satu, yaitu kehilangan figur ayah, namun outputnya bisa timbul dalam bentuk masalah yang berbeda-beda. Ada yang bermasalah dengan kepribadian seperti menjadi tertutup, suka menyendiri atau menjadi orang yang selalu haus perhatian, mencari kebahagiaan lewat obat-obatan terlarang, terlibat pergaulan yang salah bahkan ada pula yang terjebak dalam seks bebas karena mereka selalu haus akan kasih sayang. Ada yang kemudian menjadi orang yang bersifat kejam dan banyak lagi bentuk-bentuk deviasi atau penyimpangan yang kemudian terbentuk pada diri seseorang bermula dari ketidakadaan figur seorang ayah dalam masa lalu mereka.
Banyak ayah yang dengan mudah menyerahkan tanggung jawab mengurus anak kepada ibu. Mereka mengira bahwa sebagai kepala rumah tangga tanggung jawab mereka hanya satu, yaitu cari uang. Mereka lupa peran sebagai suami dan ayah di rumah. Mengapa tidak, saya kan bekerja dari pagi sampai malam, sementara istri hanya diam di rumah? Wajar dong kalau saya tidak lagi punya waktu dan berminat untuk mengurusi perihal anak. Itu alasan yang sudah sangat umum dikemukakan oleh banyak ayah. Yang lebih memprihatinkan, ada banyak pula diantara para ibu yang juga melemparkan tanggung jawab ini kepada orang lain, baby sitter atau pembantu misalnya, karena mereka tidak mau repot. Jika hilang figur ayah saja sudah berat, apalagi hilang dua-duanya. Hal seperti ini jelas akan mengganggu pertumbuhan kepribadian mereka yang dapat berakibat fatal bagi masa depan anak-anak.
Mari kita kembali fokus kepada figur ayah, Alkitab berulang kali menyatakan betapa pentingnya bagi seorang ayah untuk berperan aktif secara langsung dalam pertumbuhan anaknya sejak kecil hingga beranjak dewasa. Meski peran ibu teramat sangat penting, figur ayah pun tidaklah kalah pentingnya. Anda bisa lihat bagaimana perilaku banyak anak yang tumbuh dibesarkan hanya oleh ibu tanpa ada figur ayah. Bagaimana jika kita sebagai ayah sudah terlalu capai bekerja? Itu tidak cukup sebagai alasan, karena biar bagaimanapun kita masih harus bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Bayangkan jika kita menjadi ayah-ayah yang kaku, kasar, tidak mau tahu terhadap mereka, terlalu keras bahkan ringan tangan, apa akibatnya nanti masa depan mereka?
(bersambung)
Disadur Dari Renungan Harian OnLine