MENGAPA MANUSIA TIDAK PERNAH PUAS?
Manusia adalah makhluk pencari kepuasan. Ia memiliki segudang keinginan dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Maka itu ia disebut Homo Economicus. Disamping keinginan dan kebutuhan fisikal, ia juga adalah pencari kepuasan social. Ia butuh orang lain, ia butuh relasi. Ini menjadi suatu kebutuhan dasar pada diri manusia, maka itu ia disebut homo socius.
Kedua sifat dasar manusia, yaitu homo economicus dan homo socius ini berjalan pada jalurnya masing-masing, namun ada kalanya mereka harus berjalan beriringan. Akibatnya, terkadang di dalam diri manusia harus mengalami tabrakan-tabrakan yang tidak dapat ia hindari di dalam pemuasan kedua sifat ini. Contohnya di dalam dunia bisnis, seseorang menginginkan untuk mendapat keuntungan materi yang lebih untuk memajukan ekonominya, namun untuk mencapai hal itu ia harus rela menjatuhkan saingan bisnisnya. Akibatnya, hal-hal kotor harus terjadi dan menodai relasi antar businessman itu. Akibat tabrakan kedua sifat ini, manusia disebut sebagai homo homini lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi sesamanya.
Manusia memahami bahwa ia makhluk yang mencari kepuasan, akan tetapi manusia tidak pernah dapat menjawab ukuran kepuasaannya itu sampai pada taraf seperti apa dan ukuran yang bagaimana? Akibatnya ia tidak pernah dapat menentukan dirinya sudah mencapai kepuasan atau belum. Malahan yang terlihat adalah manusia menjadi makhluk yang “rakus” dalam pencaharian kepuasannya itu.
Pertanyaan yang tepat untuk berbicara tentang hal ini adalah bagaimanakah caranya agar manusia dapat mencapai kepuasan dirinya yang sejati? Permasalahannya adalah tolok ukur manusia dalam mencari kepuasannya adalah hal-hal seputar material dan atau barang-barang yang fana dan tidak kekal. Manusia akan terus menerus mengalami kehausan ketika ia menggantungkan tingkat kepuasan dirinya kepada hal-hal yang bersifat sementara.
Kepuasan yang sejati tolak ukurnya adalah Yesus Kristus. Blaise Pascal mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat sebuah ruang kosong yang hanya dapat ditempati oleh Allah. Tetapi, selama ini, manusia salah menempatkan sesuatu di dalam ruang kosong itu. Manusia mengisi ruang kosong itu dengan hal-hal fana dan bukan Allah. Akibatnya ia selalu menjadi haus dan tidak pernah mencapai kepuasan. Ruang itu harus ia berikan untuk hadirat Allah menempatiNya. Ketika seseorang membiarkan Allah menempati ruang kosong di dalam dirinya, maka ia akan mengalami kepuasan yang sejati dan dapat berkata “cukup” pada hal-hal yang menantang ia untuk menjadi seorang serigala yang rakus. (Josua J. Sengge)