Perjuangan Iman Kristiani di Negara China

Kisah Nyata : Iman Ruth dan keluarganya

Setiap tempat memiliki cerita tersendiri tentang perjuangan iman dari misionaris-misionaris ataupun masyarakat awam yang memperjuangkan imannya.

Tidak sedikit dari mereka yang meninggal sebagai martir… mempertahankan keimanan mereka walaupun nyawa menjadi taruhannya.

Sampai hari ini-pun masih terdapat sesama kita di daerah tertentu yang hidupnya tidak jauh berbeda seperti misionaris-misionaris tersebut.

Bersyukurlah kita yang pada saat ini dengan leluasa dapat menyelenggarakan ibadah tanpa sembunyi-sembunyi… lebih terbuka tidak takut mengemukakan dasar keimanan kita akan Tuhan Yesus.

Bersyukur pula akan sesama yang memiliki sifat toleransi dan mampu menghormati serta menghargai keanekaragaman setiap orang.

Hendaklah kita bersyukur pada kehidupan yang indah dalam perbedaan… tanpa takut melihat hari esok.

Berikut adalah sharing salah satu cerita dari sekian banyak cerita tentang “Perjuangan Iman Kristiani di Negara Komunis China” yang memiliki populasi manusia terbanyak di dunia.

Juga menjadi salah satu cerita… goresan perjalanan sejarah dari negara ini tentang kekejaman “Tentara Merah”.

Tidak berfokus pada kejahatan “Tentara Merah” yang telah mereka lakukan pada saudara saudari kita dulu…. tapi pada kekaguman akan perjuangan iman di tengah penderitaan dan kekerasan…. pengorbanan nyawa dari seorang anak usia 11 tahun yang tidak takut akan ancaman dan penderitaan…

KEADAAN YANG BURUK DI PENJARA
Ruth duduk di atas lantai yang kotor. Perasaannya dipenuhi keinginan untuk memberontak karena bau busuk yang begitu menyengat dan meliputi udara di dalam sel. Ruth tidak bisa mengingat bau benda apa yang lebih busuk dari bau ruangan ini. Di dalam sel ini tidak ada toilet, bahkan tidak ada satu lubang kecil untuk pembuangan kotoran. Sedikitpun tidak tersedia air di tempat itu. Di Cina, khususnya selama masa kebrutalan revolusi kebudayaan, para tahanan benar-benar tidak diperhatikan.
Ruth bisa merasakan binatang-binatang kecil merayapi tubuhnya seperti laba-laba, kecoa, dan tikus. Nyamuk-nyamuk yang haus akan darah berdesingan di mana-mana. Kegelapan meliputi tempat itu. Begitu gelapnya sampai Ruth tidak bisa melihat orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Pikirannya sedang melamunkan tiga orang anaknya, Daniel 10 tahun, Joseph 8 tahun, dan Mary 5 tahun, yang ditinggal sendirian di rumah. Ruth bersama dengan suaminya, Michael, telah ditawan dan dimasukkan ke dalam sel tahanan.
TRAGEDI YANG MENGENASKAN
Dalam kegelapan itu, tiba-tiba ada suara seorang teman yang bertanya, “Apakah kamu punya anak?” 
Mendengar pertanyaan yang seakan-akan mengerti pikiran dan perasaannya, Ruth menjawab, “Ya, ada tiga orang. Sebenarnya saya telah melahirkan empat orang anak, namun seorang di antaranya telah mati.” 
“Apa yang terjadi?” 
Ruth tidak bisa menjawab. Untuk sesaat air matanya menglir membasahi pipinya. 
“Tuhan, tolonglah aku untuk mempermuliakan Engkau dalam segala sesuatu,” dia berdoa.
Akhirnya dia mulai menceritakan kisah tragis yang menimpa anaknya ini. 
Dengan suara pilu dia berkata, “Peter,” Ruth menyebut nama anaknya ini, 
“Tiga tahun yang lalu ketika dia berumur 11 tahun, rumah kami digeledah dan didatangi oleh Tentara Merah (Red Guards). Ada beratus-ratus orang yang datang dan memeriksa tempat kami. Mereka telah mengetahui bahwa saya dan suami saya adalah seorang pemimpin dari banyak ‘gereja rumah’ di daerah itu. Mereka menendang roboh pintu rumah kami, mengikat suami saya dan menggunduli kepala kami berdua. Mereka menodongkan senjata di atas kepala kami dan berteriak, “Di mana Alkitabmu? Di mana rekan-rekan yang bersamamu? Di mana kamu melakukan pertemuan?” Karena kami menolak untuk menjawab, mereka mulai menghancurkan perabot-perabot rumah kami dan seisi rumah kami diporak-porandakan. Untuk tiga hari tiga malam kami tidak diizinkan makan, minum, atau tidur. Mereka melihat empat orang anak kami dan mereka membariskan mereka di atas bangku.  Ketika anak kami kelelahan, mereka memukuli anak-anak kami dan memerintahkan untuk terus berdiri di atas bangku. Karena saya dan suami saya tidak mau menajwab saat ditanyai, maka Tentara Merah mulai menginterogasi anak-anak kami. Tetapi anak-anak kami juga menolak untuk bekerja sama. Mereka mengetahui bahwa hidup atau mati, mereka harus mengakui nama Tuhan Yesus dan jangan pernah menyebutkan nama atau identitas rekan-rekan pekerja Kristen yang lain. Dengan kasar mereka mulai memukuli anak kami lagi. Peter diseret keluar rumah dan giginya mulai dicabuti. Dia dipukuli hingga berdarah. Akhirnya mereka melemparkan dan meninggalkan tubuhnya yang sudah lumpuh di atas lantai. Suami saya dibawa dan dipekerjakan secara paksa di kamp militer pekerja berat. Saya segera membawa Peter ke rumah sakit. Dokter mengatakan tidak ada harapan karena anak ini telah banyak mengeluarkan darah. Saya diberitahu untuk mempersiapkan pemakaman baginya. Mereka juga telah memberikan surat-surat yang diperlukan untuk proses pemakaman. Pihak yang berwenang mengizinkan suami saya untuk meninggalkan kamp kerja paksa untuk sesaat dan menjenguk Peter di saat menit-menit terakhir sebelum Peter dijemput Tuhan. Ketika melihat ayahnya datang, Peter sangat gembira. “Ayah dan ibu,” katanya, “Banyak orang yang mengenakan jubah hitam saat mereka mati, tetapi saya ingin berpakaian jubah putih, supaya saya kelihatan indah saat bertemu dengan Tuhan Yesus.” Kami menangis dan sangat berduka karena dia. Dan kami berdoa bersama-sama supaya nama Allah dipermuliakan. Karena musim hujan pada waktu itu, maka semua jendela di tempat itu ditutup. Tetapi ketika kami selesai berdoa, satu jendela terbuka dan ada angin sejuk berhembus masuk memenuhi ruangan. Roh penghibur datang memasuki hati kami. Peter berbisik perlahan, “Yesus telah datang untuk membawaku pulang. Selamat tinggal.” Wajahnya dipenuhi dengan sukacita. Bahkan dokter yang hadir saat itu digerakkan untuk berkomentar, “Saya belum pernah melihat orang yang mati penuh kedamaian seperti ini.” Ketika kami pulang ke rumah, anak-anak kami yang lebih muda dari Peter mengagetkan kami dengan kegembiraan yang luar biasa. Mereka berkata, “Kami tidak bisa tidur, karena kami melihat kumpulan besar malaikat-malaikat di sekeliling rumah. Mereka membawa alat-alat musik dan menyanyi untuk kami. Mereka mengatakan bahwa mereka datang untuk membawa Peter bersama-sama dengan mereka ke Sorga.” Saya menjelaskan, “Kakakmu telah pergi bersama-sama dengan Tuhan Yesus.” Dan mereka semua menangis. Peter begitu mengasihi adik-adiknya ini dan mereka juga membalas kasihnya dengan rasa sayang yang sangat besar.”
MENGGANTI KEBENCIAN DENGAN KASIH
Ada kesunyian yang panjang dalam sel itu. Tetapi kemudian Ruth mulai bisa mendengar suara tangisan yang berasal dari berbagai tempat di sel gelap itu. Tiba-tiba terdengar suara teriakan kemarahan, “Terkutuklah orang-orang Tentara Merah! Kenapa mereka melakukan hal yang keji seperti ini? Saya berharap bisa mencekik leher orang-orang ini dan membunuh mereka!”
“Jangan! Jangan!” Ruth berteriak, “Kalian jangan membenci mereka. Ini adalah dendam dan lingkaran kepahitan. Yesus mengajarkan supaya kita mengasihi semua orang bahkan mengasihi musuh-musuh kita. Setiap hari saya berdoa untuk Tentara-Tentara Merah ini, supaya mereka segera menemukan dan mengenal Yesus. Dengan cara yang sama, saya juga telah berdoa bagi kalian semua. Kalian semua juga kekasih-kekasih yang dicintai Tuhan Yesus.”
“Hah!” cetus seseorang dengan geram, “Kalau Yesus sungguh-sungguh mengasihi saya, kenapa saya ada di sini, di dalam sel yang kumuh ini?” Ruth mulai menjelaskan bagaimana sel yang kotor ini sama seperti dosa mereka. Hanya Salib Yesus yang sanggup menjembatani jurang antara orang-orang berdosa dengan Allah yang kudus. Yang mereka butuhkan adalah mengakui dosa-dosa mereka dan meminta Yesus menjadikan mereka manusia yang baru.
Sekali lagi ada kesunyian yang panjang dalam penjara itu. Dan satu persatu anggota sel itu mulai bertekuk lutut di sampingnya, penuh tangisan mengakui dengan keras segala dosa-dosa mereka dan memohon Yesus menyucikannya. “Terima kasih, Tuhan,” 
Ruth berdoa, “Sungguh Engkau bisa mengubahkan segala sesuatunya menjadi baik.”

Kesaksian ini menggambarkan betapa hebatnya aniaya dan penderitaan yang dialami gereja-gereja Tuhan di Cina. Namun semua yang dialami orang-orang ini seakan-akan memancarkan kemuliaan Tuhan yang semakin terang dan menjadi kesaksian atas seluruh bangsa di dunia. Keteguhan iman mereka teruji dalam dapur api. Mereka bukan cuma mengakui Yesus dengan mulut mereka, tetapi mereka membayar pengakuan mereka ini dengan aniaya dan penderitaan. Mereka belum pernah merasakan datang ke gereja tiap Minggu, bernyanyi memuji Tuhan, bersukacita, dan mengharapkan untuk hidup dalam kelimpahan. Yang ada pada mereka adalah gereja bawah tanah dan ibadah yang sembunyi-sembunyi. Mereka dikejar-kejar oleh tentara militer, dan rawan dengan aniaya. Pengakuan iman mereka teruji dengan tindakan yang nyata. Kuasa Injil betul-betul dinyatakan dalam kehidupan mereka. Mereka mempertahankan iman dengan nyawa mereka. Tidak ada sesuatupun yang dapat menggoyahkan iman mereka di dalam Tuhan. Iman seperti inilah yang dicari Tuhan.
“… Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Lukas 18:8)
PENGINJIL CINA MEMBUTUHKAN DOA SAUDARA
“Saya begitu sendirian. Saya menghadapi pikiran untuk bunuh diri ketika tidak bisa tidur setiap malamnya. Saya sangat merindukan untuk memenangkan banyak jiwa bagi Tuhan, namun tidak seorangpun yang mau mendengar. Semua orang memandang rendah dan meremehkan saya. Penghiburan saya hanyalah Yesus yang telah mengalami dan menjalani semuanya ini, penderitaan, aniaya, diremehkan, dan direndahkan.”
Bagian dari surat penginjil Cina ini memberikan gambaran bahwa banyak daerah-daerah di Cina yang belum meresponi panggilan Tuhan. Bahkan kalau seandainya kita memasukkan 70 juta orang Cina Kristen (orang yang meresponi Injil Kristus) dalam hitungan, hitungan ini hanya mencapai kurang dari 7% saja orang Cina yang percaya dan meresponi Injil Kristus. Berdoalah supaya Tuhan meneguhkan setiap penginjil-penginjil yang melayani desa-desa kecil di seluruh Cina, supaya mereka berada dalam kondisi rohani yang berapi-api.
Tragisnya, orang yang menulis surat ini telah dikubur 6 tahun lalu. Tidak ada seorangpun yang tahu apakah ia bunuh diri atau dibunuh.
 
“Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut.” (Wahyu 12:11)

Comments

comments