Kisah Hudson Taylor

HUDSON TAYLOR

Hudson Taylor

 

Tidak ada misionaris lain pada abad XIX sejak rasul Paulus yang memiliki visi lebih luas dan telah melakukan rencana penginjilan yang lebih sistematis terhadap wilayah geografis yang luas dari pada Hudson Taylor. Pandangan-pandangannya diarahkan dalam menjangkau Cina secara keseluruhan, seluruhnya 400 juta orang dan untuk tujuan akhir itulah ia bekerja keras meskipun tidak sendirian. la cakap dalam berorganisasi dan memiiiki kepribadian memikat sehingga banyak menarik pria dan wanita kepadanya dan juga pada pandangan-pandangannya. China Inland Mission adalah gagasannya dan penentu irama dari masa depan iman. Pada masa hidupnya tenaga misionaris di bawah dirinya berjumlah total lebih dari delapan ratus, dan dalam beberapa dasa warsa setelah kematiannya jumlah itu terus bertumbuh. Tetapi Hudson Taylor tidak mengembangkan visinya sendirian. Isteri pertamanya, Maria; sangat diperlukan dalam menyusun rencana yang dikerjakannya dan isteri keduanya, Jennie (yang dinikahinya setelah kematian Maria), berada di garis depan dalam melaksanakan rencananya. Kisah Taylor lebih dari kisah besar seorang pemimpin misi. Ini adalah kisah cinta, petualangan dan iman yang kokoh kepada Allah, meskipun bukan kisah sempurna dari seorang kudus yang diciptakan penulis biografi-nya.

Hudson Taylor dilahirkan di Yorkshire, Inggris tahun 1832. Ayahnya adalah seorang ahli farmasi selain pengkotbah awam Metodis dan ia menanamkan dalam pikiran dan hati anak lelakinya suatu kegairahan akan misi. Sebelum ia mencapai ulang tahunnya yang kelima Hudson Taylor kecil sudah mengatakan kepada para pengunjung bahwa ia suatu hari ingin menjadi misionaris, dan Cina adalah wilayah yang menarik minatnya.

Meskipun pembacaan Alkitab keluarga dan doa adalah bagian integral dari pertumbuhannya, Taylor tidak bertobat sampai ia berusia 17 tahun. Saat itu adalah musim panas tahun 1849 ketika ibunya sedang pergi untuk kunjungan yang lama ke seorang teman. Taylor muda sedang di rumah dan membaca-baca kertas-kertas di perpustakaan ayahnya ketika ia menemukan traktat-traktat religius. Ia lebih tertarik pada cerita-ceritanya dari pada aplikasi rohaninya, dan ia mengambil satu dan membacanya di luar. Saat ia membaca ia ditundukkan Tuhan dalam “keyakinan yang penuh sukacita … terang memancar dalam jiwanya oleh Roh Kudus … Tak ada satu hal di dunia untuk dilakukan kecuali dengan berlutut dan menerima Juruselamat dan Keselamatan-Nya, memuji Dia selama-lamanya.” Ketika ibunya kembali dua minggu kemudian dan ia diberitahu kabar itu, ia tidak terkejut. Ia mengisahkan kepadanya bagaimana dua minggu sebelumnya sementara di rumah temannya, ia tiba-tiba merasakan desakan untuk berdoa bagi keselamatannya, jadi ia pergi ke ruangannya dan berdoa sampai merasa pasti kalau doanya telah dijawab Allah.

Sejak saat itu, Taylor mulai memfokuskan tujuan-tujuannya pada pekerjaan misi di Cina. Meskipun penginjilan adalah motivasi satu-satunya, ia menyadari pentingnya mendapatkan suatu jalan masuk kepada orang-orang, sehingga pada usia 18 tahun ia memulai pelatihan dalam pengobatan, pertama sebagai asisten dokter di kota kecil dan kemudian sebagai peserta pelatihan di rumah sakit London. Selama masa ini, Taylor muda yang bergairah memulai program penyangkalan diri yang keras sebagai persiapan tambahan untuk pekerjaan misi. Itu adalah usaha untuk benar-benar hidup berdasarkan iman. Menu makannya tiap hari kurang mencukupi, satu pound apel (1 kg = 2.2 pound) dan sepotong roti setiap hari dan kamar lotengnya kosong dari segala kenikmatan yang biasa dirasakannya. la bahkan menolak untuk menagih gajinya yang sudah lama tak dibayar kepada majikannya. Pemikirannya adalah sederhana: “…. ketika saya ke luar dari Cina saya tidak akan memiliki klaim apapun terhadap siapapun; klaim saya satu-satunya hanyalah kepada Allah. Karena itu sungguh penting sebelum meninggalkan Inggris perlu belajar untuk menggerakkan manusia, melalui Allah dengan doa saja.” Doa saja tidak mempertahankan kesehatan Taylor. Kesehat-annya yang telah lemah menurun dengan menu makannya yang kurang dan kontaknya tiap hari dengan mayat yang terinfeksi tidak membantu situasinya juga. la terkena “demam yang menular” serta hampir mengakhiri hidupnya yang masih muda dan memaksanya menghentikan studinya selama beberapa bulan.

Bagi Taylor, melupakan keperluan fisik lebih mudah dibandingkan melupakan percintaannya. “Nn. V,” seperti yang disebutkan dalam surat-suratnya, telah men-jadi sasaran ungkapan kasih sayangnya. la adalah seorang guru musik muda, yang diperkenalkan oleh saudarinya, dan bagi Taylor itu adalah cinta pertamanya. Segera setelah pertemuan pertamanya ia menulis kepada saudarinya. “Saya tahu saya mencintainya. Pergi tanpa dia akan menjadikan dunia terasa hampa.” Tetapi nona Vaughn tidak memiliki visi untuk Cina. la memandang kegairahan Taylor untuk misi sebagai suatu khayalan yang segera berlalu, yakin bahwa Taylor tidak akan meninggalkan dia hanya untuk memenuhi impian liarnya di tanah asing. Taylor sama yakinnya bahwa nona Vaughn akan mengubah pikirannya dan mengikuti dia. Dua kali mereka bertunangan, tetapi tiap kali pertunangan itu putus. Komitmen Taylor kepada Allah ternyata lebih kuat dibandingkan cintanya ter-hadap wanita.

Lowongan Taylor untuk pergi ke Cina terbuka tanpa diduga. Rencana-rencananya untuk menyelesaikan pelatihan medis tiba-tiba terhenti ketika ada kabar di Inggris kalau Hung, seorang yang mengaku Kristen, telah menjadi kaisar di Cina. Prospek bahwa Cina terbuka bagi Injil adalah suatu jawaban doa bagi direktur-direktur dari Lembaga Penginjilan Cina (CES – Chinese Evangelization Society), yang mensponsori pelatihan medis Taylor, dan mereka begitu ingin supaya Taylor segera berangkat. Jadi, pada bulan September 1853, Taylor yang berusia 21 tahun berlayar ke Cina.

la tiba di Shanghai pada awal musim semi tahun 1854. Itu adalah tempat yang asing dan menyenangkan bagi seorang Inggris muda yang tidak pernah bepergian jauh dari kota asalnya Yorkshire. Shang­hai adalah kota yang dipenuhi kuil Budha beratap naga, jalan-jalanan yang sempit penuh gubug di pinggiran, kuli yang murah, dan wanita berkaki kecil yang taat, dan pria yang berambut ikal (ekor kuda), dan tempat tinggal internasional yang mewah. Taylor tinggal di pemukiman internasional sebagai tempat tinggalnya yang pertama dan segera merasa kesepian. CES adalah suatu organisasi misi yang tak terorganisasi dengan baik dan tidak ada orang di Cina yang menyambutnya atau bekerja dengan misionaris muda yang baru di-rekrut. Banyak misionaris di pe­mukiman internasional tetapi mereka memandang rendah kepada seorang pemuda tak berpendidikan, tak diutus yang memiliki keberanian untuk menyebut dirinya misionaris.

Segera setelah tiba, Taylor mendapati dirinya menghadapi kesulitan keuangan. Dukungan uang yang dijanjikan kepadanya tidak segera tiba dan uang yang dimilikinya hanya sedikit terutama menghadapi harga-harga yang terus membubung. Impian visi untuk menginjili Cina segera sirna dan ingatan akan masa kanak-kanaknya di Yorkshire membayangi dirinya, Perasaan rindu tanah asal memenuhi suratnya: “Oh, saya harap saya dapat mengatakan betapa cintanya, saya kepada kamu semua. Cinta yang saya miliki dalam surat saya hampir semuanya terpendam sehingga surat ini membiarkan saya merasakan kekuatannya. Saya tidak pernah tahu betapa saya mencintai kamu semua.”Usaha Taylor untuk menguasai bahasa Cina hanya menambah perasaan depresinya. Bulan-bulan pertamanya tinggal di Shanghai dipenuhi dengan jam belajar bahasa yang lama, dan ada saat ketika ia takut tidak pernah menguasai bahasa itu. Untungnya ia memiliki tempat curahan hati – hobinya bertanam dan mengumpulkan serangga. Suatu penghiburan yang lebih dalam baginya adalah imannya kepada Allah. Saat menulis kepada para direktur CES di Inggris ia memohon: “Berdoalah untuk saya, karena saya tertekan melampaui kekuatan, dan jika saja saya tidak mendapatkan bahwa Firman Allah itu makin berharga dan merasakan kehadiran-Nya ber-sama saya, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.”

Setelah beberapa bulan tinggal di pemukiman London Missionary Society, Taylor sementara waktu pindah ke luar dari pemukiman internasional dan membeli pondoknya sendiri yang ia gambarkan memiliki “duabelas kamar, pintu tanpa ujung, lorong yang banyak, akus di mana-mana dan semuanya dipenuhi debu, kotoran, sampah dan barang buangan.” Itu hampir sama sekali bukan tempat tinggal yang ideal. Dan lebih buruk lagi, terjadi perang sipil di dekat situ dan temperatur musim dingin yang menggigit menembus tembok-temboknya. Setelah beberapa bulan mandiri, ia bersyukur dapat kembali ke pemukiman internasional.

Taylor tidak pernah merasa bahagia tinggal di antara misionaris lain. Dalam pandangannya, mereka hidup dalam kemewahan. Tidak ada “tempat di dunia di mana misionaris lebih dihormati dari pada di Shanghai.” la memandang sebagian besar dari mereka malas dan memuaskan diri berlebihan dan lebih dari pada itu ia menganggap misionaris Amerika sebagai “sangat kotor dan vulgar.” Ia hanya ingin sekali menjauhi mereka terutama dari “kritik, fitnah dan komentar mereka yang kasar, sehingga kurang dari satu tahun setelah ia tiba di Cina ia mulai melakukan perjalanan ke pedalaman. Dalam salah satu perjalanan ini ia menelusuri sungai Yangtze dan berhenti di hampir enam puluh tempat pemukiman yang tidak pernah dikunjungi sebelumnya oleh misionaris Prostestan. Itu adalah saat yang menggairahkan baginya, kadang-kadang sendirian dan kadang-kadang bersama teman, tetapi yang lebih penting adalah bahwa itu merupakan pendidikan yang mencerahkan pikiran serta menambah bebannya untuk Cina pedalaman.

Misionaris telah menjadi pandangan umum di Shanghai, dan orang-orang Cina hanya sedikit memperhatikan mereka. Di peda­laman, situasinya berbeda sama sekali. Pada perjalanan awalnya, Taylor mendapati bahwa ia merupakan pemandangan baru dan orang-orang jauh lebih tertarik pada pakaian dan perilakunya dari pada pesannya. Baginya hanya ada satu penyelesaian yang masuk akal: menjadi orang Cina, mengadopsi pakaian dan kultur Cina. Misionaris-misionaris Cina telah lama mengikuti cara-cara Cina dan telah melayani dengan sukses besar, tetapi para misionaris Protestan menganggap hal itu sebagai cara radikal yang jauh dari metode-metode misionaris yang dapat diterima. Bagi mereka, kekristenan bukan suatu yang “resmi” kecuali dilakukan dengan kultur Barat.

Menjadi orang Cina adalah suatu cobaan rumit bagi Taylor muda yang berambut pirang dan dibesarkan di Yorkshire. Pantalon (celana yang lebar bawahnya) longgar yang “dua kaki terlalu lebar di sekitar pinggang,” dan “jubah sutera yang berat” dan juga “sepatu bertelapak datar” dengan jari-jari yang muncul ke luar sebenarnya sudah merupakan percobaan berat, tetapi bergabung dengan orang-orang Cina yang berambut hitam dan berambut ikal sangatlah penting.Usaha pertama Taylor untuk menghitamkan rambutnya menjadi gagal. Ujung atas rambutnya menghantam botol amonia dan membakar kulitnya dan hampir membutakan matanya. Untungnya, ada seorang dokter misionaris yang dekat dan dalam waktu satu minggu Taylor telah pulih kembali dan dapat ke luar dan bekerja lagi. Meskipun memperoleh pengalaman buruk, Taylor tetap melanjutkan rencana-rencana-nya dan “menyerahkan rambutnya untuk dikonde di atas oleh tukang cukur” dan menghitamkan rambut­nya. Tetapi pengalaman itu tidak menyenangkan. la mendapatkan “sungguh menyakitkan ketika untuk pertama kalinya kepala di-cukur sehingga kulit terasa peka ketika panas menyengat,” dan “penerapan cairan penghitam rambut selama lima dan enam jam berikut-nya tidak membantu mengurangi iritasinya.” Tetapi hasil akhirnya benar-benar berharga. Dengan be-berapa “rambut palsu yang ditanam” bersama rambutnya untuk membentuk rambut ikal/ekor kuda dan dengan beberapa kacamata Cina, Taylor bercampur dengan kerumunan orang; “Kamu tidak akan mengenal saya jika kamu menemui saya bersama orang Cina lain … saya tidak diduga sebagai orang asing.”

Meskipun Taylor merasa senang dengan penampilan bamnya, sebagian besar rekan misionarisnya kurang terkesan. la memalukan bagi mereka dan segera menjadi bahan ejekan. Bahkan keluarganya sendiri terkejut dengan berita itu. Tetapi jika Taylor pernah berpikir dua kali, ia tidak membiarkan mereka tahu, dan kebiasaannya memakai pakaian dan budaya Cina menjadi tanda khas dirinya. Bukan hanya ia dapat bergerak lebih bebas, tetapi pakaiannya juga lebih cocok dengan iklim dari pada pakaian barat. Salah se­orang rekan keliling Taylor bernama William Burn begitu terkesan dengan kemudahan dan kenyamanan Taylor sehingga ia sendiri menggunakan pakaian Cina.

Pakaian Cina bukan berarti menyelesaikan semua masalah Taylor saat bekerja di pedalaman. Saat ia bepergian dan membagikan perawatan medis ia mendapati diri­nya bersaing dengan dokter lokal, dan akibatnya ia diusir dalam bebe­rapa kesempatan. Bepergian juga suatu risiko. Dalam suatu kesem­patan, pelayan yang digaji Taylor untuk membawa barang-barangnya melarikan uang dan segala milik Taylor dan memaksa dia kembali ke Shanghai di mana ia bergabung dengan rekan misionaris sampai ia menerima sumbangan pribadi lewat surat dari Inggris – empat puluh poundsterling sesuai jumlah yang dicuri.

Taylor tidak mungkin dapat bertahan di Cina pada tahun-tahun awalnya tanpa bantuan sumbangan pribadi. Meskipun mengikuti pakaian dan kultur Cina dapat mengurangi pengeluarannya secara drastis, dukungan dari CES tak menentu dan jauh dari mencukupi kebutuhannya sehingga ia menuduh Lembaga itu “bertindak memalukan” dalam mendukung dia dan misionaris lain. Pada tahun 1857, setelah mengalami hubungan yang kurang baik dengan CES, ia ke luar. Sejak saat itu ia berdiri sendiri, dan masih mengembara tanpa tempat tinggal di pedalaman Cina. “tidak menganggur, tetapi tanpa tujuan,” seperti yang dikatakan oleh seorang misionaris tentang dirinya.

Kesepian pada masa-masa awal di Cina mengganggu diri Taylor. la sangat merindukan seorang isteri. Meskipun nona Vaughn menolak pergi bersamanya ke Cina, tetapi ia tidak dapat melupakannya; “Saya senang jika kamu memiliki berita tentang nona Vaughn. la mungkin mendapatkan seorang suami yang lebih kaya dan tampan tetapi saya bertanya apakah ia mendapatkan orang yang lebih saleh dari pada saya.” Akhirnya seteiah semua harapan pudar, Taylor memalingkan perhatiannya kepada Elizabeth Sissons, seorang wanita muda lain yang dikenalnya di Inggris. la menulis kepadanya dan meminta potongan rambutnya, dan seteiah ia menerimanya, ia tidak menunda lagi untuk mengajaknya menikah. Elizabeth menerima, tetapi itu hanya pertunangan yang pendek. Mungkin kabar tentang pakaian Cina dan rambut ikalnya telah menjadikan dia berhati-hati, tetapi apapun alasannya, ia tidak dapat menepati janjinya. la tidak menjawab surat-surat Taylor dan untuk sesaat Taylor merenung untuk “melupakan kegiatan misinya,” dan kembali ke Inggris untuk mendekati dia.

Saat itu adalah masa depresi dan ketidakpastian ketika Taylor tiba di Ningpo sebuah kota pelabuhan di selatan Shanghai, dan bertemu Maria Dyer. Untuk pertama kalinya tidak ada daya tarik romantis. Taylor masih memikirkan Elizabeth dan Maria masih belum yakin dengan orang Inggris berjubah Cina dan berambut ikal itu. la memiliki perasaan bercampur aduk: “Saya tidak dapat mengatakan saya mencintai dia saat itu, tetapi saya tertarik kepadanya dan tidak dapat melupakan dirinya. Saya melihat dirinya dari waktu ke waktu dan minat ini berlanjut. Saya tidak memiliki alasan yang baik untuk memikirkan bahwa hal ini dibalas; ia sangat rendah hati dan tidak pernah melakukan pendekatan apapun.” Jika Taylor kelihatan segan menunjukkan perasaan apapun bagi Maria, itu karena ia masih menunggu surat dari Elizabeth dan tanpa diragukan ia takut terhadap penolakan ketiga ketika ia menunjukkan minat pada Nn. Dyer. Tetapi dalam catatan hariannya ia menggambarkan Maria sebagai “ciptaan manis yang terkasih, memiliki semua kebaikan dari Nn. S dan lebih banyak lagi juga. la adalah sesosok gadis yang berharga, memiliki kualitas pribadi yang baik dan memiliki kegairahan tak kenal lelah untuk melakukan kebaikan bagi orang-orang miskin ini. Ia adalah seorang lady juga …” Mengenai “hal yang sangat nyata” dan “pandangan yang jelas pada matanya,” Taylor yang gelisah merasa bersyukur: “Saya merasakan hal itu memberikan kesempatan bagi saya memenangkan dirinya.”

Maria Dyer lahir di Cina dari orang tua misionaris. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil dan ibunya meninggal beberapa tahun kemudian. Setelah itu, Maria dan saudara lelaki dan perempuannya dikirim pulang ke London untuk pendidikan mereka; tetapi bagi Maria dan saudarinya Cina adalah rumah mereka. Mereka kembali ketika mereka pada usia remaja akhir untuk melayani sebagai guru di sekolah perempuan Nona Mary Ann Aldersey. Nona Aldersey adalah misionaris wanita pertama, dan ia membuka sekolah perem­puan pertama di negara yang didominasi pria. la adalah wanita yang benar-benar luar biasa, yang pengabdiannya kepada Tuhan dan misi tidak pernah dipertanyakan, tetapi dalam hubungan asmara antara Hudson Taylor dan Maria Dyer ia memainkan peran sebagai perusak kesenangan, dan sayangnya itulah peran yang ia ingat.

Pada bulan Maret 1857, beberapa bulan setelah Taylor dan Maria mengenal dekat, Taylor melakukan pendekatan pertamanya dan seperti gayanya yang biasa itu adalah pendekatan yang berani sebuah surat yang berisi proposal pernikahan. Seorang teman bersama mereka membawa surat itu kepada Maria sementara ia sedang mengajar di sekolah. Secara diam-diam Maria berharap surat itu berasal dari Taylor, tetapi ia me­nunggu sampai kelas itu selesai sebelum membukanya dan menemukan: “Saya kemudian membuka surat saya dan membaca ketertarikannya pada saya, dan bagaimana ia percaya Allah telah mem­berikan kepadanya cinta kepada saya yang ia rasakan. Saya hampir tidak mempercayai itu suatu realitas. Kelihatannya doa saya sudah terjawab … ia meminta saya menyetujui pertunangan dengan dirinya.” Taylor terus memohon kepada Maria untuk “tidak mengirim penolakan yang terburu-buru” dengan secara tidak langsung mengatakan kalau hal itu akan mengakibatkan “kesengsaraan yang mendalam” bagi dirinya. Tetapi tentu saja” dengan mempertimbangkan perasaan Maria terhadap diri­nya, rasa ketakutannya tidak beralasan. Tidak. Maria mengirim sebuah “penolakan tergesa-gesa”. “… Saya harus menjawab suratmu sebagaimana yang saya baca menurut petunjuk Allah. Dan kelihatannya sudah kewajiban saya menolak proposalmu….” Mengapa? Bagaimana guru misionaris muda ini secara tanpa malu memalingkan dirinya dari pria impiannya – suami yang telah ia doakan? Di sinilah peranan Nona Aldersey yang sangat mendominasi dan melindungi (orang yang dikasihi dan dihargai Maria) memasuki kisah tersebut. Ia mewakili remaja putri yang masih takut-takut itu dan mendiktekan tanggapannya dan setelah semuanya selesai, ia menulis kepada paman dan wali legal Maria di Inggris dan secara tegas menyebutkan alasan penolakannya pada Hudson Taylor. Penolakan-penolakannya? la tidak berpendidikan, tidak diutus, tidak berhubungan (dengan lembaga misio­naris), dan tidak tahu adat. Dan jika, itu belum cukup, ia pendek (Maria tinggi), dan ia memakai pakaian Cina.

Meskipun Taylor ditolak, ia “dengan kuat menduga bahwa halangan terletak pada Nona Aldersey,” dan ia menolak untuk menyerah. Pada bulan Juli 1857, beberapa bulan setelah mengirim surat proposalnya, Taylor secara diam-diam mengatur suatu “wawancara” dengan Maria di tengah kehadiran dari misionaris lain. Mereka berjabat tangan, saling menyatakan pendapat, berdoa, dan kemudian berpisah – suatu pertemuan yang kelihatannya tidak membahayakan, tetapi ternyata juga menimbulkan pertikaian di antara komunitas misionaris yang biasanya tenang. Nona Aldersey mengancam Taylor dengan tuntutan hukum; dan Pendeta W.A. Russell, pendukungnya yang paling kuat, menyarankan supaya Taylor “dicambuk.” Beberapa misionaris lebih tenang dalam reaksinya dengan menyatakan supaya Taylor kembali ke Inggris dan melanjutkan pendidikannya di sana supaya ia berharga bagi Maria. Tanggapan Maria cukup fasih: “Saya akan menunggu jika ia pulang ke negeri asal untuk meningkatkan kemampuannya. Tetapi jika ia meninggalkan pekerjaannya untuk mendapatkan nama guna menikahi saya? Jika ia mencintai saya lebih dari pada Yesus ia tidak layak untuk saya – jika ia meninggalkan pekerjaan Tuhan untuk kehormatan dunia, saya tidak ingin berhubungan dengan dia lagi.”

Sayangnya, pemikiran logis itu kalah. Maria harus tinggal dalam tahanan rumah, dan Pendeta Russell tidak mengijinkan ia berkomunikasi sampai ia “memberikan bukti pertobatan.” Dalam sebuah surat ke negara asalnya, Taylor menulis: “Maria yang terkasih dituduh sebagai maniak, fanatik, tak senonoh, berpikiran lemah, terlalu mudah diombang-ambingkan, terlalu keras kepala dan segala sesuatu yang buruk.”

Bulan-bulan berlalu dengan hanya satu pertemuan pendek di bulan Oktober. Kemudian pada pertengahan Nopember, dengan bantuan seorang yang bersimpati, dua kekasih itu bertemu secara diam-diam dan sungguh suatu per­temuan yang mengesankan! Selama enam jam menjadi kegembiraan yang luar biasa. Mereka diam-diam bertunangan, dan berangkulan dan berciuman dan berdoa dan berbicara dan saling berciuman lagi – tanpa harus minta maaf. Tulis Taylor, “Saya tidak berapa lama lagi bertunangan tanpa berusaha mengejar jumlah ciuman yang harus saya lakukan dalam beberapa bulan terakhir.”

Di negeri asal, di Inggris, William Tarn, paman dan penjaga Maria berada dalam kebingungan. la telah menerima surat bukan hanya dari Nona Aldersey tetapi juga dari Maria dan dari Tayior sendiri. Ribuan mil jauhnya, Tarn berada di luar perselisihan itu, dan pemikiran sehat mendorong dia untuk dengan tenang memeriksa siapa Hudson Taylor itu. Ia begitu terkesan dengan laporan-laporan yang didapat sehingga ia memberi­kan persetujuan tanpa syarat terhadap pertunangan itu, dan pada saat yang sama “menyalahkan”, “kurangnya kebijakan penghakiman” Nona Aldersey. Surat-suratnya tiba pada bulan Desember, dan pada bulan berikutnya, tanggal 20 Januari 1858, Hudson Taylor dan Maria menikah.

Maria adalah wanita yang sangat diperlukan Taylor untuk menghaluskan bagian-bagian kasar dari kepribadiannya dan membantu memfokuskan semangat dan ambisi-ambisinya dan sejak permulaan pernikahan mereka itu adalah suatu kemitraan. Mereka tetap di Ningpo selama tiga tahun di mana selama itu Taylor secara tanpa diharapkan masuk ke dalam profesi pengawasan rumah sakit lokal, suatu posisi di luar kemampuannya. Melalui pengalaman itu ia yakin bahwa ia memerlukan pelatihan medis lebih jauh, meskipun keputusan meninggalkan Cina tidaklah mudah.

Pada tahun 1860 keluarga Taylor tiba di Inggris untuk mudik panjang, suatu mudik yang akan memiliki beberapa tujuan. Baik Hudson dan Maria telah menderita masalah kesehatan yang parah, dan itu adalah saat bersantai dan me-mulihkan diri. Itu juga waktu untuk pendidikan lebih lanjut. Taylor mendaftar di rumah sakit London di mana ia menyelesaikan pelajaran Kimia Praktis, pelajaran kebidanan, dan diploma untuk keanggotaan ahli bedah di Royal College. Prioritas lain selama mudik adalah penyelesaian terjemahan. Yang ikut menyertai mereka ke tnggris adalah seorang asisten Cina dan bersama dia dan misionaris lain, Taylor melakukan revisi Perjanjian Baru Ningpo – suatu tugas berat, kadang-kadang menghabiskan banyak tenaganya, selama lebih dari tiga belas jam tiap hari. Tetapi kemajuan paling penting selama masa mudik mereka adalah pekerjaan organisasional mereka. Pada masa inilah didirikan Misi Pedalaman Cina (CIM – China Inland Mission).

Lembaga Misi Pedalaman Cina ini bukan gagasan orang yang ingin mendapat pengakuan atau mengepalai organisasinya sendiri. Sebaliknya itu adalah gagasan yang berkembang secara perlahan dalam pikiran dan hati seorang pria yang terbeban secara mendalam bagi jutaan orang Cina yang tidak pernah mendengar Injil. Saat Taylor berkeliling Inggris, orang-orang bukan saja tergerak bukan hanya oleh kefasihannya dalam berbicara dan juga pengetahuannya yang mengesankan tetapi juga oleh kegairahannya bagi jiwa-jiwa: “Jutaan orang perbulan mati tanpa Allah,” bergema di telinga para pendengarnya, dan banyak yang menanggapi. Dasar dari lembaga misi yang besar sedang diletakkan.

Lembaga CIM adalah lembaga misi yang unik, dibentuk berkisar pengalaman dan kepribadian Hudson Taylor yang unik. Itu ada­lah organisasi antar denominasi yang diarahkan terutama bagi kelas pekerja. Taylor tahu Cina tidak akan pernah diinjili kalau harus menunggu pendeta yang berpendidikan tinggi dan diutus, jadi ia mencari pria dan wanita yang berpengabdian di antara kelas pekerja Inggris yang jumlahnya besar. Dengan menghimbau pada segmen ini ia menghindari persaingan dengan dewan misi bagi misi di Cina supaya lebih responsif bagi kebutuhan para misionaris. Meskipun pada mulainya ia segan untuk mengendalikan, ia sadar akan perlunya kepemimpinan yang kuat, dan dengan berlewatnya waktu ia menjadi diktator yang sesungguhnya, meskipun selalu peka terhadap kebutuhan orang di bawah dirinya. Mengenai keuangan dan dukungan pribadi, para misionaris CIM tidak ditawari gaji tertentu tetapi bergantung sepenuhnya kepada Allah untuk kebutuhan mereka. Untuk menghindari penampilan dalam kebergantungan pada sumber daya manusia, persembahan dan bentuk himbauan ke­uangan lainnya dianggap sangat tabu.

Pada tahun 1865 CIM didirikan secara resmi, dan pada tahun berikutnya Taylor sekali lagi siap untuk pergi ke Cina. Yang bersama dengan dia adalah Maria, empat anaknya dan limabelas tenaga baru, termasuk tujuh wanita lajang yang siap untuk bersatu dengan delapan tenaga baru yang telah dikirim sebelumnya. Selama mudik, Taylor telah meninggalkan kesannya pada Inggris. Menurut perkataan Charles Haddon Spurgeon, “Cina, Cina, Cina sekarang bergema di telinga kami dalam cara yang khusus, aneh, musikal dan keras seperti yang diutarakan oleh Bp. Taylor.”

Pelayaran ke Cina itu benar-benar luar biasa. Sebelumnya belum pernah terjadi kelompok misi yang begitu besar berlayar dengan pendiri dan direktur misinya dan dampak pada kru kapalnya begitu dramatis. Pada saat mereka berlabuh di Cape, permainan kartu dan kutukan telah digantikan dengan pembacaan Alkitab dan lagu himne. Tetapi ada masalah-masalah lain juga. “Bibit-bibit sakit hati dan perpecahan” telah merambati mereka, dan kelompok yang sebelumnya harmonis itu mulai sumbang sebelum mencapai tujuan. Lewis Nicol, seorang tukang besi yang telah terlatih menjadi pemimpin kelompok pem-bangkang. la dan dua misionaris lain mulai membanding-bandingkan dan sampai pada kesimpulan bahwa mereka dari CIM telah menerima perlengkapan yang jauh di bawah rekan-rekannya dari Presbiterian dan misionaris lain. Bersama keluhan mereka bermunculan keluhan lainnya, dan Taylor segera mendapati dirinya diserang secara gencar dengan panah-panah beracun: “Perasaan di antara kami lebih buruk dari pada yang dapat saya bayangkan. Yang seorang iri karena yang lain memiliki terlalu banyak pakaian bagus, yang lainnya karena temannya mendapatkan perhatian lebih. Beberapa merasa terluka karena diskusi kontroversial lainnya, sehingga memaksimalkan usaha misi di Cina. Pengalamannya dengan CES menyebabkan dia mendirikan kantor-kantor cabang bagi misi di Cina supaya lebih responsif bagi kebutuhan para misionaris. Meskipun pada mulainya ia segan untuk mengendalikan, ia sadar akan perlunya kepemimpinan yang kuat, dan dengan berlewatnya waktu ia menjadi diktator yang sesungguhnya, meskipun selalu peka terhadap kebutuhan orang di bawah dirinya. ” Dengan menemui setiap misionaris “secara pribadi dan penuh kasih sayang” Taylor dapat menenangkan kebencian mereka, tetapi permusuhan yang ada di dalam tetap tinggal dan dengan segera memuncak dan hampir menghancurkan CIM yang masih begitu muda.

Pada saat tiba di Shanghai, Taylor memesan pakaian Cina buatan penjahit bagi setiap misio­naris. Para misionaris semuanya sadar akan pendirian tentang masalah pakaian Cina itu dan setuju dengan prinsip itu; meskipun demikian, perubahan yang dirumitkan oleh tekanan kejutan budaya, adalah pukulan psikologis yang brutal. Ketidaknyamanan awal yang diakibatkan pakaian dan penghitaman rambut sudah cukup merupakan siksaan, tetapi ejekan pada mereka oleh komunitas misionaris lain di Shanghai jauh melebihi kekuatan mereka dan situasinya jauh bertambah buruk setelah para misionaris pindah ke kemah CIM di Hangchow. Kepemimpinan Taylor ditantang dan sekali lagi misi itu diliputi per-selisihan. Bahkan pendukung Taylor paling loyal, Jennie Faulding dan Emily Blatchley, telah berselisih. Nicol dan yang lainnya menolak mentah-mentah untuk memakai pakaian lokal dan mulai bertemu secara terpisah untuk makan dan bersaat teduh. Situasinya tegang dan prospek pembaruan kelihatannya suram. Adakah hal yang dapat menyelamatkan impian visi ini dari kehancuran?

Harganya mahal, tetapi misi ini diselamatkan. Kejadian ini berlangsung selama musim panas tahun 1867, satu tahun setengah setelah para misionaris tiba di Cina. Gracie Taylor yang berusia delapan tahun serta dibanggakan ayahnya, menjadi sakit. Selama berhari-hari ayahnya duduk di sampingnya, memberikan bantuan medis terbaik yang dapat diberikan, tetapi situasi­nya tidak berubah. Iklim juga telah memakan korban lain; dan selama berjaga-jaga dengan Gracie ia melakukan urusan perjalanan lain selama satu hari, di mana saat itu ia dipanggil ke pos lain untuk merawat Jane McLean yang sakit kritis, salah satu dari misionarisnya yang menentang keras dirinya. Penyakitnya ternyata tidak seserius yang dibayangkan, dan ia segera sembuh; tetapi penundaan Taylor pulang ke rumah ternyata mengakibatkan Gracie dalam keadaan kritis. la mendiagnosa air di otak, tetapi ia terlambat tertolong. Dalam beberapa hari Gracie meninggal. Itu adalah tragedi yang menyedihkan, tetapi menyelamatkan CIM. Kedukaan itu dilupakan dan curahan simpati menyatukan para misionaris kecuali Nicol dan isterinya dan dua saudari lajang lainnya, yang salah satunya adalah Jane McLean. Pada musim gugur tahun 1867, Nicol “dikeluarkan” dari misi dan saudari-saudari McLean mengundurkan diri sehingga mengijinkan keluarga misi untuk bergerak dalam harmoni.

Kematian Gracie bukan berarti mengakhiri semua masalah CIM. Krisis lebih besar segera datang dan mereka berkisar dendam kesumat orang-orang Cina terhadap orang asing – permusuhan yang membesar di pedalaman. Serangan sengit pertama kali terjadi di Yangchow pada tahun 1868. Rumah misi diserang dan dibakar dan para misionaris termasuk Maria Taylor hampir saja tidak mampu menyelamatkan jiwanya. Meskipun para misionaris itu dalam keadaan damai, kelihatannya tidak masuk akal bahwa kejadian itu membuat mereka dianggap sebagai penghasut perang, meskipun bukan begitu kejadiannya. Meskipun Taylor tidak pernah berusaha membalas dendam atau bahkan meminta perlindungan Inggris, tetapi ada politisi pendukung perang yang memandang kejadian Yangcho sebagai alasan sempurna untuk mengirim kapal perang dari angkatan perang kerajaan untuk merendahkan Cina, dan CIM menanggung konsekuensinya. Meskipun tidak ada tembakan, Times dari London dengan putus asa menyatakan kalau “harga diri politis telah ternoda” dan menuduhnya sebagai kesalahan “para misionaris di bawah China Inland Mission.” Publikasi negatif yang berakibat parah. Dukungan keuangan berkurang banyak, dan tenaga baru kehilangan minat.

Sementara banyak kontroversi internasional seputar kejadian di Yangchow, para misionaris CIM dengan diam-diam kembali ke kota dan melanjutkan pelayanan. Keberanian mereka adalah kesaksian bagi orang-orang Cina yang telah mengamati perlakuan brutal mereka oleh sekelompok kecil pengacau dan pintu sekarang terbuka bagi kesaksian yang efektif. Sebuah gereja mulai berdiri dan menurut Emily Blatchley, “Para petobat berbeda dari yang pernah kami alami di Cina. Ada kehangatan dan kesungguhan di antara mereka.”

Kritik terhadap Taylor dan CIM tidak berakhir dengan kontroversi Yangchow. Para editor surat kabar dan warga biasa terus menentangnya sampai ia betul-betul dihabisi. la begitu putus asa sehingga kehilangan semangat untuk melan­jutkan, dan menyerah kepada “cobaan yang hebat … bahkan untuk mengakhiri hidupnya.” Sementara kekuatan-kekuatan luar ikut memperparah depresinya yang gelap, penyebab utamanya lebih terletak pada pergumulan di dalam dirinya: “Saya membenci diri saya; saya membenci dosa saya; tetapi saya tidak memiliki kekuatan mengalahkannya.” Makin kuat ia berusaha memperbaiki keadaan rohaninya, makin sedikit kepuasan yang diperoleh: “Setiap hari, hampir setiapjam, kesadaran akan kegagalan dan dosa menindas diri saya.” “Kapan semuanya berakhir? Tetapi perhatian salah seorang temannya menyelamatkan Taylor dari kehancuran mental yang parah. Sadar akan masalah Taylor, teman tersebut dalam suratnya menceritakan rahasia kehidupan rohani-nya: “Membiarkan Juruselamat saya yang penuh kasih bekerja dalam diri saya. Kehendak-Nya … tinggal selamanya, tidak berjuang atau bergumul … Bukan suatu perjuangan untuk memiliki iman, atau me-ningkatkan iman kita tetapi melihat orang-orang yang beriman adalah yang paling kita butuhkan. Bersandar sama sekali pada orang yang kita kasihi …” Dengan surat itu kehidupan Taylor telah berubah: “Allah telah menjadikan diri saya manusia baru.”

Pembaruan rohani Taylor terjadi saat ia membutuhkan kekuatan bagi dirinya saat menghadapi ujian pribadi yang hebat. Segera setelah Natal usai pada bulan Januari 1870, keluarga Taylor mulai melakukan persiapan untuk mengirim empat anak mereka yang lebih tua kem-bali ke Inggris untuk pendidikan mereka. Emily Blatchley, yang mengenal mereka dengan baik, menawarkan diri kembali bersama dengan mereka untuk memelihara mereka di Inggris, tetapi bagaimanapun juga itu adalah saat yang menimbulkan trauma bagi keluar­ga yang sangat dekat. Jadi karena keadaan itu, Sammy yang berusia lima tahun serta lemah tidak tahan. Ia meninggal pada awal Februari. Meskipun terjadi tragedi itu, mereka tetap mengirim anak-anak mereka. Pada bulan Maret, Taylor dengan sedih berpisah dengan ketiga anaknya, yang tidak dapat mengetahui bahwa ciuman dan pelukan mereka adalah yang terakhir bagi ibunya di dunia ini. Selama musim panas setelah itu, Maria yang sedang mengalami hamil tua, mengalami sakit serius. Pada awal Juli, ia melahirkan bayi laki-laki, yang hidup kurang dari dua minggu. Beberapa hari setelah kematiannya, Maria juga mening­gal pada usia 33 tahun.

Tanpa Maria, Taylor merasa kesepian. la banyak bergantung pada dukungan dan penilaiannya, dan ia sangat kehilangan kasih sayangnya yang hangat. la merindukan kebersamaan dengan se­orang wanita yang telah lama dirindukannya., dan hal itu tanpa ragu mempengaruhi keputusannya untuk mengunjungi Hangchow pada bulan-bulan setelah kematian Maria, di mana ia melewatkan waktu dengan Jennie Faulding, seorang misionaris lajang berusia 27 tahun yang merupakan teman keluarga dekat sejak datang ke Cina bersama keluarga Taylor. Tahun berikutnya mereka berlayar ke Inggris dan menikah.

Di Inggris, Taylor sangat bahagia untuk bertemu kembali dengan anak-anaknya, tetapi ia mendapati dirinya dibebani pekerjaan administratif. Sekretaris di tempat asalnya, W.T. Berger tidak mampu lagi memenuhi tanggung jawabnya sehingga sebagian besar dari tugas kantor jatuh di pundak Taylor. Selama mudik ia mengorganisasi dewan untuk mengambil alih tugas-tugas Berger, dan setelah masalah itu selesai, pada musim gugur 1872, ia dan Jennie kembali ke Cina.

Saat CIM bertumbuh, Taylor melewatkan sebagian besar waktunya berkeliling Cina untuk mengawasi pekerjaan di berbagai pos misi. Ia melayani sebagai penyelesaian masalah dan terus menerus dihadapkan pada penyelesaian masalah di seluruh propinsi Cina, selain kembali ke Inggris. Pada tahun 1874, setelah dua tahun absen, ia kembali ke Inggris untuk mengelompokkan kembali anak-anaknya, yang telah terpencar semenjak kesehatan Emily Blatchley yang kurang baik, yang membuat dia tidak mampu untuk melanjutkan perawatannya; dan sekali lagi pada tahun 1876 ia kembali untuk menjaga semangat agar tidak padam di negeri asal. Setiap kali ia kembali ke Cina ia membawa lebih banyak misionaris bersamanya, dan juga kontroversi bersama mereka. Meskipun CIM mengalami keberhasilan, kritik tetap saja ada, khususnya dengan kualitas misio­naris yang kurang baik. Pendidikan adalah suatu prestasi berharga bagi warga Inggris dan mereka yang tidak memilikinya dianggap golongan bawah.

Meskipun kurang memiliki pendidikan yang baik, tetapi para misionaris memiliki nilai lebih dalam pengabdian dan gairah mereka. Mereka bersedia melayani di pedalaman menghadapi bahaya dan kekurangan karena mereka telah melakukan pengorbanan besar hanya untuk pergi ke Cina. Elizabeth Wilson adalah salah satu misionaris itu. Selama bertahun-tahun ia rindu melayani Tuhan di Cina, tetapi karena kesehatan orang tuanya yang kurang baik, ia terhalang. Selama 30 tahun ia mela­yani mereka dengan sabar, dan kemudian pada usia 50 tahun, tiga minggu setelah orang tuanya yang terakhir meninggal, ia mendaftar ke CIM dan diterima. Usianya yang makin kelihatan dengan rambut peraknya, membuat dia menjadi penduduk terhormat di Cina dan melayani dengan setia.

Wanita lajang adalah pemandangan umum di CIM. Taylor telah lama mengenali bukan hanya kegigihan mereka untuk menjadi relawan tetapi juga potensi mereka dalam pelayanan. Ada keterbukaan di antara wanita Cina dan hanya misionaris wanita yang dapat menjangkau mereka secara efektif. Ujian yang sesungguhnya pada keyakinan Taylor terhadap wanita muncul pada tahun 1877 ketika ia kembali ke Inggris bersama Jennie dan anak-anak. Muncul kabar kelaparan hebat yang melanda Cina utara dan diperlukan bantuan untuk para korban. Itu akan menjadi kesempatan luar biasa bagi penginjilan dan ada banyak relawan wanita – tapi tanpa pemimpin. Taylor sendiri kurang sehat, dan siapa lagi mengenal Cina, orang-orangnya serta bahasanya dengan baik untuk memimpin kelompok misionaris? Jawabannya jelas – Jennie. Dengan meninggalkan seorang suami dalam keadaan kesehatan yang buruk dan tujuh anak (dua anaknya sendiri dan empat dari Maria, isteri pertama Taylor, dan seorang anak-angkat) bukan gagasannya tentang menjadi ibu yang baik, tetapi ia sadar bahwa pelayanan melebihi ikatan keluarganya sendiri dan Taylor dengan kuat mendorong dia untuk pergi. Menurut dia, para isteri misionaris bukan hanya isteri tetapi mereka juga misionaris. Saat menulis pada para calon misionaris yang berpotensi, ia telah menegaskan: “Jika anda tidak menginginkan agar isteri anda menjadi seorang misionaris dan bukan hanya sekedar isteri, ibu rumah tangga dan teman, jangan bergabung dengan kami. “Jennie adalah seorang “misionaris sejati”. Ditemani oleh para wanita lajang, ia berangkat menuju ke pedalaman Cina utara, di mana ia dan para mitranya melayani sampai Hudson bergabung bersamanya pada tahun berikutnya dengan membawa para tenaga baru.

Makin banyak pekerjaan dan kunjungan Hudson di Cina, makin besar bebannya untuk menginjili negeri dengan jumlah penduduk yang besar itu, meskipun tanggung jawabnya begitu besar: “Jiwa-jiwa yang ada sedang menuju kebinasaan karena kurangnya pengetahuan; lebih dari 1000 orang tiap jam mati dan masuk dalam kegelapan.” Kelihatannya ini tugas yang mustahil, tetapi Taylor memiliki rencana. Jika ia dapat mengumpulkan 1000 orang penginjil dan jika setiap penginjil itu dapat menjangkau 250 orang per hari dengan Injil, seluruh Cina dapat diinjili tiga tahun lebih sedikit. Tentu saja itu adalah visi yang tidak realistis, dan tujuannya tidak pernah tercapai, tetapi CIM meninggalkan kesan yang tak ter-hapuskan di Cina. Pada tahun 1882, CIM telah memasuki tiap propinsi dan pada tahun 1895, tigapuluh tahun setelah pendiriannya, CIM memiliki lebih dari 640 misionaris yang mengorbankan kehidupan mereka di Cina.

Keinginan Taylor menjangkau seluruh Cina dengan Injil tentu saja ambisi yang tinggi, tetapi tujuan itu mungkin menjadi kelemahan terbesar CIM. Dalam menjangkau seluruh Cina kebijakan penyebaran (dan bukannya konsentrasi) diterapkan. Menurut sejarawan misi ternama, Kenneth Scott Latourette, “Tujuan utama CIM adalah bukan untuk memenangkan petobat atau membangun gereja Cina, tetapi menyebarkan pengetahuan akan Injil Kristen di seluruh kekaisaran secepat mungkin… atau, meskipun para asisten Cina dipekerjakan, tidak ada penekanan pada perekrutan dan pelatihan dari sebuah pela­yanan Cina.” Kebijakan seperti itu tidak bijaksana. Permusuhan terhadap orang-orang asing dilampiaskan dalam pemberontakan Boxer, dan pengambilalihan oleh Komunis beberapa dasawarsa kemudian yang secara menyolok menggambarkan kelemahan bawaan dari kebijakan yang tidak mem­bangun pelayanan dan gereja lokal sebagai prioritas nomer satu.

Hari-hari yang suram berlangsung tidak hanya sebentar bagi CIM. Tahun-tahun akhir abad ke-19 adalah tahun-tahun penuh ketegangan dan kerusuhan. Kekuatan modernisasi (dan masuknya budaya Barat) bentrok dengan kekuatan tradisi dan bersikap menentang ter­hadap para orang asing. Dengan kekuatan-kekuatan imperial yang bergerak menuju ke sisi konservatif, posisi orang Barat menjadi berbahaya. Pada bulan Juni 1900 suatu ketetapan kaisar dari Peking memerintahkan pembunuhan semua orang asing dan pemusnahan kekristenan. Bencana terbesar dalam sejarah misi Protestan terjadi. Seratus tiga puluh lima misio­naris dan lima puluh tiga anak-anak misionaris dibunuh secara brutal, dan para misionaris pedalaman yang gagah berani yang banyak di antaranya adalah wanita lajang yang menderita paling banyak. Di Propinsi Shansi saja, sembilan puluh satu misionaris CIM dibantai.

Bagi Taylor yang diisolasi di Swiss, dan tengah memulihkan diri dari kelelahan mental dan fisik, kabar dari Cina meskipun disembunyikan oleh mereka yang merawat dia, menjadi terlalu berat bagi dirinya, dan ia tidak pernah pulih sepenuhnya dari trauma itu. Pada tahun 1902, ia mengundurkan diri dari posisi sebagai Direktur Umum dari misi itu, dan ia serta Jennie tinggal di Swiss sampai tahun 1904 saat Jenny meninggal. Tahun berikutnya Taylor kembali ke Cina, di mana ia meninggal pada bulan setelah ia tiba. Pada tahun-tahun berikutnya, CIM bertumbuh terus. Pada tahun 1914, CIM menjadi organisasi misi luar negeri yang terbesar di dunia, dan mencapai puncaknya pada tahun 1934 dengan 1368 misionaris. Setelah pengambil alihan oleh Komunis pada tahun 1950, CIM bersama dengan lembaga misi lainnya diusir dari Cina dan setelah melayani seratus tahun, CIM mengubah namanya pada tahun 1964 menjadi Persekutuan Misi Luar Negeri (OMF – Overseas Missionary Fellowship), suatu nama yang memberi petunjuk akan kegiatan misi mereka di wilayah Dunia Timur.

Kontribusi Hudson Taylor pada misi Kristen tidak dapat dihitung. Sulit membayangkan di mana keadaan misi sekarang tanpa visi dan pandangannya ke depan. Ia adalah “pemula muda” menurut istilah Ralph Winter, yang dampaknya pada misi Kristen menyaingi atau melebihi kegiatan William Carey suatu dampak yang digambarkan secara perseptif dalam ringkasan-nya akan perkembangan terakhir:

Dengan hanya pengobatan sekolah kejuruan, tanpa pengalaman universitas, apalagi pelatihan misi, dan masa lalu yang gagal dalam hubungannya dengan perilaku pribadinya sementara ia berada di lapangan, ia hanyalah salah satu dari hal kecil yang digunakan oleh Allah untuk membingungkan orang-orang pandai. Meskipun strategi misi penanaman anti-gereja pada awalnya secara mengejutkan banyak mengandung kesalahan menurut standar penanaman gereja pada masa sekarang. Meskipun demikian secara ajaib Allah menghormati dia karena pandangannya diarahkan pada orang-orang yang paling kurang dijangkau. Hudson Taylor memiliki hembusan ilahi di belakangnya. Roh Kudus menghindarkan dia dari banyak bahaya, dan organisasinya, China Inland Mission – organisasi pelayan paling kooperatif – yang pada akhirnya melayani dengan satu atau lain cara atas 6000 misio­naris, terutama di pedalaman Cina. Dibutuhkan 20 tahun bagi misi-misi lain untuk mulai bergabung dengan Taylor dalam penekanan khususnya wilayah-wilayah pedalaman yang tak terjangkau.

Sumber: FROM JERUSALEM TO IRIAN JAYA by RUTH TUCKER

Comments

comments