Kisah – Cerita dibalik lukisan Tangan Berdoa

Lukisan Tangan berdoa , adalah lukisan Albrecht Durer yang luar biasa; membuat orang terkesan dengan gambar tangan ini, bahkan sebelum mendengar kisahnya.
Tak heran Mc. Angelo pernah berkata: “Saya rela mati demi meninggalkan karya yang besar” dan William James berkata: “Kalau anda mau mati meninggalkan karya yang besar tinggalkanlah karya yang abadi.” Tetapi apa itu yang abadi?

Datanglah Yesus yang bersabda: “Langit dan bumi akan lenyap, FirmanKU tinggal tetap.” Jadi hai hamba2 Tuhan, kalau kalian sampai mati memberitakan Firman Tuhan, kalian lebih “hebat” daripada Mc. Angelo dan filsuf modern William James.

Nah,sekarang ingin tahu Kisah – cerita dibalik lukisan tangan berdoa ???, inilah kisanya :
Di sebuah desa kecil dekat Nuremberg, Jerman, di abad 15, hiduplah sebuah keluarga dgn anak-anaknya yg berjumlah 18. Ya, delapan belas! Sang ayah, seorang pedagang emas, bekerja hampir delapan belas jam sehari di tokonya utk menghidupi keluarganya. Apa saja yg berguna dan menghasilkan uang ia kerjakan.

Walaupun kondisi keluarga itu senin-kemis, nyaris tanpa harapan, dua anak sulungnya mempunyai cita-cita tinggi. Albrecht Durer dan adiknya Albert Durer bercita-cita suatu saat kelak mereka akan menjadi seniman terkenal, kuliah di akademi tinggi di Nuremberg, walau pun mereka tahu ayah mereka secara finansial tidak akan mampu membiayai kuliah di sana.

Setelah diskusi yg panjang di suatu malam di tempat tidur mereka yg penuh sesak, kedua anak laki-laki tertua ini akhirnya membuat kesepakatan. Mereka akan melemparkan sebuah koin. Yg menang, dialah yg melanjutkan studi ke akademi utk mengejar impian menjadi seniman terkenal. Yg kalah akan tetap tinggal di kampung halaman, bekerja di pertambangan di dekat rumah mereka, dan dgn penghasilannya dari bekerja itu, membiayai kuliah saudaranya yg akan menjadi seniman hebat. Diharapkan, setelah kuliah empat tahun, sang seniman besar itu sudah bisa kembali dan membiayai adik-adiknya yg lain.

Mereka melemparkan koin. Hasilnya? Albrecht Durer memenangkan undian dan kuliah ke akademi di Nuremberg. Albert tinggal di kampung dan bekerja sebagai buruh tambang, sebuah pekerjaan yg cukup berbahaya kala itu. Selama empat tahun ke depan, ia membiayai saudaranya yg menempuh pendidikan di akademi.

Di akademi, Albrecht ternyata menjadi bintang. Lukisan-lukisannya, ukiran kayunya dan lukisan minyaknya jauh lebih baik daripada karya para profesornya. Dan pada saat ia lulus, ia mendapat cukup banyak uang atas karya-karyanya.

Ketika seniman muda itu kemudian kembali ke desanya, keluarga Durer mengadakan pesta makan malam di halaman rumah mereka untuk merayakan kepulangan Albrecht. Setelah makan malam yang panjang dan berkesan, diselingi dengan musik dan tawa, Albrecht bangkit dari posisi terhormat di ujung meja untuk minum bersulang bagi adik tercintanya, atas tahun-tahun pengorbanan yang memungkinkan Albrecht memenuhi ambisinya. Di akhir pidatonya, Albrecht berkata, “Sekarang, Albert, saudaraku yang sangat disayangi Tuhan, giliranmu lah. Sekarang engkau sudah punya kesempatan berangkat ke akademi di Nuremberg untuk mengejar impianmu, dan saya akan mengurus semua yang kau perlukan.”

Semua kepala berpaling ke ujung meja tempat Albert duduk. Air mata mengalir di wajahnya yang pucat, menggelengkan kepalanya sementara ia menangis dan berulang berkata, “Tidak … tidak .. tidak …. tidak. ” Albert bangkit dan menyeka air mata dari pipinya. Dia melirik ke meja panjang di wajah-wajah yang dicintainya, dan kemudian, memegang tangannya dekat dengan pipi kanan, ia berkata pelan, “Tidak, saudaraku, saya tidak bisa pergi ke Nuremberg. Sudah terlambat untuk saya. Lihatlah … lihat apa yang saya dapatkan selama empat tahun bekerja di tambang. Tulang di setiap jari saya telah pernah hancur setidaknya sekali!. Dan akhir-akhir ini saya telah menderita rheumatoid begitu parah di tangan kanan saya, sehingga utk memegang gelas dan bersulang kembali untuk mu pun aku tak bisa. Apalagi untuk memegang kuas dan melukis garis-garis halus di kanvas. Bagi saya itu sudah terlambat.”

Kini, hampir lima abad sudah berlalu. Ribuan lukisan potret dan karya lainnya dari Albrecht Durer telah beredar dan menghiasi banyak dinding dan ruang di seluruh dunia. Dan hampir dapat dipastikan, sebagian besar orang pernah melihat, bahkan mungkin memiliki reproduksi dari salah satu lukisannya yg sangat terkenal, yakni gambar yg diberi judul: The Praying Hands. Tangan yg berdoa.

Berikut sejarah di balik gambar itu.

Suatu hari, utk memberi penghormatan kepada Albert atas semua yang telah dikorbankannya, Albrecht Durer dengan susah payah menghela tangan adiknya itu, meluruskan jari-jarinya dan kemudian melukisnya. Ia memberi judul lukisan itu “Hands,” tetapi seluruh dunia melihat lukisan itu jauh dari sekadar ‘Hands’ melainkan suatu persembahan cinta yang tulus, tangan yang berkorban dan memohon. Itu lah sebabnya ia lebih terkenal dengan judul “The Praying Hands.” Tangan yang bekerja, berkorban demi mewujudkan sebuah cita-cita dan doa. Itu lah Tangan yang Berdoa.

Comments

comments