Yakobus 1:26-27
Bukanlah sebuah kebetulan jika sampai hari ini orang-orang percaya masih diperkenankan beribadah kepada Tuhan di dalam rumah-Nya. Sesungguhnya, dalam Perjanjian Lama TUHAN sengaja merancang Bait Suci agar orang asing dapat mendengar dan mengenal jati diri TUHAN Allah Israel. Hal ini nampak dalam doa yang pernah dinaikkan Salomo sesaat setelah pembangunan Bait Suci selesai (1Raj. 8:41-42). Namun sejarah menunjukkan hal yang sebaliknya, kehadiran Bait Suci dan segala ritual peribadahan yang dilakukan orang Israel hanya membuat mereka menjadi umat TUHAN yang ekslusif. Terhadap kenyataan tersebut, gereja masa kini perlu sekali untuk waspada. Dalam bukunya Christ the Controversialist, John Stott pernah menulis, “Gereja yang hidup bagi dirinya sendiri harus mati!” Ini artinya, kehadiran gereja Tuhan di tengah-tengah dunia tidak dapat dipisahkan. Demikian pula terhadap isu kelas sosial yang ada di tengah dunia, gereja harus berani turun tangan! Maka Yakobus mengajak pembacanya – 12 suku di perantauan – untuk memperhatikan kelas-kelas sosial yang lemah, yakni yatim piatu dan janda-janda. Lantas, bagaimana agar aktivitas peribadahan yang dilakukan gereja masa kini dapat meniadakan kelas-kelas tertentu?
- Mewaspadai hal terkecil dalam diri.
Dalam ayat 26, Yakobus mengajak pembacanya untuk mengekang lidah. Mengapa harus lidah? Lidah adalah anggota kecil dari tubuh yang dapat memegahkan hal-hal besar (Yak. 3:5). Bahkan, lidah digambarkan seperti sebuah kemudi kecil yang dapat mengendalikan kapal yang besar (Yak. 3:4), api kecil yang dapat membakar hutan (Yak. 3:5), dan sesuatu yang buas, tidak terkuasai, serta penuh racun (Yak. 3:8). Ini artinya untuk mulai meniadakan kelas-kelas tertentu, gereja masa kini harus mewaspadai hal-hal terkecil dalam dirinya. Sebab, hal terkecil bisa menjadi hal terbesar bagi orang lain. Untuk itu, Yakobus meminta pembacanya untuk mengekang lidah. Perlu dipahami bahwa mengekang lidah yang dimaksud Yakobus tidak sama dengan sikap diam dan pasif. Mengekang berarti mengontrol, bukan terdiam (silent) dan passive. Sehingga, sikap terdiam dan pasif bukanlah satu sikap yang tepat dalam merespons isu kelas-kelas sosial. Untuk mulai mewaspadai hal terkecil dalam diri, gereja masa kini harus mengontrol budaya-budaya tertentu dalam jemaatnya, seperti: discrimination (budaya memperlakukan orang lain dengan tidak seimbang); gossiping (budaya membicarakan orang lain secara negatif); labelling (budaya menempelkan identitas tertentu ke orang lain); dan stereotype (budaya mengkategorikan orang lain ke dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan persepsi).
- Membagi yang berharga bagi orang lain.
Dalam ayat 27, Yakobus mengajak pembacanya untuk memperhatikan yatim piatu dan janda-janda. Mengapa harus mereka? Pertama, harus dipahami bahwa pada abad pertama jaminan sosial belum ada, sehingga mereka benar-benar hidup susah. Kedua, hak mereka sering dirampas dengan mudah oleh orang yang lebih kuat (Luk. 20:47). Maka, merekalah orang-orang yang paling layak menerima perhatian. Hal yang harus diwaspadai selanjutnya adalah bahwa perintah untuk mengunjungi yatim piatu dan janda-janda bukanlah perintah baru dalam surat Yakobus. Perintah ini sudah hadir dalam Perjanjian Lama (Ul. 24:14; Zak. 7:10). Sehingga, perintah ini adalah hal yang sangat familiar bagi pembaca surat Yakobus. Tetapi, kenyataan justru mengungkapkan sebuah keironisan, bahwa umat Tuhanlah yang paling sering mengeksplotasi mereka (Yes. 1:16-17; Mik. 6:6-8). Lantas, apa yang menjadi masalah sebenarnya? Masalah sebenarnya adalah tentang sebuah kekosongan religiusitas! Banyak orang percaya yang sudah mengenal siapa Yesus Kristus, mereka tahu bahwa Yesus datang untuk mengampuni dosa manusia, mereka paham bahwa Yesus memerintahkan untuk mengasihi sesama, mereka beriman bahwa Yesus akan segera datang kembali untuk menjemput orang-orang percaya. Tetapi, mereka tidak pernah memperhatikan kehidupan keagamaan mereka. Pemikiran mereka mungkin kritis, tetapi mereka sangat tumpul dalam hal menghidupi. Terhadap keironisan tersebut, Tuhan Yesus dengan keras mengatakan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Mat. 5:20). Jadi, bagaimana menyelesaikan kelas-kelas sosial yang ada? Hal yang harus kembali diwaspadai adalah bahwa gap dalam kelas sosial akan selalu ada: atas-bawah; kaya-miskin; suku A-suku B; agama A-agama B. Maka, tugas gereja masa kini adalah untuk menyelesaikan gap itu. Bagaimana? Berani mengosongkan diri sama seperti Allah yang mengosongkan diri-Nya (Flp. 2:5-8). Prinsipnya adalah emptying is giving (mengosongkan berarti memberi). Gereja masa kini perlu belajar mengosongkan dirinya melalui pengosongan ambisi pribadi, kredit diri/signifikansi diri, waktu, tenaga, uang, dsb.
Kesimpulannya, Allah menghadirkan gereja di tengah dunia untuk berpartisipasi aktif menyingkapi isu-isu sosial. Ibadah yang dilakukan dalam gereja harus membuat lingkungan sekitarnya mengenal siapa Tuhan yang disembah. Miroslav Volf pernah berkata, “Authentic Christian worship takes place in a rhythm of adoration and action.” Artinya, ibadah Kristen yang otentik terjadi dalam irama penyembahan dan tindakan.
Oleh: Calvin Wu – Khotbah pada ibadah UPP.Pemuda,Kamis 12 Juli 2018