Film “Hackshaw Ridge” pada tahun 2016 menyuguhkan suatu pesan yang menarik kepada para penonton, khususnya orang-orang Kristen, yaitu jadilah seorang Kristen yang fanatik. Berdasar dari kisah nyata seorang mantan tentara perang Amerika pada Perang Dunia II, Desmond T. Doss dikenal sebagai prajurit pertama dalam sejarah Amerika yang mendapat medali kehormatan tanpa menembak satu kalipun. Ia menjadi pahlawan perang dan satu-satunya tentara yang memasuki zona perang tanpa memegang satu senjatapun untuk melindungi dirinya. Alasannya sederhana, yaitu karena perintah Allah adalah “jangan membunuh,” dan ia memegang teguh keyakinan itu. Ia adalah seorang Kristen Advent hari Ketujuh yang saleh dan satu perkataan yang menarik dari Doss di akhir filmnya adalah, “keyakinan seseorang bukanlah sebuah lelucon”.
Ditengah zaman yang ditandai dengan semangat kompromistis dan toleransi, taring kekristenan enggan patah karena memilih untuk mengaburkan keyakinannya demi kenyamanan pluralitas. Alasannya sederhana yaitu menghindari sensitivitas keagamaan, menghargai perbedaan, dan sebagainya. Namun, pertanyaannya apakah hal demikian yang dikehendaki Tuhan? Saya yakin sekali bahwa Yesus tidak menghendaki hal demikian. Alasan saya sederhana bahwa Ketika Yesus semasa kehidupannya berjuang menunjukkan perbedaan hidup antara kerajaan Allah dengan gaya hidup kerajaan duniawi, mengapa kita justru menyembunyikan diri?
Pada masa ini, kekristenan ditandai dengan dua macam orang Kristen, yaitu : pertama, Kristen kontekstual dan kedua, Kristen Fanatik. Kristen kontekstual cenderung “melebur” bersama dengan pandangan atau nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka mengembangkan macam-macam teologi kontekstual dengan keyakinan bahwa Kristus telah berinkarnasi ke dalam setiap budaya dan kepercayaan sehingga kita bisa menemukan Kristus di mana saja. Namun, usaha ini terkadang terlalu melebar sehingga keluar batas. Akibatnya, Kekristenan terlalu melebur dan hilang keunikkan identitasnya.
Sedangkan, Kristen Fanatik kebanyakan digandrungi oleh orang-orang yang berbanding terbalik dengan Kristen kontekstual. Mereka menunjukan jati diri mereka tanpa mau sedikitpun berkompromi dengan budaya ataupun kepercayaan lainnya. Mereka berani tampil berbeda dan menyuarakan suara mereka. Bagi mereka, apa yang mereka imani adalah suatu kebenaran mutlak yang tidak boleh dikompromikan. Namun, akibatnya mereka seringkali menganggap diri mereka “superior” sehingga kurang menghormati budaya dan keyakinan lainnya.
KRISTEN KRITIS-SOLIDARITAS
Jamie Snyder, seorang Pastor di Lakeside Church, di dalam bukunya “Real, Becoming 24/7 Follower of Jesus” memulai bab pertamanya dengan suatu pertanyaan menarik yang terus diulang-ulang olehnya. “If Sunday didn’t exist, would anyone know you were a follower of Jesus?” (jika hari sabat tidak ada, akankah seseorang tahu bahwa kita adalah pengikut Kristus?) Maksud Snyder begitu sederhana, bahwa bagaimanakah caranya agar orang dapat melihat Kekristenan itu? Ataukah kekristenan telah memudar dan warnanya tidak lagi terlihat disekeliling kita?
Yesus pernah memerintahkan orang Kristen agar menjadi “Garam” dan “Terang” dunia. Ia ingin agar pengikut Kristus menjadi orang-orang yang memberi dampak kehidupan Kerajaan Allah. Seorang Kristen seharusnya tidak bersembunyi, tetapi terangnya harus terlihat dan asinnya harus dirasakan. Seorang Kristen kontekstual yang kehilangan keunikan identitasnya jelas telah gagal melaksanakan perintah ini. Maka itu, ia butuh menjadi seorang Kristen yang fanatik, radikal bahkan subversif dalam pergerakannya dalam menunjukan kebenaran.
Namun, menjadi seorang Kristen bukan berarti tidak kontekstual. Rasul Paulus juga memberi pesan bahwa seorang Kristen haruslah kontekstual (I Kor 9:19-23). Ia harus memperhatikan konteks di mana ia berada, tetapi dengan prinsip supaya Kristus disaksikan dan memenangkan banyak jiwa (I Kor 9:19). Bukan untuk tujuan bersembunyi atau mencari aman. Kristus harus tetap menjadi yang utama, bukan malah bersanding sejajar dengan tokoh agama lainnya yang pasti tidak sebanding dengan Dia.
Pada akhirnya, menurut hemat saya, seorang Kristen haruslah menjadi Kristen yang Kritis-Solidaritas. Apa itu Kritis-Solidaritas? Seorang Kristen fanatik yang kritis, namun berjiwa kontekstual sehingga memiliki sikap “solidaritas” yang besar terhadap semua golongan bahkan kepercayaan lain sehingga membuat dia tetap relevan dan dapat berkontribusi ketika berada di manapun. Anda yang mana?
(Josua J. Sengge)