Renungan Minggu Kedua September 2015

ORANG KRISTEN YANG “MANJA”  

Kita tidak dapat menyalahkan siapapun jika hari-hari ini ditemui orang-orang Kristen yang imannya dangkal. Pemahaman mengenai keimanannya memprihatinkan dan kehidupannya kekristenannya sangat “manja”. Banyak orang Kristen yang “manja”. Ia akan mengikut Kristus ketika Kristus baik di dalam hidupnya. Ia akan mengikut Kristus jika apapun yang ia kehendaki tercapai. Tetapi, selepas hal itu tidak terjadi, malahan penderitaan dan kesusahan yang justru diterimanya, maka ia akan dengan mudah meninggalkan Yesus.

Saya kira, fenomena ini dapat terjadi diakibatkan oleh karena orang Kristen tidak dididik dan atau memberi dirinya untuk dididik dalam pemahaman iman Kristen yang benar. Para hamba Tuhan tidak dapat menyalahkan jemaat jika jemaatnya hidup dengan “manja”. Dugaan saya, ini akibat pendidikan didalam gereja yang tidak diorganisir dengan baik. Disatu sisi, sikap “manja” ini juga diakibatkan oleh jemaat yang tidak mendisiplinkan dirinya untuk belajar memahami Tuhan dan kritis dalam pengajaran alkitab. Maka, kita dibentuk oleh pemahaman iman yang dangkal kepada Kristus.

Sejak Sekolah Minggu (Sunday School), orang-orang Kristen telah dididik dengan pengajaran-pengajaran yang salah. Lagu-lagu Sekolah Minggu tidak dikritisi terlebih dahulu apakah alkitabiah atau tidak. Contohnya, lagu “naik kereta” pada Sekolah Minggu:

“Aduh senangnya naik kereta, kereta besar buatan Tuhan.

Sopirnya Yesus, jalannya lurus, siapa mau ikut pergi ke surga.

Aduh celaka naik kereta. Kereta kecil buatan iblis.

Sopirnya ngantuk, gak bisa duduk, jalannya nubruk-nubruk, pergi ke neraka.”

 

Sepintas lalu, ini adalah salah satu lagu yang digemari oleh anak-anak Sekolah Minggu pada umumnya, namun tanpa disadari, pengajaran lagu ini sedang mengiring anak-anak ini bertumbuh dengan sikap iman dan hidup yang “manja”. Orang-orang Kristen bertumbuh dengan mental bahwa mengikut Kristus akan selalu senang, tiada pernah susah. “keretanya besar” yang mengisyaratkan tentang kenyamanan dan kemewahan hidup. Mereka memperlakukan Yesus seperti “sopir” mereka yang harus mengikuti kemauan arahan mereka sebagai boss dan orientasinya adalah surga. Jelas-jelas ini merupakan implikasi dari “Teologi sukses” yang tidak alkitabiah.

Kita harus kembali memeriksa iman dan pemahaman kita mengenal Kristus. Mengikut Kristus adalah suatu perjalanan salib. Salib tidak berbicara mengenai kehidupan yang indah dan mewah, tetapi salib berbicara mengenai ketundukan, taat dan setia kepada panggilan Tuhan. Ayub mengalami cobaan yang berat di dalam mengikut Tuhan. Rasul Paulus didera dan dipenjara dalam pemberitaannya tentang Yesus. Petrus disalib secara terbalik karena mengikut Kristus. Orang-orang Kristen harus kembali mengingat bahwa mengikut Tuhan bukan berarti perjalanan hidup selalu lurus. Adakalanya jalan itu “nubruk-nubruk”, namun disitulah kita dapat melihat Tuhan bekerja di dalam hidup kita. Ketika kita tetap percaya kepada Tuhan meski harus mengalami permasalahan kehidupan yang sulit, disitulah kita sedang berjalan didalam iman yang benar dan sikap yang hidup yang “dewasa” dan bukan “manja”. Matius 10:16, “lihatlah, Aku mengutus kamu seperti domba di tengah-tengah serigala, …” hiduplah di dalam iman yang dewasa untuk dapat menghadapi “serigal-serigala” itu. (Josua J. Sengge)

Comments

comments