Ibadah Refleksi Paskah dan Doa Puasa,Kamis 2 April 2015

Allah Roh Kudus, penuilah hati kami dan bukalah akal budi kami, agar dengan merenungkan sengsara Tuhan Yesus ini, kami dapat semakin memahami cinta kasih Allah dan tergugah untuk hidup sesuai dengan hukum cinta kasih-Mu.

Tuhan Yesus Kristus, Sumber kebahagiaan abadi, Penyelamat, dan Pengharapan semua pendosa. Bagi-Mu, kesukaan terbesar adalah berada di tengah-tengah manusia, bahkan menjadi manusia sepenuhnya, demi cinta kasih-Mu kepada manusia. Engkau telah dengan rela menerima segala kesengsaraan dan penderitaan, sejak Engkau dilahirkan, yang memuncak pada saat Engkau menderita di kayu salib dan mati, sebagai pemenuhan rencana ilahi-Mu. Pada Perjamuan Terakhir dengan para Rasul, Engkau membasuh kaki mereka.

Engkau memberi mereka Tubuh dan Darah-Mu, yang tak ternilai harganya; dan pada saat yang sama Engkau meramalkan sengsara-Mu, namun sempat menghibur mereka. Dalam menghadapi maut, Engkau mengalami duka-derita yang mendalam, kepahitan, dan kegetiran hati, semata-mata karena dosa-dosa manusia, hingga murid-murid-Mu Kau minta untuk menemani-Mu di Taman Getsemani, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah”.

Segala ketakutan, kepiluan hati, dan derita telah Kau alami sebelum Engkau disiksa dan disalib, hingga Engkau berpeluh darah ketika berdoa kepada Allah Bapa. Yudas, murid-Mu, mengkhianati Engkau; Engkau ditangkap dan disiksa oleh bangsa pilihan-Mu; mereka mengangkat saksi-saksi palsu dan Engkau diadili dengan curang, bahkan pada saat mereka harus merayakan hari raya Paskah dengan khidmat.

Mereka dengan paksa menanggalkan jubah-Mu dan menggantinya dengan pakaian penghinaan; mereka menutup muka-mu dengan kain dekin dan menampar-Mu; mereka mengolok-olok Engkau dengan menganyam ranting-ranting berduri untuk dikenakan sebagai mahkota di kepala-Mu; memberi Engkau tongkat untuk kemudian memukuli-Mu bertubi-tubi sambil melancarkan hinaan-hinaan yang menyakitkan. Demi sengsara dan semua penderitaan yang telah Kau alami sebelum sengsara-Mu di Kayu Salib, berilah aku pertobatan sejati, penyesalan sempurna, dan pengampunan atas dosaku.

Tuhan Yesus, Sumber kemerdekaan dan kebahagiaan sejati para Malaikat. Engkau telah mengalami kengerian dan kedukaan yang tiada tara, ketika bangsa pilihan-Mu laksana singa-singa buas dan lapar mengelilingi dan menghujani-Mu dengan berbagai macam hinaan, ludahan, pukulan, dan siksaan yang mengerikan.

Tuhan Yesus, Pencipta Surga dan alam semesta. Cinta-Mu kepada umat manusia tidak dapat dibendung maupun dibatasi. Engkaulah yang melindungi kami dengan kuasa cinta kasih-Mu yang tiada batas itu. Ingatlah akan derita yang demikian hebat, ketika dengan kebengisan dan kebencian yang didasari kemurkaan yang tak terpuaskan, bangsa pilihan-Mu menelentangkan Tubuh-Mu di kayu salib dan menarik-Nya dengan paksa hingga otot-otot-Mu terputus. Ingatlah pula ketika mereka merentangkan tangan-Mu dan menumpuk kaki-Mu di kayu salib dan memanteknya dengan paku-paku besar. Kami mohon, ya Yesus, demi cinta dan sengsara-Mu di kayu salib ini, berilah kami rahmat untuk dapat memahami sengsara-Mu itu dan semakin mencintai-Mu.

Yesus, Sang Juru Selamat, tiada penderitaan yang melebihi penderitaan-Mu; bilur-bilur dan luka-luka-Mu memenuhi sekujur tubuh-Mu, dari kepala hingga ujung jari kaki-Mu; namun demikian, tanpa menghiraukan penderitaan-Mu itu, Engkau berdoa kepada Bapa di surga bagi mereka yang telah menganiaya-Mu, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”.

Tuhan Yesus, kami mohon, kiranya bilur-bilur dan luka-luka-Mu menyembuhkan luka-luka kami, yaitu luka-luka yang disebabkan oleh kedegilan hati kami dan sikap tidak mengenal cinta kasih. Dengan kasih serta kemaharahiman-Mu, Engkau telah sudi mengampuni orang-orang uang berbuat keji kepada-Mu.

Kira-kira pukul sembilan malam ketika Yesus tiba di Getsemani bersama para murid-Nya. Yesus sangat berduka, Ia mengatakan kepada para rasul-Nya bahwa bahaya sudah di ambang pintu. Para murid merasa gelisah. Ia mengatakan kepada rasul- rasul yang mengikuti-Nya untuk tinggal di Taman Getsemani sementara Ia pergi berdoa. Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya. Mereka berjalan sedikit lebih jauh, memasuki Taman Zaitun. Tak ada kata yang dapat mengungkapkan dukacita yang waktu itu menghimpit jiwa-Nya, oleh sebab masa pencobaan sudah dekat. Yohanes bertanya kepada-Nya bagaimana Ia, yang hingga saat ini senantiasa memberikan penghiburan kepada mereka, sekarang dapat begitu patah hati? “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya,” jawab-Nya. Dan Ia melihat sengsara dan pencobaan-pencobaan mengelilingi-Nya dari segala penjuru, dan mereka semakin dan semakin dekat, dalam bentuk sosok-sosok yang mengerikan dalam awan-awan. Pada saat itulah Ia berkata kepada ketiga rasul, “Tinggallah dan berjaga-jagalah bersama-Ku di sini. Berdoalah agar kalian jangan jatuh ke dalam pencobaan.” Yesus maju beberapa langkah ke sebelah kiri, menuruni bukit, dan menyembunyikan diri di bawah sebuah batu karang, dalam sebuah gua yang sekitar enam kaki dalamnya, sementara para rasul tetap berada di lembah atas.

Ketika Yesus meninggalkan para murid-Nya, dukacita dan sengsara jiwa-Nya terus bertambah. Sekujur tubuh-Nya gemetar saat Ia melangkah masuk ke dalam gua untuk berdoa, bagaikan seorang kelana yang letih karena perjalanan jauh bergegas mencari tempat perlindungan dari badai yang datang tiba-tiba. Tetapi penglihatan-penglihatan yang mengerikan itu mengejar-Nya hingga ke sana, dan menjadi semakin dan semakin jelas dan nyata. Sungguh malang! gua kecil ini nampaknya sarat dengan gambaran-gambaran menjijikkan dari segala dosa-dosa yang telah ataupun yang akan dilakukan, sejak dari jatuhnya Adam ke dalam dosa hingga akhir jaman, dan hukuman yang setimpal bagi dosa-dosa itu.

Tetes-tetes besar darah menuruni wajah Juruselamat kita yang pucat, rambut-Nya kusut, janggut-Nya berlumuran darah dan lengket.

Tetapi Ia berjalan dengan sempoyongan; penampilan-Nya bagaikan seorang yang penuh luka-luka dan bongkok di bawah suatu beban yang berat. Ia terseok-seok di setiap langkah-Nya.

Ketika Ia tiba di hadapan ketiga rasul, mereka tidak sedang terbaring tidur seperti sebelumnya, tetapi kepala mereka diselubungi, dan mereka merunduk di antara kedua lutut mereka, dalam suatu sikap yang biasa diambil orang dari bangsa itu ketika sedang berduka atau berdoa. Mereka tertidur, dikuasai dukacita dan letih. Yesus gemetar dan mengerang, mendekati mereka, dan mereka pun terbangun.

Ia jatuh dengan muka-Nya ke tanah, tertindih dukacita yang tak terkatakan. Segala dosa-dosa dunia menari-nari di hadapan-Nya, dalam berbagai bentuk yang tak terhitung banyaknya dan dalam cacat cela mereka yang sesungguhnya. Ia mengambil semuanya dan membebankannya ke atas DiriNya Sendiri. Dalam doa-Nya, Ia mempersembahkan PribadiNya Sendiri yang menawan itu kepada keadilan Bapa SurgawiNya, sebagai pelunasan atas hutang yang begitu besar. Tetapi setan, yang meraja atas segala kengerian ini, dan yang bahkan dipenuhi sukacita bengis melihat-Nya, mengumbar murkanya atas Yesus, dan menghadirkan di hadapan mata jiwa-Nya penglihatan-penglihatan yang terlebih lagi mengerikan. Pada saat yang sama, sesekali setan berbicara kepada kemanusiaan-Nya yang menawan dengan kata-kata seperti: “Adakah Engkau bahkan hendak membebankan dosa ini atas DiriMu? Adakah Engkau bersedia menanggung hukumannya? Adakah Engkau siap menjadi silih atas segala dosa-dosa ini?”

Dukacita dan kecemasan hebat meliputi hati para sahabat Yesus, sebab mereka belum paham akan misteri keselamatan yang akan segera digenapi. Mereka berjalan mondar-mandir, mendesah dan mendengarkan dengan seksama setiap pendapat yang berbeda. Setiap kata yang mereka ucapkan membangkitkan rasa curiga dalam benak lawan bicara mereka. Jika mereka diam, kebisuan mereka divonis sebagai kesalahan. Banyak orang berkehendak baik tapi lemah dan mereka yang bimbang menyerah pada pencobaan, tergoncang, dan kehilangan iman. Sungguh, jumlah mereka yang tetap bertahan sangat amat sedikit. Sama saja keadaannya dahulu dan sekarang, orang mau melayani Tuhan selama mereka tidak mendapat perlawanan dari makhluk ciptaan yang lain, tetapi mereka malu akan Salib apabila mereka dikucilkan oleh yang lain. Namun demikian, hati beberapa orang tergerak oleh kesabaran yang diperlihatkan Tuhan kita di tengah sengsara-Nya yang hebat, dan mereka pergi diam-diam dalam duka.

Yesus sedang berdiri bersama ketiga rasul-Nya di jalanan antara Getsemani dan Taman Zaitun, ketika Yudas dan komplotan yang menyertainya muncul. Yesus dan ketiga rasul-Nya pertama kali melihat pasukan bersenjata itu, Petrus bermaksud melawan mereka dengan kekuatan senjata. Para murid yang lain maju mundur dengan was-was.

Yesus menghampiri para prajurit dan bertanya dalam suara yang tegas dan jelas, “Siapakah yang kamu cari?” Para pemimpin menjawab, “Yesus dari Nazaret.” Yesus berkata kepada mereka, “Akulah Dia. Sementara itu, para prajurit menunggu isyarat ciuman. Yudas telah berjanji untuk menyalami Guru-nya dengan ciuman agar mereka dapat mengenali-Nya. Petrus dan para murid yang lain mengelilingi Yudas dan mencercanya dengan macam-macam makian, menyebutnya pencuri dan pengkhianat. Yudas berusaha meredakan amarah mereka dengan segala macam dusta, tetapi usahanya sia-sia belaka, sebab para prajurit maju dan melindunginya, yang segera mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya.

Lagi, Yesus bertanya, “Siapakah yang kamu cari?” Jawab mereka: “Yesus dari Nazaret.” Kata Yesus, “Telah Ku-katakan kepadamu, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi.” Dengan kata-kata-Nya itu, para prajurit jatuh ke tanah untuk kedua kalinya. Mereka gemetaran bagaikan terserang ayan. Lagi, para rasul mengelilingi Yudas dan meluapkan amarah mereka atas pengkhianatannya yang hina. Yesus berkata kepada para prajurit, “Bangkitlah,” dan mereka pun bangkit, tetapi, pada mulanya bisu seribu bahasa karena ketakutan. Lalu, mereka meyuruh Yudas untuk segera memberikan isyarat yang telah mereka sepakati, sebab perintah yang disampaikan kepada mereka adalah untuk menangkap Dia seorang, yang dicium Yudas. Yudas menghampiri Yesus dan memberi-Nya ciuman, seraya berkata, “Salam Rabbi.” Yesus menjawab, “Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?” Segera para prajurit mengepung Yesus, dan para prajurit pembantu menangkap-Nya. Yudas hendak melarikan diri, tetapi para rasul mencegahnya. Mereka menyerang para prajurit sambil berseru, “Tuhan, mestikah kami menyerang mereka dengan pedang?” Petrus, yang paling tidak sabaran dari yang lain, menghunus pedang dan menetakkannya kepada Malkhus – hamba imam besar – yang hendak menghalau para rasul, sehingga putus telinga kanannya. Malkhus jatuh ke tanah dan suatu kegemparan besar terjadi.

Para prajurit pembantu telah mencengkeram Yesus dan hendak mengikat-Nya, sementara Malkhus dan para prajurit yang lain berdiri di sekelilingnya. Ketika Petrus menyerang Malkhus, para prajurit yang lain sibuk memukul mundur para murid yang maju terlalu dekat, dan mengejar mereka yang melarikan diri. Keempat murid muncul dari kejauhan dan melihat dengan gentar peristiwa yang terjadi di hadapan mereka. Tetapi, para prajurit masih terlalu terkejut atas jatuhnya mereka yang kedua kalinya, sehingga tidak terlalu menghiraukan kehadiran keempat murid, lagipula mereka tidak hendak meninggalkan Juruselamat kita tanpa jumlah pengawal yang cukup untuk mengawasi-Nya. Yudas melarikan diri segera sesudah ia memberikan ciuman pengkhianatan, tetapi ia berpapasan dengan beberapa dari para murid yang menghujaninya dengan caci-maki.

Menjelang tengah malam ketika Yesus tiba di istana Hanas. Para pengawal segera menggiring-Nya ke suatu aula yang sangat luas, di mana Hanas, dengan dikelilingi oleh duapuluh delapan penasehat, duduk di suatu podium yang sedikit lebih tinggi dari permukaan lantai dan menghadap pintu masuk. Para prajurit yang tadi menangkap Yesus sekarang menyeret-Nya dengan kasar ke kaki balai pengadilan. Ruangan itu tampak penuh dengan para prajurit, para hamba Hanas, sejumlah kelompok yang diperkenankan masuk, dan juga saksi-saksi palsu yang kemudian dipindahkan ke ruangan Kayafas.

Hanas merasa senang dengan pemikiran bahwa Kristus akan segera dibawa ke hadapannya. Ia menunggu-nunggu kedatangan-Nya dengan amat tidak sabar. Ekspresi wajahnya sungguh menyebalkan. Gurat-gurat wajahnya memperlihatkan bukan hanya kegembiraan neraka yang meliputinya, melainkan juga segala kelicikan dan kebusukan hatinya. Ia adalah pemimpin suatu pengadilan yang ditetapkan guna memeriksa orang-orang yang dituduh mengajarkan ajaran-ajaran palsu. Jika pengadilan membuktikan bahwa tuduhan tersebut benar, tertuduh selanjutnya akan diajukan ke hadapan imam besar.

Yesus berdiri di hadapan Hanas. Ia tampak kehabisan tenaga dan kusut. Jubah-Nya berlumur lumpur, kedua tangan-Nya dibelenggu, kepala-Nya terkulai, dan Ia tidak berbicara sepatah kata pun. Hanas adalah seorang tua yang kurus bertampang jahat dengan jenggot tipis. Ia luar biasa sombong dan angkuh. Sementara duduk, ia tersenyum sinis, berpura-pura tak tahu apa-apa dan sungguh terkejut mengetahui bahwa tahanan yang dibawa ke hadapannya tak lain adalah Yesus dari Nazaret. “Mungkinkah ini,” katanya, “mungkinkah Engkau Yesus dari Nazaret? Di manakah gerangan para murid-Mu, pengikut-Mu yang banyak itu? Di manakah kerajaan-Mu? Aku khawatir persoalan tidak menjadi seperti yang Engkau harapkan. Para penguasa, aku pikir, merasa bahwa sudah saatnyalah menghentikan segala sepak terjang-Mu, tidak hormat pada Allah dan para imam-Nya, dan melanggar kekudusan hari Sabat. Murid-murid macam apa yang ada pada-Mu. Ke mana mereka semuanya? Kau diam saja! Berbicaralah, penipu! Berbicaralah Kau, pemicu pemberontakan! Bukankah Engkau makan anak domba Paskah dengan cara yang tidak sah, di luar waktu yang ditetapkan, dan di tempat yang tidak layak? Bukankah Engkau hendak menyebarkan ajaran-ajaran baru? Siapa yang memberi-Mu hak untuk berkhotbah? Di mana Kau belajar? Katakan, apa ajaran agama-Mu?”

Yesus digiring masuk ke balai pengadilan. Khalayak ramai menyambut-Nya dengan sorak cemooh. Ketika Yesus berjalan melewati Petrus dan Yohanes, Ia melihat mereka dengan ekor mata-Nya, tanpa memalingkan wajah-Nya, agar jangan terungkap identitas mereka. Begitu Ia tiba di ruang sidang, Kayafas berseru dengan suara lantang, “Engkau datang juga akhirnya, Kau musuh Allah, Kau si penghujat, yang mengganggu ketenangan malam yang kudus ini!” Tabung yang berisikan tuduhan-tuduhan Hanas, lambang kekuasaan olok-olok yang ada di tangan Yesus, segera dibuka dan dibaca.

Kayafas berbicara menggunakan kata-kata yang paling menghina. Lagi, para prajurit pembantu menyiksa serta menganiaya Tuhan kita seraya berteriak, “Jawab segera! Berbicaralah! Apakah Kau bisu?” Kayafas, yang perangainya luar biasa congkak dan sombong, menjadi lebih murka daripada Hanas. Ia mencecar-Nya dengan seribu satu pertanyaan. Tetapi, Yesus berdiri di hadapannya diam membisu dengan mata-Nya memandang ke lantai. Para prajurit pembantu berusaha memaksa-Nya berbicara dengan pukulan yang bertubi-tubi. Seorang anak yang jahat, menekankan ibu jarinya ke atas bibir Yesus, sembari mengejek menantang-Nya untuk menggigit. Lalu, para saksi-saksi dipanggil. Pertama adalah saksi-saksi dari kalangan terendah, yang tuduhan-tuduhannya sama kacaunya dan sama berubah-ubahnya seperti yang mereka ajukan di hadapan pengadilan Hanas. Tak satu pun dari tuduhan tersebut dapat dipergunakan oleh sidang. Sebab itu, Kayafas berpaling kepada saksi-saksi utama, yakni kaum Farisi dan kaum Saduki, yang telah berkumpul dari segala penjuru negeri. Para saksi ini berusaha berbicara dengan tenang, tetapi ekspresi wajah dan sikap mereka mengungkapkan rasa iri dan dengki yang memenuhi hati mereka. Terus-menerus mereka mengulang dan mengulang lagi tuduhan-tuduhan yang sama, yang telah dijawab-Nya berulang kali: “Bahwa Ia menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan dengan bantuan setan – bahwa Ia mencemarkan hari Sabat – menghasut rakyat untuk memberontak – menyebut kaum Farisi sebagai keturunan ular beludak dan orang-orang munafik – menubuatkan kehancuran Yerusalem – bergaul dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa – mengumpulkan rakyat dan menyatakan diri sebagai raja, nabi dan Putra Allah.” Mereka mengajukan kesaksian “bahwa Ia senantiasa berbicara tentang kerajaan-Nya – bahwa Ia melarang perceraian – menyebut DiriNya sebagai Roti Hidup, dan mengatakan bahwa barangsiapa tidak makan daging-Nya dan minum darah-Nya tidak akan memiliki hidup yang kekal.”

Sekitar pukul delapan pagi, menurut perhitungan waktu kita, ketika arak-arakan tiba di istana Pilatus. Hanas, Kayafas dan para pemimpin Sanhedrin berhenti di bagian antara forum dan pintu masuk ke Praetorium, di mana bangku-bangku batu ditempatkan bagi mereka. Para pengawal dengan brutal menyeret Yesus ke kaki anak tangga yang menuju ke kursi pengadilan Pilatus. Pilatus sedang berbaring di atas sebuah kursi yang nyaman di serambi yang menghadap ke forum. Di sampingnya terdapat sebuah meja kecil dengan tiga kaki, di mana diletakkan lencana kekuasaannya dan beberapa benda lain. Pilatus dikelilingi para pejabat dan para prajurit yang mengenakan pakaian kebesaran tentara Romawi. Orang-orang Yahudi dan para imam tidak masuk ke dalam Praetorium karena takut mencemarkan diri, jadi mereka tetap berada di luar.

Ketika Pilatus melihat arak-arakan yang hiruk-pikuk itu masuk, dan melihat betapa keji orang-orang Yahudi yang kejam memperlakukan tawanan mereka, ia bangkit, dan menyapa mereka dengan nada meremehkan sebagaimana dapat dibayangkan seorang jenderal yang menang perang menyapa kepala desa kecil yang ditaklukkannya, “Apa maksud kalian datang pagi-pagi seperti ini? Mengapa kalian menganiaya tawanan ini sebegitu keji? Tidak dapatkah kalian menahan diri untuk tidak menyiksa dan menganiaya tawanan kalian bahkan sebelum mereka diadili?” Mereka tidak menjawab, melainkan berteriak kepada para pengawal, “Bawa Dia kemari – bawa Dia untuk diadili!” Lalu, berpaling kepada Pilatus, mereka berkata, “Mohon dengarkanlah tuduhan kami terhadap penjahat ini, sebab kami tidak dapat masuk ke balai pengadilan tanpa mencemarkan diri kami.” Para penganiaya Tuhan kita terlalu larut dalam amarah atas sikap congkak Pilatus terhadap mereka, sementara mereka sendiri berada dalam posisi harus merendahkan diri, hingga mereka tak ambil pusing atas kata-kata seorang asing.

Para pengawal yang bengis menyeret Tuhan kita menaiki anak tangga pualam dan menggiring-Nya ke ambang serambi, darimana Pilatus berbicara dengan para imam Yahudi. Sang Gubernur Romawi telah sering mendengar tentang Yesus, walau ia sendiri belum pernah melihat-Nya. Sekarang, ia begitu terpesona atas pembawaan yang tenang dan agung dari Orang yang dibawa ke hadapannya ini dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Sikap para imam dan tua-tua yang tak berperikemanusiaan menggusarkan hatinya, sekaligus membangkitkan perasaan benci terhadap mereka. Segera saja ia memberitahukan kepada mereka bahwa sedikit pun ia tak hendak menjatuhkan hukuman atas Yesus tanpa bukti-bukti kuat yang membenarkan tuduhan mereka. “Apakah tuduhan kamu terhadap orang ini?” tanyanya kepada para imam dengan nada sangat menghina. “Jikalau Ia bukan seorang penjahat, kami tidak menyerahkan-Nya kepadamu!” jawab para imam dengan sengit. “Ambillah Dia,” kata Pilatus, “dan hakimilah Dia menurut hukum Tauratmu.” “Engkau tahu betul,” jawab mereka, “Kami tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman mati atas seseorang.” Para musuh Yesus amat murka – betapa ingin mereka pengadilan itu segera berakhir dan kurban mereka dihukum mati sesegera mungkin, agar mereka dapat mempersiapkan diri untuk perayaan kurban anak domba Paskah. Orang-orang brengsek yang menyedihkan ini tidak mengetahui bahwa Ia yang mereka seret ke hadapan pengadilan seorang hakim kafir (yang kediamannya bahkan tak boleh mereka masuki karena takut menajiskan diri dan tak layak ambil bagian dalam kurban yang figuratif), bahwa Ia, dan hanya Ia saja, adalah Anak Domba Paskah sejati, sementara yang lain hanyalah sekedar lambang belaka.

Pilatus akhirnya memerintahkan mereka untuk menyampaikan tuduhan. Mereka mengajukan tiga tuduhan dan membawa sepuluh orang saksi guna membuktikan kebenaran masing-masing tuduhan. Tujuan utama mereka adalah meyakinkan Pilatus bahwa Yesus adalah pemimpin suatu komplotan yang melawan kaisar; dengan demikian Ia dapat dijatuhi hukuman mati sebagai seorang pemberontak. Mereka sendiri tak memiliki wewenang dalam perkara demikian, sebab mereka tak memiliki hak untuk mengadili seseorang, terkecuali yang menyangkut pelanggaran-pelanggaran agama. Usaha pertama mereka adalah membuktikan bahwa Ia menghasut rakyat, memicu mereka mengadakan pemberontakan, dan dengan demikian merupakan ancaman bagi ketenangan dan kesejahteraan rakyat. Guna membuktikan tuduhan ini, mereka mengajukan beberapa saksi palsu. Juga mereka melaporkan bahwa Ia melanggar hari Sabat, bahkan mencemarkannya dengan menyembuhkan orang sakit pada hari itu. Saat mereka menyampaikan tuduhan ini, Pilatus menyela dan mengatakan dengan nada mencemooh, “Tentu saja, karena tak seorang pun dari kalian sendiri sakit – seandainya kalian sendiri yang sakit, pastilah kalian tak akan mengeluh disembuhkan pada hari Sabat.” “Ia menyesatkan rakyat dan mengajarkan ajaran-ajaran yang paling menjijikkan. Ia mengatakan bahwa tak seorang pun dapat beroleh hidup kekal jika tidak makan daging-Nya dan minum darah-Nya.” Pilatus merasa jengkel atas dendam kesumat yang terungkap lewat perkataan maupun ekspresi wajah mereka. Ia memalingkan wajahnya dari mereka dengan pandangan mengejek seraya berkata, “Pastilah kalian sangat ingin mengikuti ajaran-ajaran-Nya dan beroleh hidup kekal, sebab kalian semua haus akan tubuh dan darah-Nya.”

Orang-orang Yahudi kemudian mengajukan tuduhan kedua melawan Yesus, yaitu bahwa Ia melarang rakyat membayar pajak kepada kaisar. Kata-kata ini membangkitkan murka Pilatus, sebab merupakan tanggung-jawabnya agar semua pajak dibayarkan sesuai ketentuan. Ia berseru dengan berang, “Bohong! Aku pasti lebih tahu tentang masalah ini daripada kalian.” Hal ini membuat para musuh Tuhan kita segera melanjutkan ke tuduhan yang ketiga, yang mereka ajukan dengan kata-kata seperti ini,  Ia mewajibkan para pengikut-Nya menyampaikan penghormatan kerajaan kepada-Nya; Ia mengatakan kepada mereka bahwa Dia-lah Kristus, Tuha“Meskipun Orang ini asal-usulnya tidak jelas, Ia merupakan pemimpin dari suatu kelompok yang besar. Saat menjadi pemimpin mereka, Ia menjatuhkan kutuk atas Yerusalem, dan menceritakan perumpamaan-perumpamaan bermakna ganda mengenai seorang raja yang sedang mempersiapkan perjamuan nikah bagi puteranya. Orang banyak yang Ia kumpulkan di bukit pernah berusaha menjadikan-Nya raja, hal ini lebih cepat dari yang Ia perkirakan, rencana-Nya belum matang, karenanya Ia melarikan diri dan bersembunyi. Sesudah itu, Ia datang kembali dengan lebih mantap: hari itu Ia memasuki kota Yerusalem di hadapan khalayak ramai yang bersorak-sorai; Ia memerintahkan orang banyak meneriakkan seruan-seruan yang membahana, “Hosana bagi Anak Daud! diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapa kita Daud.”Ia Yang Diurapi, Mesias, raja yang dijanjikan kepada bangsa Yahudi, dan Ia menghendaki disebut dengan gelar-gelar agung itu.”

Tuduhan terakhir – bahwa Yesus membuat DiriNya disebut raja – meninggalkan kesan dalam diri Pilatus. Ia mengernyitkan kening, meninggalkan serambi, melayangkan pandangan selidik kepada Yesus, masuk ke dalam apartemen sebelah, dan memerintahkan para pengawal untuk membawa-Nya seorang diri ke hadapannya. Pilatus bukan saja seorang yang percaya takhyul, tetapi juga amat lemah jiwanya dan mudah terpengaruh. Seringkali ia, dalam pengajaran kafir, mendengar disebut adanya anak-anak dewa yang tinggal untuk sementara waktu di bumi. Ia juga tahu pasti bahwa para nabi bangsa Yahudi sejak lama berselang telah menubuatkan bahwa akan bangkit dari antara mereka, Dia yang adalah Tuhan yang Diurapi, Juruselamat mereka, Pembebas dari perbudakan; dan bahwa banyak di antara mereka yang percaya teguh akan hal ini. Ia juga ingat bahwa raja-raja dari timur telah datang kepada Herodes, pendahulu penguasa yang sekarang, untuk menyampaikan sembah sujud kepada raja orang Yahudi yang baru dilahirkan, dan bahwa karena hal itu, Herodes memerintahkan pembunuhan Kanak-kanak Suci. Telah seringkali ia mendengar tradisi mengenai Mesias dan raja orang Yahudi, dan bahkan mempelajarinya dengan rasa ingin tahu, meskipun tentu saja, karena ia seorang kafir, tanpa iman sedikitpun. Andai ia mempercayainya, mungkin ia akan sependapat dengan kaum Herodian dan kaum Yahudi yang menantikan seorang raja yang berkuasa dan jaya. Dengan gagasan-gagasan demikian dalam benaknya, maksud orang-orang Yahudi menuduh seorang pribadi yang malang dan sengsara yang mereka bawa ke hadapannya dengan tuduhan menyatakan diri sebagai raja yang dijanjikan dan Mesias, tentu saja tampak tak masuk akal baginya. Tetapi, karena para musuh Yesus mengajukan tuduhan-tuduhan ini sebagai bukti pengkhianatan-Nya terhadap kaisar, ia pikir baik jika ia menginterogasi-Nya secara pribadi mengenai hal tersebut.

“Engkau inikah raja orang Yahudi?” tanya Pilatus seraya menatap lekat Tuhan kita; tak dapat ia menahan rasa takjubnya atas ekspresi ilahi yang terpancar dari wajah-Nya.

Jawab Yesus, “Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?”

Pilatus merasa tersinggung karena Yesus berpikiran mungkin ia percaya akan hal-hal yang demikian, maka katanya, “Apakah aku seorang Yahudi? Bangsa-Mu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku untuk dijatuhi hukuman mati; apakah yang telah Engkau perbuat?”

Yesus menjawab dengan penuh keagungan, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.”

Pilatus agak sedikit tersentuh oleh kata-kata khidmad yang disampaikan-Nya dan ia berbicara kepada-Nya dengan nada lebih serius, “Jadi Engkau adalah raja?”

Jawab Yesus, “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku. ”

Pilatus menatap kepada-Nya. Ia bangkit dari kursinya dan berkata, “Apakah kebenaran itu?”

Mereka kemudian saling berbicara beberapa patah kata lagi, yang aku tidak ingat sekarang, lalu Pilatus kembali ke serambi. Jawaban serta sikap Yesus jauh melampaui pengertiannya, tetapi ia melihat dengan jelas bahwa gagasan-Nya mengenai kerajaan tidak akan menimbulkan pertentangan dengan kaisar, sebab yang dimaksudkan-Nya bukan kerajaan duniawi; sedangkan kaisar tidak peduli akan hal di luar dunia ini. Sebab itu ia berbicara lagi kepada imam-imam kepala dari serambi dan mengatakan, “Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya.” Para musuh Yesus menjadi gusar dan meneriakkan seribu satu tuduhan berbeda melawan Juruselamat kita. Namun, Yesus diam saja, tenggelam dalam doa bagi para musuh bebuyutan-Nya ini. Ia juga tak menjawab ketika Pilatus mengatakan hal ini kepada-Nya, “Tidakkah Engkau memberi jawab? Lihatlah betapa banyaknya tuduhan mereka terhadap Engkau!” Pilatus sungguh heran dan berkata, “Aku melihat dengan jelas bahwa segala tuduhan mereka adalah dusta.” Tetapi, para pendakwa Yesus, yang amarahnya semakin meluap-luap, berteriak, “Engkau tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya? Apakah menghasut rakyat untuk memberontak di segenap penjuru kerajaan bukan suatu kejahatan? – bagaimana dengan menyebarkan ajaran-ajaran sesat, bukan hanya di sini, tetapi juga di Galilea?”

Disebutnya Galilea membuat Pilatus terdiam sejenak, ia berpikir-pikir, lalu bertanya, “Apakah Ia ini seorang Galilea, warga Herodes?” Mereka menjawab, “Ya; orangtua-Nya tinggal di Nazaret. Ia Sendiri sekarang tinggal di Kapernaum.”

“Jika demikian,” jawab Pilatus, “bawalah Ia kepada Herodes; Ia berada di sini untuk perayaan. Herodes akan segera mengadili-Nya, sebab Ia adalah warganya.” Segera Yesus digiring keluar dari balai pengadilan. Pilatus mengirimkan seorang utusan kepada Herodes guna memberitahukan bahwa Yesus dari Nazaret, yang adalah warganya, akan dibawa ke hadapannya untuk diadili. Pilatus mempunyai dua alasan melakukan hal ini. Pertama, ia senang dapat menghindarkan diri dari menjatuhkan hukuman, sebab ia merasa bimbang dengan segala perkara ini. Kedua, ia senang beroleh kesempatan menyenangkan hati Herodes, dengan siapa ia berselisih, sebab ia tahu bagaimana inginnya Herodes melihat Yesus.

Para musuh Tuhan kita sungguh murka diusir pergi secara demikian oleh Pilatus di hadapan segala orang banyak itu. Karenanya, mereka melampiaskan amarah mereka dengan memperlakukan-Nya terlebih keji dari sebelumnya. Mereka membelenggu-Nya kembali dan tak henti-hentinya melancarkan kutuk serta pukulan yang bertubi-tubi sementara mereka bergegas menggiring-Nya menerobos khalayak ramai menuju istana Herodes, yang letaknya tak jauh dari forum.

Selama pengadilan berlangsung, Claudia Procles – isteri Pilatus – kerapkali mengirimkan pesan kepada suaminya mengisyaratkan bahwa ia sungguh ingin berbicara dengan-Nya. Ketika Yesus digiring ke istana Herodes, Claudia berdiri di atas balkon dan menyaksikan segala perlakuan biadab para musuh-Nya dengan perasaan campur-baur antara takut, duka serta ngeri.

Istana Herodes, raja wilayah, dibangun di sebelah utara forum, di kota baru, tak jauh dari istana Pilatus. Para musuh Yesus sungguh berang bahwa mereka harus dilemparkan ke sana sini, karenanya mereka melampiaskan amarah mereka kepada Yesus. Utusan Pilatus telah pergi mendahului arak-arakan, sebab itu Herodes menantikan kedatangan mereka. Ia duduk di atas timbunan bantal, yang ditumpuk begitu rupa membentuk semacam tahta, di suatu ruangan yang luas, dikelilingi para bangsawan dan prajurit. Imam-imam kepala masuk dan mengambil tempat di samping Herodes, sementara Yesus mereka tinggalkan di pintu masuk. Herodes merasa tersanjung dan senang karena dengan demikian Pilatus memaklumkan kekuasaan Herodes di hadapan umum dalam mengadili orang-orang Galilea. Ia juga gembira akan melihat Yesus, yang tidak berkenan muncul di hadapannya, sekarang telah direndahkan hingga begitu nista dan hina. Rasa ingin tahu Herodes begitu besar karena kata-kata pujian Yohanes Pembaptis dalam memaklumkan kedatangan Yesus. Ia juga telah banyak mendengar tentang-Nya dari kaum Herodian, dan dari banyak mata-mata yang ia utus ke berbagai penjuru. Sebab itu ia bergirang hati mendapat kesempatan menginterogasi-Nya di hadapan para bangsawan dan para imam Yahudi. Ia berharap dapat memamerkan wawasan dan pengetahuannya. Pilatus mengiriminya pesan, “tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya.” Herodes menyimpulkan bahwa kata-kata ini dimaksudkan sebagai isyarat bahwa Pilatus menghendaki agar ia memandang rendah, serta jangan menaruh kepercayaan pada para pendakwa. Sebab itu, Herodes menyapa mereka dengan cara yang seangkuh mungkin, dan karenanya angkara murka para imam kepala semakin meluap hingga tak terlukiskan lagi.

Mereka semua serempak menyerukan tuduhan-tuduhan mereka, yang hampir-hampir tak diindahkan Herodes, sebab perhatiannya semata-mata ditujukan untuk memuaskan rasa ingin tahunya dengan memandang penuh selidik kepada Yesus, yang telah lama ingin dilihatnya. Tetapi, saat ia melihat-Nya setengah telanjang, hanya berbalut sisa-sisa mantol-Nya, nyaris tak dapat berdiri tegak, wajah-Nya sama sekali rusak karena pukulan dan tinju, belepotan lumpur dan kotoran yang dilemparkan orang banyak ke kepala-Nya, maka raja gemerlap yang setengah banci itu memalingkan wajahnya dengan perasaan jijik, menyebut nama Tuhan, dan berkata kepada para imam dengan nada bercampur antara kasihan dan jijik, “Segera bawa Ia pergi dari sini dan jangan bawa Dia lagi ke hadapanku dalam keadaan yang begitu memuakkan.” Para prajurit membawa Yesus ke pengadilan bagian luar, mengambil air dalam sebuah baskom, dengan mana mereka membersihkan jubah-Nya yang penuh noda dan wajah-Nya yang telah rusak. Tetapi, bahkan dalam melakukan hal ini pun, mereka tak dapat menahan diri untuk tidak melakukannya secara brutal, dan sama sekali tak mengindahkan luka-luka yang memenuhi sekujur tubuh-Nya.

Sementara itu, Herodes mengecam para imam sama kerasnya seperti yang dilakukan Pilatus. “Perilaku kalian sungguh mirip jagal,” katanya, “dan kalian membantai korban kalian cukup dini.” Para imam kepala segera mengajukan tuduhan-tuduhan mereka. Ketika Yesus dibawa masuk kembali ke hadapannya, Herodes berpura-pura menaruh belas kasihan dan menawarkan segelas anggur kepada-Nya guna memulihkan kekuatan-Nya. Tetapi, Yesus memalingkan wajah-Nya, menolak meringankan penderitaan-Nya dengan itu.

Herodes kemudian mulai berbicara dengan gencar serta panjang lebar tentang segala yang telah ia dengar mengenai Yesus. Ia mengajukan seribu satu pertanyaan dan mendesak Yesus untuk melakukan suatu mukjizat di hadapannya. Tetapi Yesus tak menjawab sepatah kata pun, melainkan berdiri di hadapannya dengan mata memandang ke lantai. Hal ini membangkitkan kejengkelan dan kekecewaan Herodes, walau ia berusaha untuk menekan amarah dan meneruskan interogasi. Pertama-tama, ia mengungkapkan keterkejutannya menggunakan kata-kata yang membujuk. “Benarkah ini Yesus dari Nazaret,” serunya, “bahwa Engkau Sendiri ada di hadapanku sebagai seorang penjahat? Aku telah mendengar perbuatan-perbuatan-Mu yang banyak dibicarakan orang. Mungkin Engkau tidak menyadari bahwa Kau telah sungguh menghinaku dengan membebaskan para tahanan yang aku kurung di Thirza, tetapi mungkin tujuan-Mu baik. Gubernur Romawi sekarang mengirimkan-Mu kepadaku untuk diadili; jawab apakah yang dapat Kau-berikan atas segala tuduhan ini? Engkau diam saja? Aku telah mendengar banyak mengenai kebijaksanaan-Mu dan juga mengenai agama yang Engkau ajarkan, jadi, biarkan aku mendengar jawab-Mu dan membungkam para musuh-Mu. Apakah Engkau raja orang Yahudi? Apakah Engkau Putra Allah? Siapakah Engkau? Kata orang, Engkau melakukan mukjizat-mukjizat yang mengagumkan; lakukanlah satu perbuatan ajaib sekarang di hadapanku. Aku berkuasa untuk membebaskan-Mu. Sungguhkah Engkau mencelikkan mata orang buta, membangkitkan Lazarus dari mati, dan memberi makan dua atau tiga ribu orang dari hanya sedikit roti saja? Mengapa Kau tidak menjawab? Aku nasehatkan agar Kau segera melakukan suatu mukjizat sekarang di hadapanku; mungkin Engkau akan bersukacita nanti setelah memenuhi keinginanku.”

Yesus tetap diam saja, dan Herodes terus menanyai-Nya bahkan dengan lebih gencar.

“Siapakah Engkau?” tanyanya. “Darimanakah kuasa-Mu berasal? Bagaimana mungkin Engkau tak lagi memilikinya? Adakah Engkau Dia yang kelahirannya dinubuatkan dengan begitu menakjubkan? Raja-raja dari Timur datang kepada ayahku untuk menjumpai raja orang Yahudi yang baru dilahirkan; benarkah Engkau adalah bayi itu? Apakah Engkau melarikan diri ketika begitu banyak kanak-kanak dibunuh, dan bagaimana mungkin Engkau bisa lolos? Mengapa selama bertahun-tahun Engkau tak dikenal? Jawab pertanyaanku! Apakah Engkau seorang raja? Penampilan-Mu jelas bukan seorang raja. Aku dengar Engkau diarak ke Bait Allah dengan jaya beberapa waktu yang lalu; apa maksudnya? – Bicaralah! – Jawab!”

Herodes terus mencecar Yesus dengan pertanyaan yang bertubi, tetapi Kristus tidak membuka mulut sama sekali. Yesus diam membisu karena Herodes berada dalam keadaan eks-komunikasi, baik karena perkawinan zinahnya dengan Herodias, maupun karena mengeluarkan perintah untuk membunuh Yohanes Pembaptis. Hanas dan Kayafas, yang melihat bagaimana mendongkolnya Herodes atas kebisuan Yesus, segera berusaha mengambil kesempatan dalam murkanya. Mereka menyampaikan tuduhan-tuduhan mereka, mengatakan bahwa Yesus menyebut Herodes sebagai serigala; bahwa ambisi utama-Nya selama bertahun-tahun adalah menyingkirkan keluarga Herodes; bahwa Ia berusaha menetapkan suatu agama baru, dan bahwa Ia merayakan Paskah sehari sebelum yang ditentukan. Walau Herodes sungguh gusar atas sikap Yesus, ia tidak kehilangan visi tujuan politik yang hendak dicapainya. Ia bertekad untuk tidak menjatuhkan hukuman mati kepada Kristus, baik karena ia mengalami suatu perasaan ngeri yang misterius serta tak dapat diungkapkan saat berada di hadapan-Nya, maupun karena ia masih merasa menyesal telah membunuh Yohanes Pembaptis. Di samping itu ia benci kepada para imam besar yang tidak mengijinkannya ambil bagian dalam kurban karena hubungan perzinahannya dengan Herodias.

Tetapi, alasan utama dari keputusannya untuk tidak menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus adalah bahwa ia ingin membalas penghormatan Pilatus, dan ia beranggapan cara terbaik untuk membalasnya adalah dengan menunjukkan rasa hormat atas keputusan dan persetujuan atas pendapatnya. Tetapi, ia berbicara dengan nada sangat menghina Yesus. Berpaling kepada para pengawal dan para hamba yang mengelilingi-Nya, yang berjumlah sekitar dua ratus orang, ia berkata, “Bawa pergi orang tolol ini dan berilah ganjaran yang setimpal bagi-Nya. Lebih tepat dikatakan Ia ini seorang gila daripada seorang penjahat.”

Tuhan kita segera dibawa ke sebuah halaman yang luas, di mana segala penghinaan dan penganiayaan dilampiaskan terhadap-Nya. Halaman ini terletak di antara dua sayap istana, dan Herodes berdiri menyaksikannya dari atas podium untuk beberapa waktu lamanya. Hanas dan Kayafas ada di sampingnya, terus berusaha membujuknya untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Juruselamat kita. Tetapi usaha mereka tak membuahkan hasil, dan Herodes menjawab dengan suara yang cukup keras hingga dapat didengar oleh para prajurit Romawi, “Tidak, aku bertindak salah jika aku menghukum-Nya.” Maksudnya ialah bahwa adalah salah menjatuhkan hukuman atas seseorang yang oleh Pilatus dinyatakan tak bersalah, meskipun Pilatus telah memberikan kehormatan padanya untuk menentukan keputusan terakhir.

Ketika para imam besar dan para musuh Yesus yang lain mendapati bahwa Herodes telah berketetapan untuk tidak memenuhi keinginan mereka, mereka mengirimkan utusan-utusan ke bagian kota yang disebut Acre, yang mayoritas penduduknya adalah kaum Farisi, guna memberitahukan bahwa mereka harus berkumpul di sekitar istana Pilatus, mengumpulkan khalayak ramai, menyuap mereka untuk mengadakan huru-hara serta menuntut dijatuhkannya hukuman mati atas Tuhan kita. Mereka juga mengirimkan utusan-utusan rahasia guna menggelisahkan rakyat dengan ancaman-ancaman murka ilahi jika mereka tidak mendesak agar Yesus, yang mereka sebut sebagai penghujat Allah, dijatuhi hukuman mati. Para utusan ini juga diperintahkan untuk menakut-nakuti dengan mengintimidasi warga bahwa jika Yesus tidak dihukum mati, Ia akan berpihak kepada bangsa Romawi dan membantu mereka dalam membinasakan bangsa Yahudi, sebab itulah yang dimaksudkan-Nya saat Ia berbicara tentang kerajaan-Nya yang akan datang. Mereka berusaha menyebarluaskan berita di bagian-bagian lain kota bahwa Herodes telah menjatuhkan hukuman mati atas-Nya, namun demikian tetap dipandang perlu rakyat juga menyatakan keinginan mereka, sebab para pengikut-Nya patut diwaspadai, sebab jika Ia dibebaskan, Ia akan bergabung dengan bangsa Romawi, menimbulkan kekacauan pada hari raya, dan melakukan balas dendam yang paling biadab. Sebagian di antara mereka menyebarkan berita-berita yang sebaliknya, pula berita-berita yang mencemaskan guna menggelisahkan penduduk dan memicu pemberontakkan; sementara yang lain membagi-bagikan uang di antara para prajurit untuk menyuap mereka agar bertindak keji terhadap Yesus, hingga mengakibatkan kematian-Nya, yang begitu ingin mereka lakukan secepat mungkin, kalau-kalau Pilatus membebaskan-Nya.

Sementara kaum Farisi menyibukkan diri dengan perkara-perkara ini, Juruselamat kita yang Terberkati menderita aniaya yang paling dahsyat dari para prajurit yang brutal, kepada siapa Herodes menyerahkan-Nya agar diperolok sebagai seorang tolol. Mereka menyeret Yesus ke halaman, salah seorang dari mereka mendapatkan sebuah karung putih besar yang dulunya karung kapas, mereka membuat lubang di tengahnya dengan pedang, lalu melambung-lambungkannya ke atas kepala Yesus, setiap tindakan disertai dengan tawa riuh-rendah yang paling memuakkan. Seorang prajurit lain membawa sebuah jubah usang, melilitkannya sekeliling leher-Nya, sementara para prajurit yang lain berlutut di hadapan-Nya – meninju-Nya – menganiaya-Nya – meludahi-Nya – menampar pipi-Nya, sebab Ia tidak mau menjawab raja, mengolok-olok-Nya dengan berpura-pura menghaturkan sembah – melemparkan lumpur kepada-Nya – menjerat pinggang-Nya, berpura-pura mengajak-Nya menari; lalu, setelah mencampakkan-Nya, menyeret-Nya dalam sebuah selokan yang mengalir di samping halaman, mengakibatkan kepala-Nya yang kudus membentur pilar-pilar dan dinding-dinding tembok. Akhirnya mereka membuat-Nya berdiri kembali, hanya untuk melanjutkan aniaya mereka. Para prajurit dan hamba Herodes dan semua beranggapan berbuat jasa bagi raja dengan menganiaya Yesus dengan jenis kekejian yang baru. Yesus dipukul di bagian kepala dengan tongkat-tongkat mereka, dan mereka mempergunakan kesempatan dalam kekacauan dan keributan ini untuk melakukannya. Yesus memandang mereka semua dengan penuh belas kasihan. Rasa sakit yang luar biasa terkadang menyebabkan-Nya merintih dan mengerang, tetapi para musuh-Nya bersukacita atas sengsara-Nya, mengejek erangan-Nya, dan tak satu pun dari antara orang banyak itu yang memperlihatkan barang sedikit pun rasa belas kasihan. Darah mengalir dari kepala-Nya, tiga kali pukulan yang hebat membuat-Nya jatuh terkapar.

Para imam sudah tak sabar untuk segera kembali ke Bait Allah, sebab itu, setelah meyakinkan bahwa instruksi-instruksi mereka atas Yesus dilaksanakan, mereka kembali kepada Herodes dan berusaha membujuknya untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Tuhan kita. Tetapi, Herodes, yang telah berketetapan untuk menyenangkan hati Pilatus, menolak mengabulkan keinginan mereka dan mengirimkan Yesus kembali dengan berpakaian bagaikan seorang tolol.

Ada delapanbelas prajurit pembantu di puncak Kalvari; enam yang mendera Yesus, empat yang menggiring-Nya ke Kalvari, dua yang memegangi tali-temali yang menahan salib, dan enam lainnya yang datang dengan tujuan menyalibkan Dia. Para prajurit pembantu itu adalah orang-orang asing yang diupah bangsa Yahudi atau bangsa Romawi; perawakan mereka yang kekar, dengan wajah amat garang dan bengis. Mereka bergiliran minum dan melakukan persiapan untuk penyaliban.

 

Para algojo segera melucuti Tuhan kita, mantol-Nya, ikat pinggang di mana tali-temali diikatkan, ikat pinggang-Nya sendiri; Mahkota duri yang tertancap di kepala-Nya; mereka merenggut dengan kasar mahkota yang paling menyengsarakan ini, dengan demikian merobek kembali setiap luka; mereka mencengkeram pakaian itu, mengoyakkannya tanpa iba sedikit pun di atas kepala-Nya yang penuh luka dan berdarah. Tuhan dan Juruselamat kita terkasih berdiri di hadapan para musuh-Nya yang bengis, ditelanjangi dari segala pakaian-Nya, kecuali penutup bahu pendek yang tergantung di pundak-Nya dan kain linen yang melilit pinggang-Nya. Kain bahu-Nya terbuat dari wol, wol itu tertanam dalam luka-luka-Nya, betapa Ia menderita rasa sakit luar biasa yang tak terlukiskan ketika mereka menarik kain itu dengan kasar. Yesus sama sekali lemah akibat sengsara dan kehilangan begitu banyak darah, hingga Ia tak mampu menyangga tubuh-Nya Sendiri lebih dari beberapa saat; sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka menganga, bahu dan punggung-Nya terkoyak hingga ke tulang-belulangnya akibat penderaan keji yang Ia derita. Yesus nyaris jatuh ketika para algojo, yang khawatir kalau-kalau Ia akan segera mati, dan dengan demikian mereka akan kehilangan kesempatan untuk melampiaskan kesenangan biadab mereka dalam menyalibkan Dia, menggiring-Nya ke suatu batu besar dan mendudukkan-Nya dengan kasar di atasnya. Tetapi, baru saja Yesus duduk, mereka memperhebat sengsara-Nya dengan menancapkan kembali mahkota duri di atas kepala-Nya. Lalu mereka menawarkan cuka dan empedu, tetapi Yesus memalingkan wajah-Nya dalam kebisuan. Para algojo tidak membiarkan-Nya beristirahat lebih lama, melainkan memerintahkan-Nya untuk bangkit berdiri dan menempatkan diri di atas salib agar mereka dapat memakukan-Nya pada salib. Mereka mencengkeram tangan kanan-Nya, lalu meregangkannya ke lubang paku yang telah dipersiapkan, mengikatkannya erat-erat pada lengan salib menggunakan seutas tali. Seorang dari antara prajurit berlutut di atas dada-Nya yang kudus, prajurit kedua memegangi tangan-Nya agar lurus pada palang salib, prajurit ketiga mengambil sebuah paku panjang yang tebal, menekankannya pada telapak tangan yang mengagumkan itu, yang senantiasa terbuka untuk menyampaikan segala berkat dan kebajikan kepada orang-orang Yahudi yang tak tahu berterima kasih, dan dengan sebuah palu besi yang besar memalukan paku menembusi daging-Nya hingga tembus ke papan salib. Tuhan kita meneriakkan satu saja erangan, yang dalam dan tertahan, darah-Nya muncrat memerciki lengan para prajurit pembantu. Paku-paku itu sangat besar, ukuran kepalanya sebesar mata uang koin, dan tebalnya setebal ibu jari tangan; ujung-ujung paku menembusi hingga bagian belakang palang salib.

Ketika para algojo telah memakukan tangan kanan Tuhan kita, mereka mendapati bahwa tangan kiri-Nya tidak mencapai lubang paku yang telah mereka persiapkan, sebab itu mereka melilitkan tali-temali pada lengan kiri-Nya, sementara menginjak palang salib kuat-kuat, mereka menarik paksa tangan kiri-Nya sekencang mungkin hingga tangan itu mencapai tempat yang telah dipersiapkan. Perlakuan yang sungguh ngeri ini mengakibatkan Tuhan kita merasakan sakit yang tak terperi, dada-Nya turun-naik, kedua-kaki-Nya menekuk tegang. Lagi, mereka berlutut di atas dada-Nya, mengikatkan lengan-Nya pada lengan salib dan memakukan paku kedua ke tangan kiri-Nya; darah segar muncrat; suara erangan-Nya yang lemah sekali lagi terdengar sayup-sayup di antara suara dentaman palu, tapi tak suatu pun yang dapat menggerakkan para algojo yang keras hati ini. Kedua lengan Yesus, sebab diregangkan secara paksa seperti itu, tak lagi menempel pada lengan salib yang bentuknya curam; terdapat jarak yang lebar antara lengan dan ketiak-Nya.

Para algojo telah memasang sepotong papan kayu pada bagian bawah badan salib di mana kaki Yesus hendak dipakukan, dengan demikian berat beban tubuh-Nya tidak akan bertumpu pada kedua tangan-Nya yang terkoyak, juga mencegah agar tulang-tulang kaki-Nya jangan sampai patah saat dipakukan ke palang salib. Sebuah lubang paku telah dibuat pada papan kayu ini sebagai tempat paku ketika paku dipalukan menembusi kaki-Nya, juga terdapat sebuah lekukan kecil bagi tumit-Nya. Hal ini dilakukan agar jangan luka-luka tangan-Nya terkoyak lebar oleh berat beban tubuh-Nya, hingga kematian datang sebelum Ia mengalami segala siksa dan aniaya yang mereka harapkan dapat mereka lihat terjadi pada-Nya. Sekujur tubuh Tuhan kita telah tertarik ke atas, menegang karena perlakuan keji para algojo dalam meregangkan paksa kedua tangan-Nya, kedua lutut Yesus tertekuk; sebab itu mereka meluruskannya dan mengikatkannya kuat-kuat pada palang salib dengan tali-temali. Begitu mendapati bahwa kaki-Nya tidak mencapai papan kayu yang telah dipersiapkan bagi tumpuan kakinya, mereka menjadi berang. Sebagian dari mereka mengusulkan agar dibuat lubang-lubang paku yang baru bagi paku-paku yang menembusi kedua tangan-Nya, sebab teramat sulit memindahkan papan kayu itu, tetapi sebagian yang lain tak hendak melakukannya, melainkan berteriak riuh-rendah, “Ia Sendiri tak akan meregangkan tubuh-Nya begitu rupa, tetapi kita akan membantu-Nya,” mereka mengucapkan kata-kata ini disertai sumpah-serapah dan kutuk yang paling ngeri. Setelah melilitkan tali-temali pada kaki kanan-Nya, mereka menariknya sekencang mungkin hingga kaki-Nya mencapai papan kayu, lalu mengikatkannya erat-erat. Yesus menderita sakit tak terperi yang tak dapat dilukiskan; kata-kata, “AllahKu, ya AllahKu,” meluncur dari bibir Yesus. Para algojo menambah sengsara-Nya dengan mengikatkan dada dan kedua lengan-Nya ke palang salib, khawatir kalau-kalau kedua tangan-Nya terobek parah karena paku. Mereka lalu menumpangkan kaki kiri-Nya ke atas kaki kanan-Nya, setelah terlebih dahulu melubangi kedua kaki Yesus dengan semacam alat tusuk, sebab kedua kaki-Nya tak dapat dipaku sekaligus bersama-sama. Selanjutnya mereka mengambil sebatang paku yang sangat panjang dan menembuskannya ke kedua kaki Yesus hingga ke palang kayu di bawahnya; tindakan ini mengakibatkan rasa sakit yang teramat luar biasa, teristimewa karena tubuh-Nya diregangkan paksa begitu rupa. Setidaknya ada tigapuluh enam hantaman palu. Ia berdoa sepanjang waktu sementara Ia memanggul salib-Nya, begitu pula Ia terus berdoa hingga Ia menyerahkan nyawa-Nya.

***

 

Comments

comments