Jawaban Doa di Afrika

Helen Roseveare

helen roseveare

“ SEBELUM MEREKA MEMANGGIL AKU AKAN MENJAWAB! ”BEFORE THEY CALL, I WILL ANSWER!” (YESAYA 65:24)

Helen Roseveare adalah seorang doctor misionaris yang telah menghabiskan waktunya 20 tahun melayani di Congo. Ini adalah salah satu dari kisah kuasa Khalik kita yang memesonakan.

Pada satu malam kami sudah bekerja keras sekali menyelamatkan seorang ibu dan bayinya dalam melahirkan; tapi usaha kami tidak berhasil seluruhnya, sang ibu meninggal dan kami menghadapi masalah maha pelik bagaimana mengurus bayinya yang ditinggalkan dengan kakak perempuannya yang baru berusia dua tahun dan menangis terus menerus. Kami menghadapi kesulitan besar untuk mempertahankan sang bayi bisa hidup terus, karena kami tidak punya incubator. Jangankan incubator kami tidak punya listrik di kampung terpencil itu untuk itu, kalau pun kami punya incubatornya. Selain itu kami tidak punya alat khusus untuk memberikan minum bayi yang baru lahir di klinik kami yang sangat sederhana.

Walau benar kami hidup di daerah tropis, tapi malam hari sering kami mengalami tiupan angin dingin yang menggigilkan. Salah seorang perawat kami pergi mengambil sebuah kotak peti sabun yang digunakan untuk tempat tidur bayi yang baru lahir, dan pembungkus dari kapas yang khusus dibuat untuk menyelimuti bayi. Seorang lainnya pergi untuk memasang api dan memanaskan air untuk ditaruh dalam botol air dari karet. Dia datang kembali dengan penuh kecemasan dan kesedihan. Ternyata botol itu sudah lapuk karena terlalu tua dan sudah retak karena karetnya yang menjadi kering. “Itu adalah botol air panas kita yang terakhir!” ujarnya sambil menyeka air matanya dengan lengan bajunya.

Pepatah mengatakan sia-sia menangis untuk susu yang sudah tumpah, dan kami juga berpikir waktu itu percuma menangisi botol susu yang sudah lapuk. Botol susu tidak tumbuh di pohon hutan Afrika dan tidak ada toko atau supermarket sama sekali di daerah ini.
“Baiklah,” saya memberikan komando, “letakkan bayi itu sedekat mungkin ke perapian dan kalian tidur diantara bayi itu dan pintu dari mana angin malam bisa berhembus.”

Keesokan sorenya seperti biasa saya mengumpulkan para yatim piatu yang ada di yayasan anak piatu yang kami kelola dan memimpin mereka dalam doa petang seperti kebiasaan kami. Saya berikan masing-masing anak piatu itu satu hal yang harus mereka doakan, sambil menyebutkan juga keperluan sangat sangat mendesak untuk bayi kecil yang baru dilahirkan itu. Saya juga menceritakan bagaimana kakak sang bayi sedang menangis terus menerus karena ditinggalkan ibunya. Saya terangkan betapa kami menghadapi masalah besar karena tidak punya botol susu untuk memberikan minum kepada bayi itu, dan juga tentang botol air panas dari karet yang sudah lapuk. Bayi yang kecil itu besar kemungkinan akan mati kalau menderita kedinginan.

Seorang gadis piatu umur 10 tahun, Ruth, berdoa dengan logika sederhana seorang anak Afrika: “Tolong Tuhan,” begini dia berdoa, “tolong kirimkan botol air panas itu hari ini juga, karena kalau itu datang besok, sudah tidak ada gunanya, karena bayi itu akan mati.”

Saya tersentak mendengar doa itu dan merasa dia terlalu berani memerintah kepada Tuhan, namun dia melanjutkan lagi dengan: “Dan Tuhan, jangan lupa tolong kirimkan sebuah boneka kecil untuk kakaknya supaya dia berhenti menangis dan tahu bahwa Engkau mencintainya!”
Saya hampir menjerit dan pingsan mendengar doa yang saya rasa sangat tidak tahu aturan itu.

Saya tidak tahu apa saya bisa mengatakan “Amin” kepada doa yang saya rasa agak kelewatan batas ini. Memang benar saya percaya dia dapat berbuat apa saja, tidak ada batas kekuasaannya. Alkitab katakan itu, tapi bukankah ada batas-batasnya, juga memikirkan sikonnya. Ini tempat begitu terpencil, sulit perjalanan dilakukan ketempat itu.

Satu-satunya cara Tuhan bisa menjawab doa itu adalah dengan mengirimkan sebuah paket dari Amerika, dan saya sudah berada di Afrika lebih dua tahun saat itu dan tidak pernah menerima sepotong paket pun dari rumah. Disamping itu, kalau betul ada orang yang tersentuh mengirimkan sebuah paket untuk saya, siapa yang mungkin akan terpikir mengisi paket itu dengan sebuah botol air panas dari karet. Itu hanya biasanya diperlukan di daerah yang ada musim dingin sedangkan semua tahu saya ini sedang berada di daerah tropis. Haha!

Beberapa menit kemudian sementara kami masih mengadakan kebaktian, menyanyi dan membaca cerita Alkitab, dengan para perawat kami di ruangan tempat berlatih para perawat itu, ada yang memberitahukan bahwa sebuah mobil sedang berhenti didepan gubuk dimana saya tinggal. Saya tinggalkan ruangan kelas itu dan berjalan tergesa-gesa ke gubuk saya. Didepan pintu gubuk itu terletak sebuah paket sangat besar seberat sekitar 10 kg. Saya merasa seolah-olah jarum menusuk kedua mata saya dan air mata saya berhamburan dari situ.
Saya tidak sanggup membuka paket itu sendirian sebab itu saya memanggil anak-anak dari rumah piatu yang didekat situ. Bersama-sama kami mulai menguraikan tali-tali itu dengan hati-hati sehingga jangan kusut atau putus, karena setiap benda sangat berharga di kampong terpencil itu. Begitu juga dengan bungkusan kertasnya, dengan sangat teliti dan hati-hati kami buka supaya jangan sampai robek sama sekali.

Kegairahan mulai memuncak. Kira-kira empat puluh pasang mata terpusat pada kotak kardus yang besar itu. Dari tumpukan paling atas saya keluarkan pakaian-pakaian anak-anak untuk musim dingin yang berwarna warni sangat indah. Kemudian terdapat gulungan-gulungan perban dan plester yang tidak terlalu menarik bagi anak-anak kecil itu. Kemudian saya keluarkan sebuah dos berisi kismis dan buah kering yang dapat dibuat kueh istimewa di akhir pecan itu.
Kemudian, saya masukkan tangan saya lagi kedalam dos itu, dan meraba sesuatu, ah… mungkinkah…mungkinkah…Saya tarik keluar tangan saya dan semua mata melotot dan napas hampir semua kami tertahan beberapa detik lamanya…hanya dapat melongo heran… Benar… sebuah botol air panas yang baru terbuat dari karet!

Saya hanya dapat menangis dengan sangat terharu. Saya tidak pernah terpikir untuk meminta Tuhan mengirimkan botol air panas karet itu. Saya malah merasa mustahil itu akan bisa dilakukan oleh Tuhan, waktu kami berdoa tadi.

Ruth, yang berdiri paling depan dan melihat botol air panas itu segera berseru: “Kalau Tuhan sudah mengirimkan botol itu; Dia juga pasti sudah mengirimkan sebuah boneka untuk kakak dari bayi itu!”

Dengan tanpa diundang dia langsung memasukkan tangannya dan mulai mengorek-ngorek sampai ke dasar kotak karton itu, dan waktu dia merasakan sesuatu disitu dia segera mencekalnya dan menarik tangannya keluar dengan sebuah boneka yang sangat indah dengan pakaian boneka yang berwarna warni.

Mata si Ruth berkilauan dan berseru kepada saya: “Mamie, bolehkah saya membawa boneka ini kepada gadis kecil itu, supaya dia tahu bahwa Yesus sungguh mencintai dia?” Sebelum saya sempat menjawab dia sudah lari dengan boneka itu menuju ke klinik.

Saya duduk terjerembab dan tepekur penuh keharuan, keheranan dan syukur. Paket itu sudah dikirim dengan pos laut dan menempuh waktu lima bulan untuk sampai kesitu pada sore itu.

Seorang guru Sekolah Minggu di USA yang saya tidak kenal, telah merasa tergerak lima bulan yang lalu untuk memasukkan sebuah botol air panas karet ke Afrika karena merasa bisikan Tuhan yang menyuruhkan dia berbuat itu, walaupun yang lainnya merasa itu sesuatu yang tidak ada gunanya, bagi orang yang hidup di daerah tropis seperti Afrika itu. Dan lima bulan lalu juga ada seorang anak perempuan di Amerika yang telah tergerak untuk meletakkan dalam kotak itu boneka kesayangannya yang baru saja diterimanya beberapa minggu sebelumnya, untuk menjawab doa kepada Tuhan Allah yang dilayangkan seorang gadis Afrika yang lugu, lima bulan kemudian. Wow!

(Kisah ini dituliskan oleh Helen Roseveare, seorang misionaris medis dari England di Zaire, Afrika, dalam bukunya ‘Living Faith’ dan diterjemahkan secara bebas oleh Pdt. Sammy Wiriadinata Lee, dari Sydney Australia.)

Profile Helen :

Helen Roseveare, seorang misionaris, tabib, dan penulis, dikenal atas kesetiaan dan pelayanannya yang luar biasa kepada Tuhan. Dia dilahirkan di Herfordshire, Inggris, dan mengenyam pendidikan di Cambridge University, tempat dia bertobat pada tahun 1945. Di sinilah dia memenuhi persyaratan sebagai dokter. Pada tahun 1953, dia pergi ke Afrika dan mendirikan pusat medis di bawah naungan Worldwide Evangelization Crusade (WEC) di Kongo Belgia (sekarang disebut Zaire).

Ketika pemberontakan dan peperangan saudara meluas di Zaire pada tahun 1964, dia sangat menderita; dia ditangkap oleh gerakan pemberontak dan dipaksa meninggalkan daerah itu. Dari pengalaman ini, dia menulis buku: Doctor among Congo Rebels (1965), Give Me This Mountain (1966), dan Doctor Returns to Congo (1967). Karena pengalaman tersebut tidak menggoyahkannya, dia kembali dua tahun kemudian dan membantu mendirikan Evangelical Medical Center di Nyankunde.

Ketika dia kembali ke Inggris pada tahun 1973, dia mulai menulis lebih banyak tentang pengalaman-pengalaman penginjilannya. Pada tahun 1976, dia menerbitkan buku “He Gave Us a Valley”. Kemudian dia melayani sebagai staf di Missionary Training College dari WEC, di Glasgow, Scotland.

Comments

comments