Menuju Tiang Gantung : Kisah Dietrich Bonhoeffer

DIETRICH
PERKEMBANGAN SEJARAH DARI TEOLOGI BONHOEFFER
Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), adalah putra dari seorang ahli syaraf di Berlin, ia menempuh pendidikan di Universitas Tubingen dan Universitas Berlin, di mana ia menerima gelar doktor dalam teologi pada usia dua puluh satu. Ia menyelesaikan disertasi yang kedua pada tahun 1930, pada tahun yang sama ia juga mulai studi di Union Theological Seminary di New York selama satu tahun. Setelah kembali ke Jerman, Bonhoeffer sangat terinspirasi oleh Kari Barih, yaitu selama seminar yang dipimpin oleh guru neo-ortodoksi yang terkenal itu. Tahun 1931, ia menjadi pembina rohani di sekolah menengah atas dan kemudian mengajar di Universitas Berlin. Pada saat Adolph Hitler menjadi konselor di Jerman pada tahun 1933, Bonhoeffer sangat vokal dalam perlawanannya pada Naziisme dan pandangan tentang supremasi orang Jerman (saudara kembar perempuan Bonhoeffer bersuamikan orang Yahudi), Setelah pergi ke Inggris di tahun 1933, Bonhoeffer kembali pulang dan bergabung dengan “gereja Confessing” (Jerman : “Die bekenende Kirche”, gereja yang mengaku) dengan memimpin sebuah seminari yang telah ditutup oleh Nazi tahun 1937. Bonhoefer Juga dilarang untuk berbicara di hadapan publik atau menulis buku.

Setelah ia pergi ke Union Theological Seminary secara singkat di tahun 1939, sekembalinya ke Jerman ia langsung bergabung dengan perjuangan melawan Nazi, Bonhoeffer sendiri telah terlibat dalam untuk menggulingkan Hitler di tahun 1938. Tahun 1941, buku-bukunya dilarang untuk beredar, dan di tahun 1943 ia ditangkap dan dipenjarakan Di tempat itulah, ia menulis “Letters and Papers from Prison”, Ini merupakan karyanya yang terkenal. Pada waktu bukti muncul di permukaan bahwa ia terlibat dalam rencana pemboman melawan Hitler di tahun 1944. Dietrich Bonhoeffer dipenjara akibat tidak menyetujui prinsip-prinsip Nazi, dia dipenjarakan di Berlin sebelum akhirnya dieksekusi dengan hukuman gantung bulan April 1945 di Camp Konsentrasi Flossenburg, sekitar 80 KM sebelah utara kota Regensburg, Bayern.

PENGAKUAN DOKTRINAL DARI TEOLOGI BONHOEFFER
Dietrich Bonhoeffer sangat berhutang pada Kari Barth untuk teologinya, meskipun ia adalah seorang pemikir yang mandiri, Bagi Bonhoeffer, “agama” tidak dapat diterima; semua yang penting adalah suatu perjumpaan pribadi dengan Kristus la berbicara tentang Yesus sebagai “keberadaan untuk orang lain” dan seseorang yang “dapat dimiliki dan dipahami di tengah Firman-Nya dan Gereja.”

Bonhoetfer melihat Kristus aktif dalam kehidupan sekular. “Kristus bukan terasing dari dunia kita yang tidak religius. tetapi ia hadir di dalamnya la menghadapi orang-orang, bukan dalam proses kuno tentang penyesalan, iman, pertobatan, regenerasi dan pengudusan, tetapi dengan cara baru, yaitu melalui sikap-sikap mereka yang “tidak saleh” .Ini merupakan contoh terminologi Bonhoeffer yang ekstrim, yang menyebabkan cukup banyak perdebatan.

Letters and Papers from Prison yang sangat berpengaruh mengekspresikan penekanan Bonhoeffer pada pengorbanan dan disiplin: “Gereja, hanya disebut gereja bila ia eksis untuk yang lain. Untuk memulainya, gereja harus menyerahkan semua properti pada mereka yang membutuhkannya. Klergi harus hidup semata-mata dari kerelaan persembahan jemaatnya, atau bisa terlibat pada semacam panggilan sekular. Gereja harus terlibat dalam masalah sekular dari manusia pada bukan mendominasi, melainkan menolong dan melayani (Gasper, The fundamentalist Movement, 1930-1956, hlm 16).

Kekristenan yang tanpa agama. Suatu pertanyaan yang diperdebatkan adalah apakah yang maksudkan oleh Bonhoeffer dengan pernyataan “Kekristenan tanpa agama” yang mengandung teka-teki itu Sebagian orang memahami pernyataan itu secara positif, mengusulkan bahwa pemuridan duniawi di mana kehidupan ini dijalani dengan tanggung jawab “di bawah aspek Allah sebagai realitas terakhir” (Gasper, The fundamentalist Movement, 1930-1956, hlm 17). Hal itu bisa berarti suatu kehidupan yang berdisiplin dalam dunia ini sebagai seorang murid Kristus. Namun, teolog-teolog radikal di tahun 1960-an, juga mendapatkan dorongan pernyataan Bonhoeffer tentang Kekristenan tanpa agama. Oleh karena itu, sebagian orang memahami Bonhoeffer sebagai mengajarkan bahwa “manusia dewasa” yang telah sampai pada masanya harus belajar untuk hidup independen dari Allah.Bonhoeffer menolak pemikiran tentang “sakral” dan “sekular”; ia melihat kebutuhan untuk melayani Kristus di dunia dan bukan hanya di wilayah yang “sakral” dan “sekular”. Lebih jauh. dengan kedatangan ilmu pengetahuan, manusia dapat belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri di mana sebelumnya ia bergantung pada Allah.

Dengan melihat ketidak-bergantungan manusia pada Allah, Bonhoeffer mendeklarasikan, “manusia telah belajar untuk mandiri dalam semua pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang penting tanpa pertolongan ‘hipotesa kerja’ yang disebut ‘Allah.” (Ronald H Nash, The New Evangelicasm, Grand Rapids, Zondervan 1963 hlm 14); Bonhoeffer tidak menyangkali kegunaan dari ketidak-bergantungan pada Allah ini.

Tentu saja, Bonhoeffer membuat pernyataan dualistik yang telah membuat sukar untuk dimengerti, khususnya karena kematiannya yang mendadak telah menghentikan penjelasan yang lebih lanjut atau sistematis.

RINGKASAN EVALUASI DARI TEOLOGI BONHOEFFER
Masalah utama dalam tulisan-tulisan Bonhoeffer adalah bahwa ia meninggal sebelum tulisannya dikembangkan secara penuh. Tentu saja banyak pernyataan yang penuh teka-teki. Bonhoeffer sangat berhutang pada Kari Barth dan mengikuti teologi dialektik, yang terlihat dalam banyak pernyataan-pernyataan “kontradiksi” dari Bonhoeffer. Namun pada saat seseorang mengevaluasi tulisannya, maka ada satu hal yang benar: “Teolog-teolog “Allah adalah mati” yang sekular berakar pada tulisan-tulisan Bonhoeffer yang menekankan ketidak-bergantungan manusia pada Allah. Pernyataan-pernyataannya tentang kedewasaan manusia dalam ketidak-bergantungan pada Allah dengan keras melawan panggilan Kitab Suci untuk berpaling pada Allah dalam iman, yang berarti mengakui kelemahan seseorang (lihat, 2 Korintus 12:9-10).
* 2 Korintus 12:9-10
12:9 Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.
12:10 Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.

Comments

comments