header image
 

All posts in November, 2016

Ada sebuah padang, dengan dua ekor kuda di dalamnya. Dari kejauhan, dua kuda itu seperti kuda pada lazimnya. Tetapi jika Anda menghentikan mobil dan berjalan mendekat, Anda akan menemukan satu hal yang mengagumkan. Saat memperhatikan mata salah satu kuda, akan terlihat bahwa kuda itu buta.

Pemiliknya telah memutuskan untuk tidak membuangnya, tetapi justru membuatkan sebuah rumah yang nyaman untuknya.

Hal berikut ini juga luar biasa. Jika Anda berdiri di dekatnya dan memperhatikan, akan terdengar bunyi suara lonceng. Saat mencari sumber suara itu, Anda akan melihat bahwa itu berasal dari kuda yang lebih kecil di padang rumput itu.

Di lehernya dikalungkan sebuah lonceng kecil. Suaranya akan memberi tanda kepada kuda yang buta arah kuda kecil berada, sehingga bisa mengikutinya.

Ketika Anda berdiri dan memperhatikan kedua kuda itu, Anda akan melihat bahwa kuda yang memiliki lonceng selalu menoleh memperhatikan kuda yang buta, dan kuda yang buta akan mendengar suara lonceng dan kemudian berjalan perlahan ke arahnya; percaya bahwa dia tidak akan tersesat.

Saat kuda dengan lonceng kembali ke kandang pada sore hari, dia setiap kali akan selalu berhenti dan menoleh, memastikan bahwa temannya yang buta tidak berjalan terlalu jauh untuk bisa mendengar bunyi loncengnya.

Seperti pemilik dari kedua kuda ini, Tuhan tidak pernah membiarkan kita terbuang hanya karena kita tidak sempurna atau kita sedang menghadapi masalah atau tantangan.

Dia mengawasi kita dan bahkan membawa orang lain ke dalam hidup kita untuk menolong kita saat kita membutuhkannya.

Kadang-kadang kita adalah kuda buta yang dituntun oleh bunyi pelan lonceng dari orang-orang yang ditempatkan Tuhan dalam kehidupan kita.

Teman baik selalu seperti itu … Anda tidak pernah selalu melihat mereka, tapi Anda tahu bahwa mereka selalu ada di sana.

Dengarkanlah lonceng saya dan saya akan mendengarkan lonceng Anda.

Dan ingat … bersikaplah ramah lebih dari biasanya – siapa saja yang Anda temui adalah ibarat pergumulan dalam suatu pertempuran.

Rumah kami langsung berseberangan dengan pintu masuk RS John Hopkins di Baltimore. Kami tinggal dilantai dasar dan menyewakan kamar-kamar lantai atas pada para pasien yang ke klinik itu.

Suatu petang dimusim panas, ketika aku sedang menyiapkan makan malam, ada orang mengetuk pintu. Saat kubuka, yang kutatap ialah seorang pria dengan wajah yang benar buruk sekali rupanya. “Lho, dia ini juga hampir Cuma setinggi anakku yang berusia 8 tahun,” pikirku ketika aku mengamati tubuh yang bungkuk dan sudah serba keriput ini. Tapi yang mengerikan ialah wajahnya, begitu miring besar sebelah akibat bengkak, merah dan seperti daging mentah., hiiiihh…!

Tapi suaranya begitu lembut menyenangkan ketika ia berkata, “Selamat malam. Saya ini kemari untuk melihat apakah anda punya kamar hanya buat semalam saja. Saya datang berobat dan tiba dari pantai Timur, dan ternyata tidak ada bis lagi sampai esok pagi.” Ia bilang sudah mencoba mencari kamar sejak tadi siang tanpa hasil, tidak ada seorangpun tampaknya yang punya kamar. “Aku rasa mungkin karena wajahku … Saya tahu kelihatannya memang mengerikan, tapi dokterku bilang dengan beberapa kali pengobatan lagi…” Untuk sesaat aku mulai ragu2, tapi kemudian kata2 selanjutnya menenteramkan dan meyakinkanku: “Oh aku bisa kok tidur dikursi goyang diluar sini, di veranda samping ini. Toh bis ku esok pagi2 juga sudah berangkat.” Aku katakan kepadanya bahwa kami akan mencarikan ranjang buat dia, untuk beristirahat di veranda.

Aku masuk kedalam menyelesaikan makan malam. Setelah rampung, aku mengundang pria tua itu, kalau2 ia mau ikut makan. “Wah, terima kasih, tapi saya sudah bawa cukup banyak makanan.” Dan ia menunjukkan sebuah kantung kertas coklat. Selesai dengan mencuci piring2, aku keluar mengobrol dengannya beberapa menit. Tak butuh waktu lama untuk melihat bahwa orang tua ini memiliki sebuah hati yang terlampau besar untuk dijejalkan ketubuhnya yang kecil ini.

Dia bercerita ia menangkap ikan untuk menunjang putrinya, kelima anak2nya, dan istrinya, yang tanpa daya telah lumpuh selamanya akibat luka ditulang punggung.Ia bercerita itu bukan dengan berkeluh kesah dan mengadu; malah sesungguhnya, setiap kalimat selalu didahului dengan ucapan syukur

Pada Allah untuk suatu ber-kat! Ia berterima kasih bahwa tidak ada rasa sakit yang menyertai penyakitnya, yang rupa2nya adalah semacam kanker kulit. Ia bersyukur pada Allah yang memberinya kekuatan untuk bisa terus maju dan bertahan. Saatnya tidur, kami bukakan ranjang lipat kain berkemah untuknya dikamar anak2. Esoknya waktu aku bangun, seprei dan selimut sudah rapi terlipat dan pria tua itu sudah berada di veranda. Ia menolak makan pagi, tapi sesaat sebelum ia berangkat naik bis, ia berhenti sebentar, seakan

meminta suatu bantuan besar, ia berkata, “Permisi, bolehkah aku datang dan tinggal disini lagi lain kali bila aku harus kembali berobat? Saya sungguh tidak akan merepotkan anda sedikitpun. Saya bisa kok tidur enak dikursi.” Ia berhenti sejenak dan lalu menambahkan, “Anak2 anda membuatku begitu merasa krasan seperti di rumah sendiri. Orang dewasa rasanya terganggu oleh rupa buruknya wajahku, tetapi anak2 tampaknya tidak terganggu.” Aku katakan silahkan datang kembali setiap saat.

Ketika ia datang lagi, ia tiba pagi2 jam tujuh lewat sedikit. Sebagai oleh2, ia bawakan seekor ikan besar dan satu liter kerang oyster terbesar yang pernah kulihat. Ia bilang, pagi sebelum berangkat, semuanya ia kuliti supaya tetap bagus dan segar. Aku tahu bisnya berangkat jam 4.00 pagi, entah jam berapa ia sudah harus bangun untuk mengerjakan semuanya ini bagi kami.

Selama tahun2 ia datang dan tinggal bersama kami, tidak pernah sekalipun ia datang tanpa membawakan kami ikan atau kerang Oyster atau sayur mayur dari kebunnya. Beberapa kali kami terima kiriman lewat pos, selalu lewat kilat khusus, ikan dan oyster terbungkus dalam sebuah kotak penuh daun bayam atau sejenis kol, setiap helai tercuci bersih. Mengetahui bahwa ia harus berjalan sekitar 5 km untuk mengirimkan semua itu, dan sadar betapa sedikit penghasilannya, kiriman2 dia menjadi makin bernilai…

Ketika aku menerima kiriman oleh2 itu, sering aku teringat kepada komentar tetangga kami pada hari ia pulang ketika pertama kali datang. “Ehhh, kau terima dia bermalam ya, orang yang luar biasa jelek menjijikkan mukanya itu? Tadi malam ia kutolak. Waduhh, celaka dehh.., kita kan bakal kehilangan langganan kalau nerima orang macam gitu!” Oh ya, memang boleh jadi kita kehilangan satu dua tamu. Tapi seandainya mereka sempat mengenalnya,mungkin penyakit mereka bakal jadi akan lebih mudah untuk dipikul.

Aku tahu kami sekeluarga akan selalu bersyukur, sempat dan telah mengenalnya; dari dia kami belajar apa artinya menerima yang buruk tanpa mengeluh, dan yang baik dengan bersyukur kepada Allah.

Baru2 ini aku mengunjungi seorang teman yang punya rumah kaca. Ketika ia menunjukkan tanaman2 bunganya, kami sampai pada satu Tanaman krisantemum yang paling cantik dari semuanya, lebat penuh tertutup bunga berwarna kuning emas. Tapi aku jadi heran sekali, melihat ia tertanam dalam sebuah ember tua, sudah penyok berkarat pula. Dalam hati aku berkata, “Kalau ini tanamanku, pastilah sudah akan kutanam didalam bejana terindah yang kumiliki.” Tapi temanku merubah cara pikirku. “Ahh, aku sedang kekurangan pot saat itu,” ia coba terangkan, “dan tahu ini bakal cantik sekali, aku pikir tidak apalah sementara aku pakai ember loak ini. Toh cuma buat sebentar saja, sampai aku bisa menanamnya ditaman.”

Ia pastilah ter-heran2 sendiri melihat aku tertawa begitu gembira, tapi aku membayangkan kejadian dan skenario seperti itu disurga. “Hah, yang ini luar biasa bagusnya,” mungkin begitulah kata Allah saat Ia sampai pada jiwa nelayan tua baik hati itu.” Ia pastilah tidak akan keberatan memulai dulu didalam badan kecil ini.” Semua ini sudah lama terjadi, dulu — dan kini, didalam taman Allah, betapa tinggi mestinya berdirinya jiwa manis baik ini.

“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang didepan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1 Samuel 16:7b)

Pada masa-masa susah di sebuah kota kecil Idaho, saya suka mengunjungi toko kecil di tepi jalan milik Mr Miller yang menyediakan produk segar hasil pertanian.Makanan dan uang cukup langka pada waktu itu…dan jual beli dilakukan dengan cara tukar menukar barang.

Satu hari, Mr Miller sedang mengepak kentang-kentang yang saya beli ketika tidak sengaja saya melihat seorang anak yang kecil kurus kelaparan, compang-camping tetapi bersih, nampak sedang memilih-milih kacang polong segar yang baru dipetik di keranjang. Saya membayar untuk kentang-kentang saya sambil ikut tertarik pada kacang polong tersebut.
Saya adalah penjual kentang dan krim kacang.Saat menimbang kacang polong, tanpa sadari, saya ikut mendengarkan pembicaraan mereka.

“Halo Barry, bagaimana kabarmu hari ini?” tanya si pemilik toko.

‘Halo, Mr Miller. Saya baik, terima kasih ya. Saya cuma mengagumi kacang polong ini….tampak segar dan bagus-bagus”

“Itu memang bagus Barry. Bagaimana dengan ibu kamu? ”

“Oh… dia membaik, dan nampak semakin kuat.”

“Bagus. Apa ada yang bisa saya bantu? ”

“Tidak, Sir. saya cuma mengagumi kacang polong ini. ”

‘Apakah kamu ingin beberapa untuk di bawa pulang?” kata Mr Miller.

“Tidak, Sir. Saya tidak ada uang untuk membayar. ”

“Jika begitu, apa kamu punya sesuatu sebagai penukar?”

“Saya hanya punya beberapa kelereng hadiah.”

“Apakah itu benar? Coba kulihat “kata Mr Miller. “Ini .. bagus. ”
“Aku bisa melihatnya. Hmm sayang warnanya biru sedang saya mencari warna merah.
Apakah kamu memilikinya seperti ini di rumah? ”

“Tidak persis tapi hampir sama. ”

‘Begini saja. Ambil saja dulu kacang polong ini, dan lain kali, kamu bawa kelereng kamu yang merah’ kata Mr Miller kepada anak itu.

“Tentu. Terima kasih Mr Miller. ”

Ny Miller, yang sedang berdiri tidak jauh, datang untuk membantu saya. Dengan tersenyum dia berkata,”Ada dua anak laki-laki lain seperti dia di komunitas kami, ketiganya sama-sama sangat miskin.Jim suka tawar-menawar dengan mereka untuk kacang polong, apel, tomat, atau apa pun.Jika mereka kembali dengan warna yang diminta, Jim akan berkata bahwa dia sudah tidak mencari warna tersebut dan akan menanyakan warna lainnya. Tetapi Jim tetap memberikan apa saja yang mereka ingin tukarkan.”

Saya meninggalkan toko sambil tersenyum sendiri, terkesan dengan orang ini.Beberapa waktu kemudian saya pindah ke Colorado, tapi saya tidak pernah lupa kisah tentang orang ini,anak-anak, dan cara barter mereka.

Beberapa tahun berlalu dengan cepat. Baru-baru ini saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi beberapa teman lama di komunitas Idaho dan mendengar bahwa Mr Miller meninggal dunia.Teman-teman saya berencana untuk berkunjung sore itu dan saya sepakat untuk ikut.

Saat tiba di tempat jenasah disemayamkan, kita menemui keluarga almarhum untuk menyampaikan bela sungkawa dan kata-kata penghiburan.Di depan kami, nampak tiga orang muda. Salah satunya mengenakan seragam tentara dan dua lainnya berpotongan rambut bagus, setelan gelap dan kemeja putih … semua tampak sangat profesional.

Mereka semua menghampiri Mrs Miller dan berdiri disampingnya sambil tersenyum kepada jenasah Mr Miller di dalam peti mati.
Setiap pemuda memeluknya, mencium pipi, bicara singkat dengannya dan pindah kepeti mati, dengan mata berkaca-kaca, satu per satu,masing-masing pemuda berhenti sebentar dan meletakkan tangan mereka di atas tangan yang pucat dingin di peti mati.
Satu persatu meninggalkan tempat itu sambil menyeka mata.

Giliran kami datang menemui Ny Miller. Saya bilang padanya siapa saya dan mengingatkannya pada kisah dari tahun-tahun yang lalu dan ketika ia bercerita tentang suaminya yang suka berbarter untuk kelereng.Dengan mata berkaca-kaca, dia meraih tanganku dan membawa saya ke peti mati.

“Mereka tiga pemuda yang baru saja meninggalkan adalah anak laki-laki yang kuceritakan dulu.Mereka hanya mengatakan kepada saya bagaimana mereka menghargai hal-hal yang Jim ‘perdagangkan’ pada mereka. Sekarang, pada akhirnya, ketika Jim sudah tidak bisa lagi meminta warna atau ukuran kelereng mereka datang untuk membayar utang mereka. ”

‘Kami tidak pernah memiliki banyak kekayaan di dunia ini, “ia mengaku,” tapi sekarang, Jim akan menganggap dirinya orang terkaya di Idaho..’ Dengan lembut, dia mengangkat jari-jari almarhum suaminya.Nampak disitu tiga buah kelereng warna merah yang bersinar indah.

*Moral:*
*Orang mungkin tidak bisa mengingat semua perkataan kita, tetapi akan mengingat
segala perbuatan baik kita.
Hidup ini tidak diukur oleh nafas yang kita habiskan, tetapi oleh waktu yang
kita habiskan untuk bernafas.

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk
Tuhan dan bukan untuk manusia.

Menutup bulan keluarga pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2016 sekaligus memperingati hari Reformasi,seluruh jemaat GMIT Agape melangsungkan ibadah pada pukul 18.00-19.30 Wita.

 

“Kasih Itu Panjang Sabar ” merupakan tema khotbah yang disampaikan oleh Pdt.Agnes Ina,S.Th pada kebaktian minggu terakhir bulan keluarga.Pada ibadah ini,pasangan suami istri yang hadir diberi kesempatan untuk mengungkapkan kasih sayang dengan moment pemberian souvenir bagi suami-suami berupa gantungan kunci,yang diberikan langsung oleh para istri mereka.

 

Sewaktu telegraph sedang memasuki masa kejayaan, tercatatlah seorang pemuda yang sangat mencintai sandi morse dan bermimpi bahwa suatu hari ia dapat bekerja di perusahaan tersebut.

Hingga suatu hari perusahaan telegraph mengumumkan lowongan pekerjaan untuk posisi itu. Tentu saja, sang pemuda sangat bersemangat dan segera mendatangi perusahaan tersebut untuk memberikan surat lamarannya. Ketika memasuki perusahaan tersebut, ia dibuat terpesona dan terkagum-kagum melihat keadaan di tempat itu, bagaimana setiap orang sangat menikmati pekerjaannya sekalipun terdengar bising suara dari sandi morse.

Begitu memasuki ruang tunggu, sang pemuda terkejut karena ternyata banyak juga orang yang berminat untuk bekerja di tempat itu. Oleh resepsionis ia diminta mengisi formulir dan menunggu antrian untuk test wawancara. Selesai mengisi formulir, sang pemuda segera beranjak dari tempat duduknya dan menyerahkan lembaran itu ke resepsionis dan melenggang masuk ke ruangan wawancara tanpa menunggu antrian lagi. Sikapnya yang seperti ini tentu saja, membuat tanda tanya besar di benak para calon pelamar dan tak sedikit yang merasa gusar, karena merasa telah didahului oleh pemuda ini.

Selang beberapa waktu, dari ruangan wawancara di umumkan bahwa pintu pendaftaran telah ditutup karena karyawan untuk posisi itu telah didapatkan yaitu sang pemuda tadi. Mendengar hal ini tentu saja, orang-orang yang berada di ruang tunggu sangat gusar dan marah-marah, tidak terima dengan keputusan sepihak dari pihak management.

Akhirnya pihak management memberikan penjelasan, “Tenang saudara-saudara, dengankan dulu penjelasan saya. Anak muda ini datang bukan hanya untuk sekedar mencari pekerjaan, namun ia benar benar menguasai dan mencintai sandi morse. Tahukah saudara, di dalam formulir itu ada sebuah tulisan yang ditulis dengan sandi morse yang berbunyi, Jika anda sudah mengisi formulir, silakan masuk untuk wawancara. Anak muda menangkap informasi tersebut dan melakukan apa yang diperintahkannya, sedangkan saudara tidak menangkap pesan ini.”

MORAL: Terkadang kita seperti para pelamar itu, sibuk dengan permintaan dan lupa bahwa sebenarnya TUHAN pun ingin berbicara dengan kita. Akibatnya, apa yang seharusnya kita dapatkan menjadi sia-sia, karena kita tidak sabar untuk menunggu waktu-NYA. Mari, kita belajar dari pemuda ini yang mencari tahu bagaimana menguasai sandi morse dan ketika tiba waktunya, ia bisa menunjukkannya dengan maximal.

KASIH ITU RELA BERKORBAN

(MAT. 18:1-5)

 

Kesibukan adalah salah satu penyebab keluarga kehilangan kasih. Kesibukan dapat membuat orang-orang yang kita kasihi menjadi korban. Banyak orang tua sibuk untuk bekerja. Suami bekerja untuk memenuhi kebutuhan bahkan ada yang berkata bahwa mereka bekerja demi anak-anak. Kesibukan yang seperti ini justru mengorbankan anak-anak dan bukanlah demi mereka. Hal ini membuat anak-anak tidak punya lagi waktu dengan orang tua. Tidak heran justru anak sering kali dibentuk oleh perilaku dan karakter dari pembantu atau opa-oma. Terkadang orang tua juga kerap kali mengeluh karena anak susah diatur, karena mereka sendiri jarang mengatur anak-anak mereka.

Kenakalan remaja pun kita lihat semakin marak. Kalau kita melihat gaya hidup modern, banyak keluhan yang disampaikan baik dari orang tua maupun anak-anak. Ternyata keduanya memiliki kebutuhan yang sama, yaitu KASIH. Pengorbanan yang bermakna dapat dinikmati bersama melalui kasih yang diberikan satu dengan yang lain. Seberapa banyak komunikasi yang terjadi diantara keduanya juga penting. Anak-anak sebenarnya tidak membutuhkan materi, tapi mereka butuh belaian kasih, pelukan cinta dari papa-mama mereka.

Sesuai dengan teks pembacaan kita, hubungan orang tua dan anak adalah menyangkut kerajaan sorga. Siapa yang terbesar dalam Kerajaan Sorga dikatakan adalah anak-anak. Mengapa demikian? Pemilik Kerajaan Sorga adalah Allah dan anak-anak adalah anugerah. Anak adalah titipan dari Allah yang mulia.  Anak-anak mendapat sajungan dari Allah, sebagai model pribadi yang terbesar dalam kerajaan-Nya. Banyak hal buruk yang dilakukan oleh kita sebagai orang tua, menjadi contoh teladan buruk buat anak-anak. Firman Tuhan berkata kalau kamu tidak bertobat dan menjadi sama seperti anak-anak, maka kamu tidak layak untuk Kerajaan Sorga. Hal ini merujuk kepada iman dan ketulusan dari anak-anak di hadapan Tuhan.

Anak adalah warisan yang Tuhan berikan kepada setiap kita sebagai orang tua. Pertama adalah warisan fisik. Secara fisik akan lebih tampak sama dengan orang tuanya. Kedua, warisan materi. ketiga, warisan rohani. Bagaimana dengan warisan rohani yang kita berikan kepada anak-anak kita? Kembali ke teks pembacaan kita, mengapa di sini Yesus memakai figur anak? Jawabannya adalah karena mereka polos, apa adanya, demikian mereka juga itu pemaaf. Karena itu kita seharusnya komitmen, sebagai orang tua untuk memberi kasih kepada anak-anak, sebagai bentuk dari tanggung jawab kita di hadapan Tuhan.

 

Ringkhasan Khotbah: Pdt. Elsa Maramba-Kebang

Gelombang penganiayaan yang keras terjadi di Jepang pada awal tahun 1600, di mana selama waktu tersebut banyak umat Kristen menjadi martir. Pada tanggal 20 Februari 1627, pemimpin gereja bernama Paulo Uchibori, istrinya dan ketiga anaknya ditahan karena menampung para misionari.
Pada hari itu, Paulo dan 37 orang Kristen lainnya dipukuli, diarak telanjang melalui pusat kota dan dipenjarakan di Istana Shimabara. Pada keesokan harinya, orang-orang Kristen tersebut dianiaya. Pemerintah tidak berkeinginan menjadikan mereka martir, tetapi mereka menggunakan cara-cara terkeji untuk memaksa orang-orang Kristen menyangkal iman mereka.
Salah satu prajurit mengusik Paulo ketika ia memegang sebilah pisau, dengan berkata, “Berapa banyak jari anak-anakmu yang harus kami ambil ?” Paulo menjawab, “Semua terserah padamu.” Para prajurit memotong semua jari anak-anak Paulo kecuali jempol dan kelingking mereka, dengan berkata orang-orang Kristen seharusnya mempunyai jari lebih sedikit dari binatang.
Dua anak tertua Paulo, Antonio dan Barutabazaru merelakan jari-jari mereka kepada para prajurit tersebut, tanpa menangis atau menunjukkan kesakitan. Anak Paulo yang bungsu, Ignatius, berumur lima tahun. Ia juga tidak menunjukkan rasa sakit saat jari-jari tangannya dipotong. Ia mengangkat tangannya yang berlumuran darah ke langit, mempersembahkannya kepada Allah.
Mereka yang melihat hal ini menjadi terkejut dan tersentuh hatinya menyaksikan keberanian anak-anak itu. Lalu para prajurit mengikat tangan dan kaki ke-16 tahanan tersebut termasuk anak-anak Paulo dan melemparkannya berkali-kali ke dalam air es yang sangat dingin di Teluk Shimabara.
Walaupun demikian, orang-orang Kristen tersebut tidak mau menyangkal iman mereka. Kata-kata terakhir Antonio sebelum ia hilang ditelan laut adalah, “Ayah, kita harus bersyukur kepada Allah karena memberikan kita berkat luar biasa seperti ini.” Setelah anak-anaknya ditenggelamkan, wajah Paulo dicap dengan tiga huruf Jepang dari kata “Kristen.” Ia dilemparkan ke jalan-jalan dengan tulisan di baju kimononya yang terbaca, “Dihukum karena menjadi Kristen. Dilarang menolong orang ini atau memberinya perlindungan.”
Seminggu setelah kematian martir anak-anaknya, Paulo dibawa ke atas Gunung Unzen dengan ke 15 orang Kristen lainnya untuk merasakan “siksaan di dalam neraka kawah Unzen.” Paulo digantung terbalik dan diturunkan ke atas permukaan air sulfur yang mendidih berkali-kali. Ia berdoa dengan suara keras setiap kali, menyadari ia adalah bagian dari Tubuh Kristus, “Perjamuan Suci harus disucikan.”
Akhirnya, tubuhnya dilemparkan ke dalam kawah mendidih yang menguap. Kesaksian iman Paulo dan anak-anaknya menguatkan kita. Kita tahu bahwa mereka dan orang-orang KRISTEN lainnya yang menjadi martir telah diterima dalam hadirat YESUS dan sekarang mengenakan jubah putih.
Saudaraku, mari kita belajar dari martir iman PAULO UCHIBORI, bahwa apapun yang terjadi tidak akan sanggup memisahkan dia dengan BAPA, sekalipun ia harus kehilangan nyawa dan keluarganya, imannya tetap teguh.
Bila selama ini, kita masih suka berkeluh kesah akan sulitnya keadaan, marilah berkaca kepada pengalaman iman PAULO UCHIBORI. Bahwa kesulitan hidup kita tidak sesulit apa yang mereka alami dan orang-orang KRISTEN lainnya di muka bumi ini. Mengucap syukurlah senantiasa !!

Dahulu, ada seorang pengusaha yang cukup berhasil di kota ini. Ketika sang suami jatuh sakit, satu per satu pabrik mereka dijual. Harta mereka terkuras untuk berbagai biaya pengobatan. Hingga mereka harus pindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana. Sang suami pun telah tiada.

Beberapa tahun kemudian, rumah makan itu pun harus berganti rupa menjadi warung makan yang lebih kecil sebelah pasar. Setelah lama tak mendengar kabarnya, kini setiap malam tampak sang istri dibantu oleh anak dan menantunya menggelar tikar berjualan lesehan di alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenal masa lalunya yang berkelimpahan. Namun, ia tak kehilangan senyumnya yang tegar saat meladeni para pembeli.

Wahai ibu, bagaimana kau sedemikian kuat?

“Harapan nak! Jangan kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu kita tak kan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Sekali kau kehilangan harapan, kau kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia”.

Roma 5:2-6 mengatakan,” Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

Kisah ini terjadi di Rusia. Seorang ayah, yang memiliki putra yang berusia kurang lebih 5 tahun, memasukkan putranya tersebut ke sekolah musik untuk belajar piano. Ia rindu melihat anaknya kelak menjadi seorang pianis yang terkenal.

Selang beberapa waktu kemudian, di kota tersebut datang seorang pianis yang sangat terkenal. Karena ketenarannya, dalam waktu singkat tiket konser telah terjual habis. Sang ayah membeli 2 buah tiket pertunjukan, untuk dirinya dan anaknya.

Pada hari pertunjukan, satu jam sebelum konser dimulai, kursi telah terisi penuh, sang ayah duduk dan putranya tepat berada di sampingnya. Seperti layaknya seorang anak kecil, anak ini pun tidak betah duduk diam terlalu lama, tanpa sepengetahuan ayahnya, ia menyelinap pergi.

Ketika lampu gedung mulai diredupkan, sang ayah terkejut menyadari bahwa putranya tidak ada di sampingnya. Ia lebih terkejut lagi ketika melihat anaknya berada dekat panggung pertunjukan, dan sedang berjalan menghampiri piano yang akan dimainkan pianis tersebut.

Didorong oleh rasa ingin tahu, tanpa takut anak tersebut duduk di depan piano dan mulai memainkan sebuah lagu, lagu yang sederhana, twinkle2 little star.

Operator lampu sorot, yang terkejut mendengar adanya suara piano mengirabahwa konser telah dimulai tanpa aba-aba terlebih dahulu, dan ia langsung menyorotkan lampunya ke tengah panggung. Seluruh penonton terkejut, melihat yang berada di panggung bukan sang pianis, tapi hanyalah seorang anak kecil. Sang pianis pun terkejut, dan bergegas naik ke atas panggung. Melihat anak tersebut, sang pianis tidak menjadi marah, ia tersenyum dan berkata, “Teruslah bermain” dan sang anak yang mendapat ijin, meneruskan permainannya.

Sang pianis lalu duduk, di samping anak itu, dan mulai bermain mengimbangi permainan anak itu, ia mengisi semua kelemahan permainan anak itu, dan akhirnya tercipta suatu komposisi permainan yang sangat indah. Bahkan mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut.

Ketika mereka berdua selesai, seluruh penonton menyambut dengan meriah, karangan bunga dilemparkan ke tengah panggung. Sang anak jadi besar kepala, pikirnya, “Gila, baru belajar piano sebulan saja sudah hebat!” Ia lupa bahwa yang disoraki oleh penonton adalah sang pianis yang duduk di sebelahnya, mengisi semua kekurangannya dan menjadikan permainannya sempurna.

Demikian juga di dalam kehidupan kita, kita sering merasa bahwa keberhasilan yang kita raih , semua itu hanya karena usaha dan kerja keras kita. Kita lupa bahwa semua itu terjadi karena Tuhan yang menolong kita dan tanpa Dia apapun yang kita kerjakan tidak akan berhasil. Tapi bila Tuhan ada disamping kita, kita akan mampu melakukan hal -hal yang sederhana menjadi luar biasa.

« Older Entries     Newer Entries »