header image
 

All posts in November 2nd, 2016

Rumah kami langsung berseberangan dengan pintu masuk RS John Hopkins di Baltimore. Kami tinggal dilantai dasar dan menyewakan kamar-kamar lantai atas pada para pasien yang ke klinik itu.

Suatu petang dimusim panas, ketika aku sedang menyiapkan makan malam, ada orang mengetuk pintu. Saat kubuka, yang kutatap ialah seorang pria dengan wajah yang benar buruk sekali rupanya. “Lho, dia ini juga hampir Cuma setinggi anakku yang berusia 8 tahun,” pikirku ketika aku mengamati tubuh yang bungkuk dan sudah serba keriput ini. Tapi yang mengerikan ialah wajahnya, begitu miring besar sebelah akibat bengkak, merah dan seperti daging mentah., hiiiihh…!

Tapi suaranya begitu lembut menyenangkan ketika ia berkata, “Selamat malam. Saya ini kemari untuk melihat apakah anda punya kamar hanya buat semalam saja. Saya datang berobat dan tiba dari pantai Timur, dan ternyata tidak ada bis lagi sampai esok pagi.” Ia bilang sudah mencoba mencari kamar sejak tadi siang tanpa hasil, tidak ada seorangpun tampaknya yang punya kamar. “Aku rasa mungkin karena wajahku … Saya tahu kelihatannya memang mengerikan, tapi dokterku bilang dengan beberapa kali pengobatan lagi…” Untuk sesaat aku mulai ragu2, tapi kemudian kata2 selanjutnya menenteramkan dan meyakinkanku: “Oh aku bisa kok tidur dikursi goyang diluar sini, di veranda samping ini. Toh bis ku esok pagi2 juga sudah berangkat.” Aku katakan kepadanya bahwa kami akan mencarikan ranjang buat dia, untuk beristirahat di veranda.

Aku masuk kedalam menyelesaikan makan malam. Setelah rampung, aku mengundang pria tua itu, kalau2 ia mau ikut makan. “Wah, terima kasih, tapi saya sudah bawa cukup banyak makanan.” Dan ia menunjukkan sebuah kantung kertas coklat. Selesai dengan mencuci piring2, aku keluar mengobrol dengannya beberapa menit. Tak butuh waktu lama untuk melihat bahwa orang tua ini memiliki sebuah hati yang terlampau besar untuk dijejalkan ketubuhnya yang kecil ini.

Dia bercerita ia menangkap ikan untuk menunjang putrinya, kelima anak2nya, dan istrinya, yang tanpa daya telah lumpuh selamanya akibat luka ditulang punggung.Ia bercerita itu bukan dengan berkeluh kesah dan mengadu; malah sesungguhnya, setiap kalimat selalu didahului dengan ucapan syukur

Pada Allah untuk suatu ber-kat! Ia berterima kasih bahwa tidak ada rasa sakit yang menyertai penyakitnya, yang rupa2nya adalah semacam kanker kulit. Ia bersyukur pada Allah yang memberinya kekuatan untuk bisa terus maju dan bertahan. Saatnya tidur, kami bukakan ranjang lipat kain berkemah untuknya dikamar anak2. Esoknya waktu aku bangun, seprei dan selimut sudah rapi terlipat dan pria tua itu sudah berada di veranda. Ia menolak makan pagi, tapi sesaat sebelum ia berangkat naik bis, ia berhenti sebentar, seakan

meminta suatu bantuan besar, ia berkata, “Permisi, bolehkah aku datang dan tinggal disini lagi lain kali bila aku harus kembali berobat? Saya sungguh tidak akan merepotkan anda sedikitpun. Saya bisa kok tidur enak dikursi.” Ia berhenti sejenak dan lalu menambahkan, “Anak2 anda membuatku begitu merasa krasan seperti di rumah sendiri. Orang dewasa rasanya terganggu oleh rupa buruknya wajahku, tetapi anak2 tampaknya tidak terganggu.” Aku katakan silahkan datang kembali setiap saat.

Ketika ia datang lagi, ia tiba pagi2 jam tujuh lewat sedikit. Sebagai oleh2, ia bawakan seekor ikan besar dan satu liter kerang oyster terbesar yang pernah kulihat. Ia bilang, pagi sebelum berangkat, semuanya ia kuliti supaya tetap bagus dan segar. Aku tahu bisnya berangkat jam 4.00 pagi, entah jam berapa ia sudah harus bangun untuk mengerjakan semuanya ini bagi kami.

Selama tahun2 ia datang dan tinggal bersama kami, tidak pernah sekalipun ia datang tanpa membawakan kami ikan atau kerang Oyster atau sayur mayur dari kebunnya. Beberapa kali kami terima kiriman lewat pos, selalu lewat kilat khusus, ikan dan oyster terbungkus dalam sebuah kotak penuh daun bayam atau sejenis kol, setiap helai tercuci bersih. Mengetahui bahwa ia harus berjalan sekitar 5 km untuk mengirimkan semua itu, dan sadar betapa sedikit penghasilannya, kiriman2 dia menjadi makin bernilai…

Ketika aku menerima kiriman oleh2 itu, sering aku teringat kepada komentar tetangga kami pada hari ia pulang ketika pertama kali datang. “Ehhh, kau terima dia bermalam ya, orang yang luar biasa jelek menjijikkan mukanya itu? Tadi malam ia kutolak. Waduhh, celaka dehh.., kita kan bakal kehilangan langganan kalau nerima orang macam gitu!” Oh ya, memang boleh jadi kita kehilangan satu dua tamu. Tapi seandainya mereka sempat mengenalnya,mungkin penyakit mereka bakal jadi akan lebih mudah untuk dipikul.

Aku tahu kami sekeluarga akan selalu bersyukur, sempat dan telah mengenalnya; dari dia kami belajar apa artinya menerima yang buruk tanpa mengeluh, dan yang baik dengan bersyukur kepada Allah.

Baru2 ini aku mengunjungi seorang teman yang punya rumah kaca. Ketika ia menunjukkan tanaman2 bunganya, kami sampai pada satu Tanaman krisantemum yang paling cantik dari semuanya, lebat penuh tertutup bunga berwarna kuning emas. Tapi aku jadi heran sekali, melihat ia tertanam dalam sebuah ember tua, sudah penyok berkarat pula. Dalam hati aku berkata, “Kalau ini tanamanku, pastilah sudah akan kutanam didalam bejana terindah yang kumiliki.” Tapi temanku merubah cara pikirku. “Ahh, aku sedang kekurangan pot saat itu,” ia coba terangkan, “dan tahu ini bakal cantik sekali, aku pikir tidak apalah sementara aku pakai ember loak ini. Toh cuma buat sebentar saja, sampai aku bisa menanamnya ditaman.”

Ia pastilah ter-heran2 sendiri melihat aku tertawa begitu gembira, tapi aku membayangkan kejadian dan skenario seperti itu disurga. “Hah, yang ini luar biasa bagusnya,” mungkin begitulah kata Allah saat Ia sampai pada jiwa nelayan tua baik hati itu.” Ia pastilah tidak akan keberatan memulai dulu didalam badan kecil ini.” Semua ini sudah lama terjadi, dulu — dan kini, didalam taman Allah, betapa tinggi mestinya berdirinya jiwa manis baik ini.

“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang didepan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1 Samuel 16:7b)

Pada masa-masa susah di sebuah kota kecil Idaho, saya suka mengunjungi toko kecil di tepi jalan milik Mr Miller yang menyediakan produk segar hasil pertanian.Makanan dan uang cukup langka pada waktu itu…dan jual beli dilakukan dengan cara tukar menukar barang.

Satu hari, Mr Miller sedang mengepak kentang-kentang yang saya beli ketika tidak sengaja saya melihat seorang anak yang kecil kurus kelaparan, compang-camping tetapi bersih, nampak sedang memilih-milih kacang polong segar yang baru dipetik di keranjang. Saya membayar untuk kentang-kentang saya sambil ikut tertarik pada kacang polong tersebut.
Saya adalah penjual kentang dan krim kacang.Saat menimbang kacang polong, tanpa sadari, saya ikut mendengarkan pembicaraan mereka.

“Halo Barry, bagaimana kabarmu hari ini?” tanya si pemilik toko.

‘Halo, Mr Miller. Saya baik, terima kasih ya. Saya cuma mengagumi kacang polong ini….tampak segar dan bagus-bagus”

“Itu memang bagus Barry. Bagaimana dengan ibu kamu? ”

“Oh… dia membaik, dan nampak semakin kuat.”

“Bagus. Apa ada yang bisa saya bantu? ”

“Tidak, Sir. saya cuma mengagumi kacang polong ini. ”

‘Apakah kamu ingin beberapa untuk di bawa pulang?” kata Mr Miller.

“Tidak, Sir. Saya tidak ada uang untuk membayar. ”

“Jika begitu, apa kamu punya sesuatu sebagai penukar?”

“Saya hanya punya beberapa kelereng hadiah.”

“Apakah itu benar? Coba kulihat “kata Mr Miller. “Ini .. bagus. ”
“Aku bisa melihatnya. Hmm sayang warnanya biru sedang saya mencari warna merah.
Apakah kamu memilikinya seperti ini di rumah? ”

“Tidak persis tapi hampir sama. ”

‘Begini saja. Ambil saja dulu kacang polong ini, dan lain kali, kamu bawa kelereng kamu yang merah’ kata Mr Miller kepada anak itu.

“Tentu. Terima kasih Mr Miller. ”

Ny Miller, yang sedang berdiri tidak jauh, datang untuk membantu saya. Dengan tersenyum dia berkata,”Ada dua anak laki-laki lain seperti dia di komunitas kami, ketiganya sama-sama sangat miskin.Jim suka tawar-menawar dengan mereka untuk kacang polong, apel, tomat, atau apa pun.Jika mereka kembali dengan warna yang diminta, Jim akan berkata bahwa dia sudah tidak mencari warna tersebut dan akan menanyakan warna lainnya. Tetapi Jim tetap memberikan apa saja yang mereka ingin tukarkan.”

Saya meninggalkan toko sambil tersenyum sendiri, terkesan dengan orang ini.Beberapa waktu kemudian saya pindah ke Colorado, tapi saya tidak pernah lupa kisah tentang orang ini,anak-anak, dan cara barter mereka.

Beberapa tahun berlalu dengan cepat. Baru-baru ini saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi beberapa teman lama di komunitas Idaho dan mendengar bahwa Mr Miller meninggal dunia.Teman-teman saya berencana untuk berkunjung sore itu dan saya sepakat untuk ikut.

Saat tiba di tempat jenasah disemayamkan, kita menemui keluarga almarhum untuk menyampaikan bela sungkawa dan kata-kata penghiburan.Di depan kami, nampak tiga orang muda. Salah satunya mengenakan seragam tentara dan dua lainnya berpotongan rambut bagus, setelan gelap dan kemeja putih … semua tampak sangat profesional.

Mereka semua menghampiri Mrs Miller dan berdiri disampingnya sambil tersenyum kepada jenasah Mr Miller di dalam peti mati.
Setiap pemuda memeluknya, mencium pipi, bicara singkat dengannya dan pindah kepeti mati, dengan mata berkaca-kaca, satu per satu,masing-masing pemuda berhenti sebentar dan meletakkan tangan mereka di atas tangan yang pucat dingin di peti mati.
Satu persatu meninggalkan tempat itu sambil menyeka mata.

Giliran kami datang menemui Ny Miller. Saya bilang padanya siapa saya dan mengingatkannya pada kisah dari tahun-tahun yang lalu dan ketika ia bercerita tentang suaminya yang suka berbarter untuk kelereng.Dengan mata berkaca-kaca, dia meraih tanganku dan membawa saya ke peti mati.

“Mereka tiga pemuda yang baru saja meninggalkan adalah anak laki-laki yang kuceritakan dulu.Mereka hanya mengatakan kepada saya bagaimana mereka menghargai hal-hal yang Jim ‘perdagangkan’ pada mereka. Sekarang, pada akhirnya, ketika Jim sudah tidak bisa lagi meminta warna atau ukuran kelereng mereka datang untuk membayar utang mereka. ”

‘Kami tidak pernah memiliki banyak kekayaan di dunia ini, “ia mengaku,” tapi sekarang, Jim akan menganggap dirinya orang terkaya di Idaho..’ Dengan lembut, dia mengangkat jari-jari almarhum suaminya.Nampak disitu tiga buah kelereng warna merah yang bersinar indah.

*Moral:*
*Orang mungkin tidak bisa mengingat semua perkataan kita, tetapi akan mengingat
segala perbuatan baik kita.
Hidup ini tidak diukur oleh nafas yang kita habiskan, tetapi oleh waktu yang
kita habiskan untuk bernafas.

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk
Tuhan dan bukan untuk manusia.

Menutup bulan keluarga pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2016 sekaligus memperingati hari Reformasi,seluruh jemaat GMIT Agape melangsungkan ibadah pada pukul 18.00-19.30 Wita.

 

“Kasih Itu Panjang Sabar ” merupakan tema khotbah yang disampaikan oleh Pdt.Agnes Ina,S.Th pada kebaktian minggu terakhir bulan keluarga.Pada ibadah ini,pasangan suami istri yang hadir diberi kesempatan untuk mengungkapkan kasih sayang dengan moment pemberian souvenir bagi suami-suami berupa gantungan kunci,yang diberikan langsung oleh para istri mereka.