header image
 

All posts in October 12th, 2016

Bacaan : Lukas 8 : 4-15

Benih adalah firman.Tanah adalah kondisi hati,tempat benih tersebut jatuh.Ada 4 jenis tanah (hati),tempat benih bertumbuh dalam perumpamaan yang dipakai Tuhan Yesus dalam bacaan diatas :

1.Benih yang jatuh dipinggir jalan,adalah orang yang mendengar firman Tuhan,tetapi iblis datang dan mengambilnya dari hati mereka (Matius 4 : 19).Karena tidak mengertinya manusia,maka iblis datang dan merampasnya.Inilah intinya,yaitu mengerti akan firman Tuhan tersebut.Mengerti dengan cara apa ? Yaitu dengan mendengarkan (Lukas 8 : 18).

2.Benih yang jatuh ditanah yang berbatu (ayat 13),yaitu orang yang mendengar firman,menerimanya dengan gembira tetapi tidak berakar.Dalam artian menerima firman Tuhan berdasarkan emosi/kondisi hati saja (ada guyon/lelucon dsb nya),ia percaya sebentar saja,dan kemudian dalam masa pencobaan menjadi murtad.

3.Benih yang jatuh di semak duri,yaitu orang yang terhimpit oleh kekuatiran,kekayaan dan kenikmatan hidup,sehingga tidak menghasilkan buah yang matang.Ada beberapa tipe orang seperti ini :

a.orang yang sibuk bekerja dan terlalu kuatir dengan hidupnya

b.orang yang ingin kaya

c.orang yang terjerat dengan kesenangan hidup

Ketiga tipe orang diatas,pada akhirnya hanya akan mengabaikan Tuhan dan firman-Nya.

4..Benih yang jatuh ditanah yang baik,yaitu orang yang menyambut dan mendengar dengan sungguh-sungguh firman tersebut,mengerti,dan menyimpannya dalam hati dengan baik sehingga berbuah berkali-kali lipat ( Markus 4 : 20, Matius 13 : 23)

Jika kita simpulkan,ternyata yang penting agar hati kita menjadi tanah yang baik tempat benih firman Tuhan bertumbuh dan menghasilkan buah yang matang berkali-kali lipat adalah mengerti firman Tuhan yang disampaikan.Mari,kita mohon penyertaan Tuhan agar dimampukan untuk mengerti firman-Nya.Amin.

Khotbah Pdt.Esra A.Soru S.Th,MPdK pada ibadah Komisi Wanita 5 Oktober 2016

Wahyu 21:21
“Jalan-jalan kota itu dari emas murni bagaikan kaca bening.”

 

Suatu hari seorang penambang menemukan emas dalam jumlah yang sangat banyak. Tanpa berpikir lama, emas-emas batangan tersebut dimasukan dalam sebuah tas. Setiap hari kemanapun dia pergi, tas tersebut selalu ditentengnya hingga dia meninggal dan sudah masuk ke surga. Saat penambang itu tiba di tempat barunya itu, seorang malaikat bertanya mengapa ia membawa aspal. “Ini bukan aspal,” jelasnya, “Ini emas.” Sang Malaikat menanggapi perkataan manusia itu dengan berkata, “Di bumi, benda itu memang disebut emas, tetapi disini, di surga, kami memakainya untuk mengeraskan jalan-jalan.”

Kisah diatas memang hanya sebuah lelucon. Namun, cerita ini mengajak kita berpikir tentang apa yang kita anggap berharga, dan apa yang benar-benar berharga bagi Allah.

Dalam Wahyu 21, digambarkan bagaimana jalan-jalan di surga adalah “emas murni bagaikan kaca bening” (ayat 21). Di dunia, kita bisa menilai emas sebagai logam yang paling berharga dan menjadikannya sebagai harta milik kita yang paling berharga. Namun di surga, kita berjalan di atas emas. Sungguh kontras!

Benda apa yang Anda anggap berharga di bumi ini? Saham, rekening bank. Kekaguman dan kemasyuran diri sendiri; itu semua tidak dinilai tinggi di surga. Bila tiba waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal di bumi, nilai apakah yang masih tertinggal pada barang-barang tersebut?

Ingat, kekayaan sejati hanya ada di surga. Harta benda duniawi yang Anda miliki saat ini sifatnya hanyalah sementara.

Mereka yang menyimpan harta di surga adalah orang-orang terkaya di bumi.

Sumber: Kingdom Magazine Edisi Oktober 2009

Matius 25:23
Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.
Cerita kesetiaan seekor anjing pada tuannya seringkali menyentuh hati. Di Jepang ada legenda seekor anjing yang setia menemani tuannya, Prof. Dr. Elisaburo Ueno, guru besar di Universitas Tokyo. Awalnya, Hachiko, anjing itu diajak mengantar dan menjemput tuannya di sebuah stasiun kereta api. Setiap hari, Hachiko selalu menunggu dengan setia kedatangan profesor. Suatu saat, tahun 1925, sang profesor tidak muncul di stasiun kereta karena meninggal di tempat mengajar. Namun Hachiko, dengan kesetiaan luar biasa tetap menanti hingga tengah malam. Keesokannya, lusa, dan bahkan dikisahkan seterusnya selama 10 tahun, ia terus menunggu. Suatu saat, Hachiko tertabrak dan mati seketika. Kisah ini sangat mengharukan masyarakat Jepang sehingga mereka mengabadikannya dengan mendirikan patung anjing.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah ini? Matius 25:23 adalah gambaran kerinduan Allah akan kesetiaan anak-anak-Nya. Kesetiaan yang bukan didasari oleh motivasi yang salah misalnya ingin berkat, tetapi murni karena mengasihi Allah. Allah tidak mengidentifikasikan hamba yang setia sebagai orang serba bisa dalam pekerjaannya, tapi lebih kepada kesetiaan atau ketekunan seorang hamba dalam melayani karena kasih. Sudahkah anda setia atas apa yang Allah percayakan kepada anda dengan alasan yang benar? Setialah pada hal kecil agar dipercaya Allah untuk perkara yang besar.

HIDUP MENGHASILKAN BUAH

(Yohanes 15:1-8)

Murid-murid sangat memahami sekali ketika Yesus mengatakan relasi mereka seperti pokok anggur dan ranting, yaitu relasi yang begitu dekat dan begitu dalam. Terlebih lagi ketika Yesus berkata “Tinggalah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.” Dalam bahasa aslinya yaitu Yunani, kata “tinggal” diucapkan sebagai sebuah perintah. Perintah ini bukan hanya dipenuhi untuk sekali perbuatan saja. Tetapi tinggal dalam bagian ini memiliki arti konstan/terus-menerus, yaitu dalam setiap momen seseorang memiliki keputusan untuk selalu tinggal di dalam Kristus. Hal ini bukan bersifat pasif, yang duduk dan tinggal saja. Tetapi kehidupan yang tinggal di dalam Kristus itu aktif melakukan banyak hal.

Yesus berkata, “kalau kamu tinggal di dalam Aku, maka kamu akan berbuah. Jika tidak tinggal di dalam Aku, maka kamu tidak akan berbuah.” Pernyataan ini sangat jelas menunjukkan bahwa tidak ada buah yang dapat dihasilkan jikalau seseorang tidak tinggal di dalam Kristus. Seperti tanaman anggur, jika rantingnya tidak melekat pada pokoknya, apakah dapat berbuah? Jawabannya adalah tidak. Keduanya harus menempel, melekat satu dengan yang lain, baru ranting itu akan berbuah. Adalah suatu hal yang aneh jikalau dikatakan ranting bisa berbuah sendiri tanpa perlu pokoknya, yaitu tidak tinggal pada pokoknya. Rasanya juga aneh jikalau orang percaya rindu untuk berbuah, tetapi hidupnya tidak tinggal di dalam Kristus. Oleh karena itu, ranting tidak akan bisa eksis sendirian, untuk menghasilkan buah butuh pokok anggur yang baik. Dapat dikatakan bahwa tugas utama dari ranting adalah untuk berbuah dan hanya berbuah. Demikan pula dengan orang percaya, tugas utama kita sebagai ranting adalah menghasilkan buah. Bagaimana dapat menghasilkan buah itu? Satu-satunya cara adalah dengan tinggal di dalam Kristus, melekat kepada Kristus saja.

Sebagai murid Kristus sejati, hidup yang berbuah menjadi suatu harga mati yang tidak dapat ditolak. Seorang pengkhotbah besar bernama Paul Washer berkata demikian, “Adalah sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal untuk berkata bahwa kamu adalah seorang murid Yesus Kristus tetapi tidak menghasilkan buah dari Yesus Kristus.” Seorang murid Kristus sudah seharusnya hidup menghasilkan buah dan buah itu bisa dilihat, buah itu nyata di dalam diri seseorang. Sehingga buah yang dihasilkan membawa perubahan hidup di dalam diri orang tersebut dan dapat menjadi berkat bagi banyak orang. Sampai pada berbuah, seseorang harus ingat untuk tetap tinggal di dalam Kristus saja. Tinggal dan berbuah. Apakah bisa berbuah tanpa tinggal? Tidak bisa, oleh karena itu “tinggal dan berbuah.”

Sebuah tanda yang nyata seseorang berbuah yaitu adanya kehidupan yang mau untuk diubah oleh Kristus. Kehidupan yang diubah ini menuju satu tujuan, yaitu keserupaan dengan Kristus. Kehidupan yang seperti ini seharusnya kita bangun dengan selalu “tinggal” di dalam Kristus.                                                                Ringkasan Khotbah: Sdr. Lucas Suryawan Hermanus