header image
 

All posts in February 25th, 2016

Kesempatan Kedua

Filemon 1 : 1-25

kesempatan kedua

Oleh : Ev.Ellen Amalo,S.Pd.K

Pendahuluan :

Tidak semua orang mendapatkan kesempatan kedua.Apa itu kesempatan kedua ? Mengapa disebut  kedua? Mengapa bisa ada kesempatan kedua?

Belajar dari surat Filemon

Surat Filemon adalh surat pribadi dari Paulus kepada filemon,tetapi disampaikan kepada beberapa orang,bukan hanya kepada Filemon.Isi surat mengarah kepada Filemon secara pribadi,akan tetapi di alamat surat tertulis bukan hanya kepada Filemon tetapi juga kepada Apfia (diperkirakan sebagai istri Filemon),Arkhipus dan jemaat dirumah Filemon.Bahkan surat ini juga bukan dari Paulus saja secara pribadi,tetapi Paulus dan Timotius.

Permintaan Paulus kepada Filemon untuk memberikan kepada Onesimus kesempatan kedua,juga sebenarnya merupakan kesempatan kedua juga bagi Filemon untuk mengubah pandangannya terhadap hambanya itu.

Dalam surat-surat Paulus dia menenkankan tentang keseimbangan hidup tuan dan hamba.Seorang tuan harus menjadi tuan yang baik dan sebagai hamba harus menempatkan diri sebagai hamba yang baik.Ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang tidak menghargai hamba atau pelayan.

Filemon diberi kesempatan untuk mengampuni Onesimus (ayat 10),dan menerima kembali Onesimus sebagai hambanya.Paulus mengajak Filemon untuk berbagi hidup dengan Onesimus.Atau dengan orang lain sebagai bukti pertumbuhan imannya kepada Tuhan.Jadi dalam persekutuan,bukan saja berbagi barang atau uang atau sesuatu yang berharga,tetapi juga diajarkan tentang berbagi hidup ini.

Hidup lebih penting dari apapun yang ada (makanan,pakaian dan sebagainya),jadi harus kita ingat bahwa kebutuhan utama kita bukan saja makanan,minuman,pakaian dan berbagai fasilitas lainnya.Seperti halnya yang ditunjukkan oleh Yesus,Dia bukan hanya berbagi lewat memberikan makan,memberikan kesembuhan sampai kebangkitan,tetapi Dia juga berbagi hidupnya bagi dunia.

Pada saat yang sama Onesimus juga diberi kesempatan kedua untuk megubah hidupnya,untuk bertobat dan menunjukkan integritas dirinya didepan Filemon sang tuan.

Khotbah pada ibadah rutin Komisi Wanita,Rabu 24 Februari 2016

Tahukah Anda cerita di balik terciptanya sajak “FOOTPRINTS“. Sajak itu telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Namun tidak banyak orang mengetahui siapa pengarang sajak itu. Juga tidak banyak orang tahu apa latar belakang lahirnya sajak itu. Lebih-lebih lagi tidak banyak orang tahu bahwa sajak yang berjudul “Jejak” (aslinya : “Footprints“) sebenarnya adalah buah pena masa berpacaran di suatu senja di tepi danau.
Pengarang sajak itu adalah Margaret Fishback, seorang guru sekolah dasar Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Margaret sangat pendek dan kecil untuk ukuran orang Kanada. Tinggi badannya hanya 147 cm. Tubuhnya ramping dan wajahnya halus seperti anak kecil. Karena itu walaupun ia sudah dewasa dan sudah menjadi ibu guru ia sering diberi karcis untuk anak-anak kalau berdiri di depan loket atau kalau naik bis. Margaret dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana hangat dan penuh kasih.

Namun ada beberapa peristiwa yang terasa pahit dalam kenangan masa kecilnya. Yang pertama adalah pengalamannya ketika ia menjadi murid kelas satu sekolah dasar. Ia mempunyai kenangan buruk tentang gurunya.Margaret berlogat Jerman karena ayahnya berasal dari Jerman. Lalu tiap kali Margaret melafalkan sebuah kata Bahasa Inggris dengan logat Jerman, jari-jari tangannya langsung dipukul oleh gurunya dengan sebuah tongkat kayu. Tiap hari jari-jari tangan Margaret memar kemerah-merahan. “Jangan bicara dengan logat Jerman. Pakai logat yang betul, kalau tidak … !”

Itulah ancaman dan amarah yang didengar Margaret setiap hari. Dan ia sungguh takut. “Tiap hari aku berangkat ke sekolah dihantui oleh rasa takut. Aku heran mengapa aku dimarahi. Apa salahku ? Apa salahnya orang berbicara dengan logat Jerman ? Baru kemudian hari aku tahu bahwa pada waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia II, sehingga orang Jerman dibenci di Amerika dan Kanada,” ucap Margaret mengenang masa kecilnya.

Kenangan pahit lain yang diingat Margaret adalah tentang dua teman perempuannya di kelasnya. “Aku akrab dengan semua teman dan mereka senang bermain dengan aku, kecuali dua orang teman perempuan yang kebetulan berbadan besar.

Kedua teman itu sering menjahati aku. Untung ada seorang teman laki-laki yang selalu melindungi aku. Namun pada suatu hari teman laki-laki itu tidak masuk ke sekolah. Lalu kedua teman perempuan yang berbadan besar itu menjatuhkan aku dan duduk di atas perutku sambil menggelitiki aku.Aku kehabisan nafas. Untung tiba-tiba ada orang yang lewat sehingga aku dilepas. Langsung aku lari ketakutan sampai aku jatuh dan pingsan. Selama beberapa hari aku terbaring sakit. Tetapi yang lebih parah lagi, selama beberapa bulan aku ketakutan,” kenang Margaret. Juga tentang masa dewasanya Margaret mempunyai pengalaman yang menakutkan. Pada suatu siang yang bercuaca buruk, ketika ia sedang mengajar di kelas, tiba-tiba jendela terbuka dan petir menyambar sekujur tubuh Margaret. Ia jatuh terpental di lantai. Setelah dirawat di rumah sakit, ia tetap mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan.

Urat syarafnya terganggu sehingga ia sering bergetar. Bukan mustahil semua pengalaman buruk itu turut mewarnai lahirnya sajak “Jejak” ini, yang dikarang oleh Margaret ketika ia sudah mempunyai tunangan yang bernama Paul. Hari itu Margaret dan Paul berangkat menuju suatu tempat perkemahan di utara Toronto untuk memimpin retret. Di tengah perjalanan, mereka melewati danau Echo yang indah.”Mari kita jalan di pantai,” usul Margaret.

Dengan semangat mereka melepaskan sepatu lalu berjalan bergandengan tangan di pantai pasir. Ketika mereka kembali dan berjalan ke arah mobil mereka, dengan jelas mereka mengenali dua pasang jejak kaki mereka dipasir pantai. Namun di tempat-tempat tertentu gelombang air telah menghapus satu pasang jejak itu. “Hai Paul, lihat, jejak kakiku hilang,”seru Margaret.

“Itukah mungkin yang akan terjadi dalam impian pernikahan kita? Semua cita-cita kita mungkin akan lenyap disapu gelombang air,” lirih Margaret. “Jangan berpikir begitu,” protes Paul. “Aku malah melihat lambang yang indah. Setelah kita menikah, yang semula dua akanmenjadi satu. Lihat itu, di situ jejak kaki kita masih ada lengkap dua pasang.” Mereka berjalan terus. “Paul, lihat, di sini jejakku hilang lagi.” Paul menatap Margaret dengan tajam, “Margie jalan hidup kita dipelihara Tuhan. Pada saat yang susah, ketika kita sendiri tidak bisa berjalan, nanti Tuhan akan mengangkat kita. Seperti begini…” Lalu Paul mengangkat Margaret yang bertubuh kecil dan ringan itu dan memutar-mutarnya.

Malam itu setibanya mereka di tempat retret, Margaret yang adalah pengarang kawakan menggoreskan pena dan menuangkan ilham pengalamannya tadi di pantai. Kalimat demi kalimat mengalir. Dicoretnya sebuah kalimat, diubahnya kalimat yang lain. Ia berpikir, menulis, termenung, mencoret, menulis lagi, termenung lagi, mencoret lagi… Seolah-olahbermimpi, dalam imajinasinya ia merasa berjalan bersama dengan Tuhan Yesus di tepi pantai. Ketika berjalan kembali ia melihat dua pasang jejak kaki, satu pasang jejaknya sendiri dan satu pasang jejak Tuhan.Tetapi… dan seterusnya. Margaret melihat lonceng. Pukul 3 pagi ! Cepat-cepat diselesaikannya tulisannya, lalu ia tidur.

Keesokan harinya, begitu bangun, ia langsung membaca ulang tulisannya. Ah, belum ada judulnya. Margaret berpikir sejenak lalu membubuhkan judul “Aku Bermimpi”. Ia mengubah beberapa kata dan kalimat. Dan lahirlah sajak yang sekarang kita kenal dengan judul “Jejak“.

Pada hari itu juga dalam kebaktian, sajak itu dibacakan Paul. Paul berkata, “… ada saat di mana kita merasa seolah-olah Tuhan meninggalkan kita. Musibah menimpa kita dan jalan hidup kita begitu sulit. Kita bertanya mengapa Tuhan tidak menolong kita. Sebenarnya Tuhansedang menolong kita. Tuhan sedang mengangkat kita.”

Lalu Paul membacakan sajak karya Margaret :

—————–
One night I dreamed a dream. I was walking along the beach with my Lord.

Across the dark sky flashed scenes from my life.

For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand, One belong to me and one to my Lord.

When the last scene of my life shot before me, I looked back at the footprints in the sand.

There was only one set of footprints.

I realized that this was the lowest and the saddest times of my life.

This always bothered me and I questioned the Lord about my dilemma. “Lord, You told me when I decided to follow, You would walk and talk with me all the way. But I’m aware that during the most troublesome times of my life, There is only one set of footprints. I just don’t understand why, when I need You most, You leave me.”

He whispered, “My precious child, I love you and will never leave you never, ever, during your trials and testings. When you saw only one set of footprints, It was then that I carried you.”
—————–

Seluruh peserta retret duduk terpaku mendengarnya. Mereka termenung menyimak kedalaman arti yang terkandung sajak itu. Sekarang pun tiap orang termenung setiap kali membaca sajak itu. Sajak itu mengajak kita menelusuri perjalanan hidup kita.

Dalam perjalanan itu telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi pada saat-saat dimana musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta berbahaya, ternyata yang tampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kaki kita tidak tampak, padahal telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas.

Mana telapak kaki kita ? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada saat-saat seperti itu kita sedang diangkat dan digendong Tuhan.