header image
 

All posts in October 19th, 2015

YANG DIPERSATUKAN ALLAH

Bacaan Firman Tuhan: Markus 10: 2-16

“Sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” – Markus 10: 8

Tentang pernikahan, Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Sebab Tuhanlah yang mempersatukan laki-laki dan perempuan menjadi satu daging, maka tidak ada hak siapapun untuk menceraikan yang telah dipersatukan Allah.

Jika ada yang mau bercerai, itu artinya dia telah menentang keputusan Allah atas hidupnya.

Ikatan pernikahan yang dibuat oleh Tuhan tidak hanya sebatas pada satu daging, tetapi juga kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Maka kesatuan dalam pernikahan yang dibentuk oleh Allah pada hakikatnya juga satu dalam iman, kasih, kesetiaan, pergumulan dan sukacita. Maka orang Kristen tidak dapat memandang ikatan pernikahan hanya sebatas pada ikatan daging saja.

Nas firman Tuhan ini ingin mengingatkan kita kembali ketika menerima pemberkatan pernikahan. Dari sekian lama waktu yang sudah berlalu, kita patut merenungkan kembali “hal-hal apakah yang telah terjadi ditengah-tengah kehidupan pernikahan kita?” dan “apa hasil perenungan kita dari sekian lama kita telah membangun rumah tangga dengan pasangan kita”.

Dari nas ini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya masalah “perceraian” sudah sejak lama ada. Namun yang mungkin membedakannya adalah penyebab perceraian pada jaman kita saat ini sudah lebih kompleks. Bisa itu terjadi karena tidak sehati sepikiran, ekonomi, keturunan, nafsu, dan sebagainya. Tetapi apapun alasan yang mungkin dapat dikemukakan, tetap Allah tidak dapat menerima perceraian.

Mengapa bisa muncul perceraian? Satu hal yang sangat mendasar yang harus dipahami adalah motivasi seseorang atau pasangan yang hendak menikah. Ketika pernikahan itu dilandaskan oleh keinginan daging, maka besar kemungkinan pernikahan itu akan menuju titik buntu. Tetapi hanya ada satu motivasi pernikahan yang dapat membuat pernikahan mendapat berkat Tuhan, yakni ketika pasangan menyadari bahwa pernikahan itu adalah untuk memenuhi kehendak Tuhan bukan kehendak pribadi atau manusia. Kasih kepada pasangan hidup terjalin adalah karena kasih kita kepada Allah.

Selanjutnya, Tuhan Yesus juga mengajar tentang anak-anak. Dia mengatakan: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka”. Berbicara tentang pernikahan, maka kita juga akan berbicara tentang anak sebagai buah pernikahan. Kekudusan pernikahan itu sendiri akan secara otomatis pasti juga akan tersalur kepada anak.

Tetapi sebaliknya, pernikahan yang tidak melandaskan motivasi yang benar dapat berpengaruh dalam hal pengajaran kepada anak. Pernikahan yang tidak mengenal kasih dan kesetiaan pada Tuhan dapat menjadi penghalang bagi anak untuk datang kepada Yesus. Maka mau kemana kita membawa anak kita? Membawa pada kehidupan atau kematian? 

Dalam perjalanan pernikahan yang terbentuk, akan ada banyak pengalaman-pengalaman hidup yang silih berganti dapat dialami. Namun ketika berhadapan pada masalah hidup yang sesulit apapun tidak akan pernah ada niat untuk “bercerai” ketika kita menyadari bahwa Tuhanlah yang mempersatukan dan mengikat kita dalam pernikahan. Justru keluarga akan menjadi wadah dimana kita akan semakin mengenal Tuhan dalam setiap persoalan hidup yang kita lalui.

Disadur dari Khotbah dan Renungan Kristen

PERUMPAMAAN “ANAK YANG HILANG”

Lukas 15:11-32; Bacaan Mazmur 63:1-8
Adalah suatu kebahagiaan tersendiri jika ada suatu benda yang sudah lama hilang dan akhirnya kita temukan kembali. Terlebih lagi jika ada keluarga atau saudara kita yang hilang beberapa lama karena perbuatan dosanya,namun ia kembali lagi dengan pertobatan  dan menyesali perbuatannya yang salah.Adalah sungguh merupakan sukacita tersendiri yang tidak ternilai dalam kehidupan kita. Ilustrasi seperti itulah yang ingin ditegaskan oleh Tuhan Yesus ketika Ia mengilustrasikan mengenai domba, dirham dan anak yang hilang. Tuhan Yesus ingin memperlihatkan bahwa betapa bersukacitanya Allah ketika manusia itu berbalik dari dosa-dosanya.

Hal ini disampaikan oleh Tuhan Yesus ketika orang-orang Farisi dan ahli Taurat bersungut-sungut: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka” (15:1). Dalam perumpamaan Tuhan Yesus tentang anak yang hilang, ingin menjelaskan hakikat daripada dosa itu sendiri dan ingin memperlihatkan kepada orang Farisi bahwa Yesus tidak membenarkan perbuatan dosa dalam hidup manusia walaupun sering duduk bersama dengan orang-orang berdosa. Dari perumpamaan ini Yesus menegaskan bahwa dosa akan membuat manusia itu sengsara dan Allah dengan penuh kasih akan menerima orang berdosa itu kembali.

Dalam perumpamaan anak yang hilang ada tiga tokoh yag menonjol, yaitu: Anak Sulung, Bapa dan Anak Bungsu. Jika kita menghubungkan cerita ini dengan konteks ketika Yesus menyampaikan perumpamaan ini, maka Anak sulung adalah gambaran dari orang Farisi dan ahli taurat; Bapa gambaran dari Allah; Anak Bungsu adalah orang-orang yang berdosa. Sungut-sungut orang farisi dan pemungut cukai itu adalah bentuk kemarahan anak sulung karena ketidak senangannya atas tindakan bapanya yang menerima si bungsu kembali.

Mari kita lihat beberapa refleksi dari perumpamaan ini.

  1. Allah sungguh mengasihi segala yang telah diciptakanNya.

Kita ingin di hantarkan pada suatu pengertian bahwa Allah adalah kasih. Tuhan tidak menginginkan segala yang diciptakanNya itu hilang. Allah akan senantiasa menanti kembalinya kita kepadaNya. Sejauh mana kita pergi meninggalkan Tuhan, namun Ia akan senantiasa menantikan kepulangan kita, itulah kasih setia Tuhan.

  1. Dampak dari perbuatan dosa

Setelah kepergian anak bungsu membawa bahagian harta yang menjadi haknya dan dari kisah perjalanan kehidupanNya mencerminkan kehidupan manusia yang jatuh kedalam dosa sungguh amat mengerikan. Bagi orang yang berpikiran pendek memang sungguh enak hidup dalam dosa dan pada akhirnya dosa itu sendiri akan membinasakan kita secara perlahan-lahan. Godaan dosa itu memang menggiurkan namun pada hakikatnya adalah mematikan.

  1. Pintu pertobatan terbuka lebar

Sejauh manapun kita jatuh kedalam dosa, namun Allah tetap menerima kita kembali. Perubahan hidup dari anak bungsu itu adalah ketika “ia menyadari keadaannya” (ayat 17). Dia masih mengenal bapanya yang begitu baik dan penuh kasih, ia yakin bahwa bapanya akan menerima ia kembali serendah-rendahnya menjadi seorang upahan bapanya, karena juga mengetahui bahwa pekerja upahan bapanya saja tidak diperlakukan seperti yang dia rasakan. Kesadaran itulah yang membawa ia mendapatkan hidup yang baru. Maka sadarlah selama Allah berkenan menantikan engkau.

  1. Menyadari posisi hidup

Ada dua gambaran hidup yang diperlihatkan oleh perumpamaan ini yaitu pribadi anak bungsu dan anak sulung. Kedua anak itu mau jauh ataupun dekat dengan bapanya, namun yang pasti keduanya sama-sama tetap rentan untuk jatuh ke dalam dosa. Sehingga yang menjadi kuncinya adalah kita “menyadari kasih Allah”. Walaupun kita dekat dengan Allah, namun jika kita tidak menyadari kasih Allah maka kedekatan kita itu akan sia-sia. Sebab sikap orang yang telah dekat dengan Allah adalah semakin serupa dengan Allah yaitu mengasihi. Sementara yang jauh dari Allah, pintu masih terbuka lebar untuk kembaliNya kita kepadaNya. Sejauh manapun kita lari dari Tuhan, pada akhirnya kita akan dipanggil kehadapanNya untuk mendapatkan penghakiman.

Disadur dari Khotbah dan Renungan Kristen

BAPA SEBAGAI RAJA

“Ketika saat kematian Daud mendekat, ia berpesan (charged / commanded) kepada Salomo, anaknya” [ I Raja-Raja 2:1].

Kata yang perlu diperhatikan dari ayat diatas adalah berpesan. Terjemahan harafiahnya lebih tepat adalah charged atau commanded, yaitu memberi perintah. Setiap perkataan Daud sebagai Raja Israel memang bersifat memerintah, dalam arti mengandung otoritas dan harus ditaati oleh seluruh Israel. Tetapi kita akan melihat ayat ini dari sudut yang lain, yaitu dari sudut hubungan Daud dan Salomo sebagai bapa dengan anaknya. Daud sebagai bapa juga mempunyai otoritas untuk memberi perintah kepada Salomo sebagai anaknya. Pada ayat selanjutnya, kita lihat perintah pertama Daud untuk anaknya yaitu agar Salomo melakukan kewajibannya dengan setia kepada Tuhan.

Disini kita lihat bagaimana Daud sebagai bapa menjalankan otoritasnya kepada Salomo dengan memberi perintah. Demikian telah kita lihat juga bahwa Abraham memberi perintah kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya, agar tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan [ Kej. 18:19 ]. Yosua juga menggunakan otoritas atas anak-anak dan seisi rumahnya, dengan membuat pernyataan yang tegas [ Yosua 24:15 ]. Semua ini menunjukkan bahwa seorang bapa harus menjalankan otoritas yang didelegasikan Tuhan padanya, atas anak-anak yang dipercayakan kepadanya.

Tetapi perlu diingat disini bahwa otoritas seorang bapa adalah terhadap anak-anaknya, bukan terhadap pasangannya. Perintah agar seorang isteri tunduk pada suaminya, bukanlah karena suami memiliki otoritas untuk mendidik isterinya, sebagaimana seharusnya ia mendidik anak-anaknya. Seorang isteri tunduk pada suami, semata-mata karena peran isteri adalah sebagai penolong suaminya. Kalau kita menggunakan istilah Raja dan Ratu, maka bapa adalah raja sedangkan ibu adalah ratu, dan secara bersama-sama, mereka didelegasikan otoritas untuk mendidik anak-anaknya.

Bagaimana caranya seorang bapa, dengan bantuan seorang ibu, menjalankan otoritas terhadap anak-anaknya ? Amsal 13:24 menjelaskannya demikian, “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya,…” Kapan tongkat didikan ini harus dikenakan pada seorang anak ? Umumnya, pada usia 3 sampai 6 tahun, seorang anak harus mengalami tongkat didikan berulang-ulang, agar ia mengenal dan mengakui otoritas orang tua, sehingga ia menjadi anak yang penurut. Bapa yang tidak menggunakan tongkat didikan, benci pada anaknya, dalam arti ia membiarkan kebodohan melekat pada anaknya [ Amsal 22:15 ]. Bukan hanya itu, seorang bapa yang tidak menggunakan tongkat, akan menciptakan anak-anak yang tidak mengenal otoritas yang ada pada gurunya di sekolah, pada pemerintahannya mulai dari polisi di jalan sampai presiden, dan yang paling parah adalah pada para pembimbing rohani di gereja yang telah ditetapkan Tuhan baginya. Dapat dipastikan, anak pemberontak ini tidak akan berguna dalam pekerjaan Tuhan.

Tongkat melambangkan otoritas. Anak-anak harus mulai belajar apa itu otoritas sejak masa kecilnya, dan ini dimulai melalui tongkat didikan seorang bapa di rumah. Seorang bapa perlu belajar tegas terhadap anak-anak, bahkan sampai hal-hal yang kecil nampaknya, misalnya film apa saja yang boleh ditonton anak-anak.

Semoga para bapa menyadari bahwa ia adalah raja, dan pasangannya adalah ratu, bagi anak-anaknya.

 

 

Disadur dari E-Artikel