header image
 

All posts in October 1st, 2015

PESAN UNTUK AYAH MASA KINI

Efesus 6:4
Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.

Seorang pria, manager akunting sebuah perusahan, selama berhari-hari menghadapi masalah yang tak tuntas. Pembukuan perusahaan tidak balance. Ia sudah mencari kesalahan di segala sektor. Kepalanya pusing sekali karena beberapa hari lagi akan ada audit yang memeriksa pekerjaannya. Sore itu sang isteri mampir di kantor menitipkan anak mereka yang berusia 6 tahun untuk diantar les kumon sorenya. Pukul 5 petang, pak satpam melihat manager ini keluar kantor menggandeng puteri manisnya. Mereka naik kendaraan umum.

Pak Manager memang mengantar puterinya les kumon, dan menjemput pada waktunya. Pukul 6 tatkala mereka berdua berjalan pulang, anak buah manager ini melaporkan bahwa ada data baru yang ditemukan. Pak manager balik ke kantor, bekerja sampai pukul 10 malam, keluar sejenak untuk membeli makanan….dan pukul 23.15 sang isteri menelepon dengan nada panik, bertanya ke mana mereka ‘berdua’ pergi? “Berdua?” Pak manager lupa sama sekali di mana ia tinggalkan anaknya. Kisah ini untungnya berakhir baik-baik saja, karena anak ini tertidur di pos hansip kosong 500 meter dari kompleks kantor tersebut. Ia ditemukan pukul 3 pagi, sesudah sekelompok satpam, polisi, dan anggota keluarga melakukan pencarian.

Kita mungkin membaca cerita ini dengan komentar: “Kok bisa ya ayah melupakan anaknya seperti itu?” Tapi ada banyak ayah-ayah yang sengaja melupakan anak-anak mereka saat mengejar kepentingannya sendiri yang sering kali sangat egois. Ada yang lupa anak karena punya teman wanita baru atau judi. Ada yang demikian tertelap dalam hobby semacam sepak bola, atau olah raga yang dilakukan dengan gila-gilaan (misalnya main badminton 6 kali seminggu @ 6 jam). Ada yang mengejar uang, kerja keras, dan lain-lain. Saat mereka sibuk dengan aktifitasnya, anak-anak dilupakan.

Hubungan dengan ayah yang baik akan menghasilkan kesan yang sangat mendalam bagi anak. Ayah yang memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, persahabatan, pertolongan, disiplin dan contoh nyata adalah ayah yang memiliki banyak pesan Surgawi untuk sang anak. Yang paling penting, seorang ayah yang mau berdoa bagi anaknya.

Ayah-ayah, jangan lupakan anakmu. Mereka butuh engkau…!

Disadur dari Renungan dan Kesaksian Online

Renungan Ibu: Nilai yang kekal

” Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.”
Matius 4:4

Seperti biasanya, setiap pagi saya mengantar anak saya yang masih TK ke sekolahnya. Karena terburu-buru, dia duduk di sebelah saya dengan masih memegang roti sarapannya yang belum habis dimakan. Terlintas dalam pikiran saya untuk mengingatkannya akan salah satu ucapan Tuhan Yesus dalam Matius 4:4.

Sementara dia menikmati roti di tangannya, saya bercerita bahwa Tuhan Yesus pernah mengatakan sesuatu yang penting buat anak-anakNya, yaitu bahwa hidup ini tidak hanya membutuhkan roti. Yang lebih penting adalah mengerti dan melakukan firman Tuhan sejak masih kecil. Selama beberapa waktu selanjutnya, kami terlibat dalam pembicaraan tentang hal di atas sampai kami tiba di sekolahnya.

Peristiwa di atas terjadi beberapa bulan yang lalu. Namun, akhir-akhir ini ayat di atas terlintas kembali di dalam pikiran saya dan saya merasa terdorong untuk menceritakannya kepada anak-anak. Di tengah-tengah berbagai krisis yang terjadi di negara ini, khususnya krisis ekonomi, nilai-nilai apakah yang sebenarnya bisa diajarkan kepada anak-anak kita? Bisa jadi banyak di antara kita menjadi gamang karena ketidakpastian yang ada. Demi menghadapi semuanya itu, ada pula yang mulai dengan bijaksana mengadakan reformasi bagi segala bentuk pola hidup dan rencana untuk masa depan. Namun bila kita mulai memikirkan tentang anak-anak kita dan menyisihkan waktu untuk mereka, bekal apakah yang akan kita berikan bagi mereka untuk menghadapi dunia ini dan masa depan mereka? Dengan kepastian apakah mereka akan bertumbuh, mempunyai keyakinan diri yang baik, memandang masa depan dengan pengharapan dan menyandarkan hidup mereka?

Perkataan Tuhan Yesus di atas menyadarkan kita bahwa ada suatu nilai yang lebih, yang stabil dan bahkan yang kekal sifatnya yang dapat diberikan kepada anak-anak kita. Dari sekian banyak nilai yang kita jadikan patokan di dalam kehidupan ini, sepertinya inilah saat yang tepat bagi kita untuk benar-benar memilah-milah di antara nilai-nilai yang ada, manakah nilai yang lebih, yang stabil dan kekal yang dapat menjadi pijakan dan bekal yang pasti bagi anak-anak kita. Ada banyak nilai yang ditawarkan: materialisme, prestise, heroik, kesuksesan. Apakah kita akan memilih salah satu dari semuanya itu, ataukah kita akan memilih nilai-nilai firman Tuhan yang membawa manusia berdosa kembali kepada Allah Bapa di surga? Inilah saat yang tepat bagi kita untuk menentukan, melangkah dan memberikan kepada anak-anak kita nilai yang memberi mereka hidup yang sejati. Doa kita, biarlah seluruh malaikat di surga bersorak memuji Allah karena ada anak-anak yang berada di dalam rumah orang-orang yang mengasihi Tuhan berseru, “Tuhan Yesus, Sang Roti Hidup, tinggallah selamanya dalam hatiku, dan jadilah Tuhan dalam hidupku.” Amin.

Diambil dari:

Nama milis : Milis Ayah Bunda
Judul artikel : Renungan Ibu: Nilai yang kekal
Penulis : Ev. Ayny L Susanto, STh

Dipublikasikan di: http://c3i.sabda.org/30/nov/1999/konseling_renungan_ibu_nilai_yang_kekal

 

Disadur dari Renungan Wanita Kristen

HATI YANG MENGAMPUNI

Suatu saat dalam kehidupan ini, kita semua mengalami pengkhianatan yang menyakitkan dari seorang teman; dan juga mengalami rasa sakit dan kekecewaan yang ditinggalkan oleh pengkhianatan itu. Saat hal ini terjadi, wajar apabila kita merasakan gelombang amarah kian meninggi di dalam hati kita. Bahkan, kita mungkin ingin balas dendam. Tidak ada sesuatu pun dari pengalaman ini yang membuat kita nyaman. Pengalaman itu membuat kita merasa gelisah, terganggu, pedih, dan tegang yang disertai dengan dorongan fisik untuk melakukan pembalasan.

Saat semua hal ini terjadi, ingatlah untuk mengambil napas yang dalam dan membiarkan semuanya itu berlalu. Ya, biarkan itu berlalu! Sama seperti Tuhan yang telah berulang kali mengampuni kita untuk semua sikap buruk kita terhadap-Nya, Ia akan membantu menyembuhkan rasa sakit itu dan membersihkan amarah dari hati kita.

Diterjemahkan dari:

Judul buku : Psalms for Women: God`s Gifts of Inner Beauty, Peace, and Happiness
Judul asli artikel : The Forgiving Heart
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Honor Books, Tulsa, Oklahoma 2000

Disadur dari Renungan Wanita Kristen

BUNGA UNTUK SEORANG ATEIS

Suatu kali, seorang Kristen bertanya kepada seorang ateis ketika mereka sedang berjalan bersama melalui padang rumput. Orang Kristen itu bertanya, “Siapa yang menciptakan semua bunga yang indah ini?” Jawab teman ateisnya, “Lupakanlah! Jangan mulai lagi dengan pembicaraan bodohmu mengenai Allah. Bunga itu ada karena tumbuh sendiri.” Orang Kristen itu tidak membantah.

Beberapa hari kemudian, orang Kristen itu diundang oleh teman ateis ke rumahnya. Di ruang tamunya, ada sebuah lukisan bunga yang indah. Teman ateis ini bertanya kepada orang Kristen tersebut, “Siapa yang melukis lukisan ini?” Orang Kristen ini menjawab, “Jangan mulai lagi dengan percakapan sampah tentang agama! Tidak ada seorang pun yang melukis bunga-bunga ini. Mereka ada di lukisan ini karena usaha mereka sendiri. Alam yang membuat bingkai yang berukir ini. Lalu, dengan usahanya sendiri lukisan ini melompat ke tembok, tempat bingkai ini berada, tidak ada seorang pun yang menggerakkan mereka.” Sang ateis menganggapnya sebagai gurauan yang payah. Tetapi, orang Kristen ini bertanya, “Apakah logis memercayai bahwa ketiga bunga di dalam lukisan, yang tidak wangi dan tidak hidup, pasti telah diciptakan oleh seseorang, sementara jutaan bunga yang hidup dengan keharuman di lembah-lembah dan perbukitan tidak diciptakan?”

Allah adalah misteri. Yesus mengajarkan kita untuk berkata: “Bapa kami yang ada di surga,” bukan “Bapa kami yang berjalan di jalanan dan dapat ditemui oleh setiap orang di setiap sudut jalan.” Ia di dalam dunia yang tersamar. Yang paling dapat kita katakan mengenai Dia yaitu, Ia adalah Pribadi yang di atas segalanya, yang tidak dapat dipahami. Akan tetapi, Allah telah menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus, Anak Allah, yang pernah datang ke dunia. Perjanjian Baru mengatakan bahwa kasih Kristus, Anak Allah, begitu besar pada manusia sehingga Ia berdoa untuk para pembunuh-Nya, bahkan ketika Ia menanggung rasa sakit di atas kayu salib. Adalah sukacita terbesar bagi-Nya mengampuni dosa yang terbesar.

Diambil dan disunting dari:

Judul buletin : Kasih Dalam Perbuatan, Edisi Mei — Juni 2009
Penulis : Richard Wurmbrand
Penerbit : Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya 2009
Halaman : 2

 

 

Disadur dari Renungan Wanita Kristen

KERENDAHAN HATI-BELAJAR MELEPASKAN HAK

“Orang yang rendah hati akan makan dan kenyang, orang yang mencari TUHAN akan memuji-muji Dia; biarlah hatimu hidup untuk selamanya!” Mazmur 22:27

Daud memiliki hati yang luar biasa. Dia dikenal sebagai orang yang berkenan di hadapan Allah. Hanya dua tokoh di Alkitab yang disebut sebagai yang berkenan di hadapan Allah Bapa, yaitu Daud dan Tuhan Yesus sendiri.

Berbagai masalah dilalui oleh Daud dengan penuh penderitaan tetapi juga selalu penuh dengan kemenangan. Kuncinya ada di kerendahan hati yang Daud miliki. Kerendahan hati membuat Tuhan berkenan kepada kita. Dia melihat orang-orang yang rendah hati dan mencurahkan berkatNya bagi mereka.

Ada beberapa kejadian yang menimpa Daud, dimana dia menunjukkan kerendahan hatinya dalam masalah yang dia hadapi. Mari kita lihat kisahnya.

Lalu datanglah seseorang mengabarkan kepada Daud, katanya: “Hati orang Israel telah condong kepada Absalom.”

Kemudian berbicaralah Daud kepada semua pegawainya yang ada bersama-sama dengan dia di Yerusalem: “Bersiaplah, marilah kita melarikan diri, sebab jangan-jangan kita tidak akan luput dari pada Absalom. Pergilah dengan segera, supaya ia jangan dapat lekas menyusul kita, dan mendatangkan celaka atas kita dan memukul kota ini dengan mata pedang!” ” 2 Samuel 15:13-14

Absalom melakukan kudeta kepada Daud yang pada saat itu duduk sebagai raja. Sebagai raja, Daud tidak menggunakan kekuasaannya, kekuatannya, massa-nya dan semua sumber daya yang dia miliki untuk melawan, mengalahkan dan menangkap Absalom. Daud bisa saja menang jika dia menggunakan seluruh kekuatan yang dia miliki saat itu. Tetapi Daud justru menyingkir dan “mengalah” dari Absalom.

Melihat rajanya menyingkir dari kota, para imam Lewi juga turut serta pergi dengan Raja Daud sambil membawa tabut Allah. Tetapi Daud justru menyuruh mereka untuk kembali ke kota.

 Lalu berkatalah raja kepada Zadok: “Bawalah tabut Allah itu kembali ke kota; jika aku mendapat kasih karunia di mata TUHAN, maka Ia akan mengizinkan aku kembali, sehingga aku akan melihatnya lagi, juga tempat kediamannya.
Tetapi jika Ia berfirman, begini: Aku tidak berkenan kepadamu, maka aku bersedia, biarlah dilakukan-Nya kepadaku apa yang baik di mata-Nya.” ” 2 Samuel 15:25-26

Daud tidak memaksakan kehendaknya sendiri agar apa yang dia miliki dapat tetap terus berada di dekatnya. Daud tidak merasa bahwa dia memiliki hak untuk membawa tabut Allah ikut beserta dengan dia.

Daud menyadari bahwa segala yang terjadi adalah dengan seijin Tuhan. Hingga dia sanggup berkata bahwa jika Tuhan mengijinkan dia kembali, maka dia pasti akan kembali dan melihat tabut Allah kembali. Bahkan dia juga sanggup berkata bahwa jika Tuhan tidak mengijinkan dia kembali, maka itulah yang terbaik Tuhan berikan baginya.

Sungguh luar biasa sikap yang ditunjukkan oleh Daud. Seberapa banyak dari kita yang selalu ingin memaksakan kehendak kita begitu kita tidak memperoleh apa yang kita inginkan. Apalagi jika hal itu sudah lama kita impi-impikan dan kita rindukan. Sebagian dari kita pasti tidak mau melepaskan apa yang seharusnya menjadi hak kita. Tetapi Daud mengajarkan kita untuk melepaskan apa yang sebenarnya menjadi hak kita.

Memang tidak mudah untuk melepaskan apa yang seharusnya menjadi hak kita, apa yang seharusnya kita peroleh dan apa yang seharusnya kita raih. Tetapi ada saat-saat tertentu yang memang Tuhan ijinkan agar kita dapat belajar bahwa kerendahan hati jauh lebih penting dari segala apa yang kita inginkan di dunia ini.

Mari kita lihat satu kejadian lagi tidak lama setelah apa yang Daud alami di atas.

Ketika raja Daud telah sampai ke Bahurim, keluarlah dari sana seorang dari kaum keluarga Saul; ia bernama Simei bin Gera. Sambil mendekati raja, ia terus-menerus mengutuk.
Daud dan semua pegawai raja Daud dilemparinya dengan batu, walaupun segenap tentara dan semua pahlawan berjalan di kiri kanannya.” 2 Samuel 16:5-6

Lalu berkatalah Abisai, anak Zeruya, kepada raja: “Mengapa anjing mati ini mengutuki tuanku raja? Izinkanlah aku menyeberang dan memenggal kepalanya.”

Tetapi kata raja: “Apakah urusanku dengan kamu, hai anak-anak Zeruya? Biarlah ia mengutuk! Sebab apabila TUHAN berfirman kepadanya: Kutukilah Daud, siapakah yang akan bertanya: mengapa engkau berbuat demikian?”

Pula kata Daud kepada Abisai dan kepada semua pegawainya: “Sedangkan anak kandungku ingin mencabut nyawaku, terlebih lagi sekarang orang Benyamin ini! Biarkanlah dia dan biarlah ia mengutuk, sebab TUHAN yang telah berfirman kepadanya demikian.

Mungkin TUHAN akan memperhatikan kesengsaraanku ini dan TUHAN membalas yang baik kepadaku sebagai ganti kutuk orang itu pada hari ini.” ” 2 Samuel 16:9-12

Mengagumkan sekali sikap yang ditunjukkan oleh Daud pada saat ada orang yang mengutuki dan melempari dia dengan batu. Jika hal ini terjadi pada jaman sekarang dimana ada orang yang menghina secara langsung pemimpin negara dan melemparinya dengan benda-benda keras, kita tentu sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan orang tersebut.

Tetapi sekali lagi Daud menunjukkan bahwa dia tidak menggunakan kekuasaannya, posisinya dan haknya sebagai raja untuk menangkap, menghukum atau bahkan menghabisi nyawa orang tersebut.

Daud mengerti bahwa tidak ada segala sesuatu yang terjadi tanpa kendali dari Tuhan. Semua yang terjadi adalah seijin Tuhan.

Mari kita belajar dari kerendahan hati yang dimiliki oleh Daud. Tidak seharusnya kita mengeraskan hati kita jika ada hal yang terjadi di luar kehendak kita. Belajarlah untuk mengucap syukur untuk keadaan apapun yang terjadi dalam hidup kita. Ketahuilah bahwa ketika kita tertindas dan kita merespon dengan segala kerendahan hati, maka Tuhan akan melihat keberadaan kita.

Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: “Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk.” Yesaya 57:15

Jagalah hati kita untuk tidak cepat bereaksi ketika menghadapi hal-hal yang tidak kita inginkan. Mintalah kekuatan dari Tuhan dan damai sejahteraNya agar tetap melingkupi hidup kita. Dia yang adalah sumber dari segala yang ada di dunia ini akan memberikan kita kedamaian dan kekuatan untuk menghadapi hal-hal yang jauh di luar kekuatan kita. Just let it go, surrender to God. Haleluya!

.

“Tetapi orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri dan bergembira karena kesejahteraan yang berlimpah-limpah.” Mazmur 37:11

 

Disadur Dari Renungan Harian Pelita Hidup

Tetap Setia  – Cinta

Mungkin kisah yang terjadi di kota Amman, Jordania, tergolong langka, unik sekaligus mengundang geli. Seorang pria Jordania yang bernama Bakr Melhem merasa kesepian karena hidup terpisah dengan istrinya yang berada di luar kota. Pria ini iseng-iseng “berselingkuh” dengan wanita lain dalam dunia maya melalui chatroom (ruang ngobrol) di internet. Setelah tiga bulan saling chatting, mereka benar-benar merasa cocok dan saling jatuh cinta. Bahkan sepasang kekasih di dunia maya ini berniat menikah. Mereka lantas membuat janji untuk bertemu di sebuah tempat. Namun saat mereka berdua bertemu, mereka terkejut dan terkesima. Bukannya apa-apa, tapi ternyata “wanita selingkuhan” di internet ini adalah istrinya sendiri. Kontan saja mereka berdua saling menuduh bahwa ia pasangan yang tidak setia. Rencana perkawinanpun batal dan sebaliknya mereka berdua sepakat untuk cerai karena satu sama lain tidak setia!

Kesetiaan memang menjadi barang langka bagi peradaban dunia modern ini. Begitu mudahnya seorang suami berselingkuh dengan wanita lain, sementara itu si istri juga tidak mau kalah dan segera mencari pria idaman lain (PIL). Ujung-ujungnya pun sudah bisa ditebak, mereka memutuskan untuk cerai. Yang menyedihkan, hal yang seperti ini tidak hanya terjadi di kalangan orang yang tidak kenal Tuhan, sebaliknya banyak orang Kristen juga bercerai karena tidak ada lagi kesetiaan.

Semua ketidaksetiaan ini biasanya dipicu oleh pendapat umum yang berkata bahwa rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau dibandingkan dengan rumput di halaman kita sendiri. Terjebak dengan pandangan yang seperti ini membuat satu sama lain mengorbankan kesetiaan demi mendapatkan sesuatu yang lebih “hijau”, padahal kenyataannya tidak seperti itu.

Perbedaan pendapat memang kerap kali terjadi dan kekurangan-kekurangan pasangan kita memang akan semakin terlihat, tetapi itu bukan berarti melegalkan ketidaksetiaan kita. Justru di saat kita melihat ada kekurangan dan kelemahan di sana sini, tugas kitalah untuk menutup dan menjadi pelengkap baginya. Andaikata setiap orang punya pandangan seperti ini, tentu ketidaksetiaan dan perselingkuhan bisa ditekan sampai titik nol!

Tidak ada yang melegalkan ketidaksetiaan, termasuk kekurangan dan kelemahan pasangan kita…

 

Disadur Dari Gemintang.com

JAMINAN DALAM MASA-MASA SUKAR

Nats Alkitab: Mazmur 121:1-6

Pencobaan dan masa-masa sukar akan selalu muncul dalam hidup kita. Sekalipun demikian, kita harus bersyukur karena kita dapat mengandalkan Bapa Surgawi untuk memberi pertolongan tepat pada waktunya ketika kita berada dalam masa kesesakan; Ia menjamin kita seperti yang tertuang dalam Mazmur 121:
Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” (ayat 1-2).

 Walaupun para perampok bersembunyi di bukit-bukit dan mengincar setiap musafir yang lewat, pemazmur tahu pasti ke mana ia harus meminta pertolongan. Demikian juga dengan kita, ketika menghadapi ketakutan, hal-hal yang belum kita ketahui, maupun pencobaan dan masa-masa sukar, Allah yang Maha Kuasa akan menopang kita (Mazmur 103:19) – bahkan ketika orang-orang terdekat maupun kenalan kita mengecewakan kita, atau bahkan ketika kita mengalami kegagalan, Ia tetap setia mendampingi kita.

Penjagamu tidak akan terlelap” (ayat. 3b)

Dengan adanya milyaran manusia yang ada di dunia, sulit bagi kita untuk memahami bagaimana Allah dapat mengerti setiap detil dari kehidupan kita, atau bagaimana Ia dapat mengetahui jumlah rambut di kepala kita. Namun, ayat ini dengan jelas menegaskan kepada kita bahwa Allah yang kita sembah selalu siap sedia, berjaga-jaga dan mengerti setiap aspek dalam kehidupan kita serta sangat memperhatikan setiap kebutuhan dari masing-masing kita.

Tuhanlah Penjagamu,” (ayat 5a)

 Dalam bahasa Ibrani, kata “memelihara” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “menjaga” dan “melindungi” Kita dapat umpamakan penggunaannya seperti pada keadaan ketika seorang ibu meminta tolong kepada orang yang ia percayai untuk “menjaga” anaknya sementara ia pergi. Sang ibu berharap agar orang kepercayaannya tersebut akan melindungi si kecil sekaligus memenuhi kebutuhannya. Allah berjanji untuk menjaga dan memelihara anak-anakNya yang berarti Allah akan membela kita, memenuhi setiap kebutuhan kita, mengasuh dan mendidik kita menjadi serupa denganNya serta menjaga dan melindungi kita dari si Iblis.

Tanpa janji dan jaminan tersebut, dunia akan terlihat seperti tempat yang sangat berbahaya sekaligus membuat kita merasa kesepian. Namun, karena Allah telah memberikan janji dan jaminanNya, kini kita dapat menghadapi segala hal yang belum pasti serta masa-masa sukar kita dengan penuh rasa percaya diri karena Ia akan selalu ada bersama kita, menjagai dan menolong kita. Amin.

 

Disadur dari Renungan Pelita Hidup

 

 

 

 

 

MENEMUKAN KEPUASAN DIRI YANG SEJATI

“Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. ( Yohanes 14:1)

Terlalu sering kita secara sengaja membiarkan keadaan yang sedang kita alami menentukan perilaku kita. Ketika segala sesuatunya berjalan lancar, maka kita merasa bahagia dan senang; sebaliknya, jika kita mengalami masa-masa sukar atau berada dalam masalah, maka suasana hati kita akan menurun drastis. Tahukah Anda bahwa sebagai umat percaya, kita tidak seharusnya hidup dengan cara demikian? Mari kita belajar dari Rasul Paulus mengenai rahasia untuk tetap merasa puas dalam kondisi apapun dan mempraktekkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Rasa puas atau kepuasan diri berarti menerima segala sesuatu apa adanya – atau dengan kata lain, tidak menginginkan sesuatu yang lebih atau berbeda dari apa yang kita alami dan miliki. Agar kita dapat mencapai tahap ini, kita perlu untuk mengembangkan sikap hidup “Segala sesuatu dapat kutanggung dalam Kristus”. Dalam hal ini berarti kita belajar mempersilahkan kuasa Allah untuk menggantikan semua kelemahan dan kekurangan kita sehingga kita dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan hidup yang selalu berubah-ubah. Ketika kita menanggapi hidup dengan pemikiran yang baik, maka kita melangkah jauh melebihi apa yang kita rasakan dan mulai hidup dalam iman.

“sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat—(2 Korintus 5:7)

Yang kita perlukan adalah hidup penuh dengan penyerahan diri dan percaya kepada Allah dari hari ke hari.

  • Pertama, kita harus menyerahkan keinginan pribadi kita kepada Allah dan mempersilahkan kehendakNya yang terjadi dalam hidup kita. Dalam setiap keadaan kita harus menyerahkan apa yang kita inginkan kepadaNya dan menerima segala sesuatu yang Allah ijinkan terjadi dalam hidup kita. Keinginan kita untuk mengendalikan segala sesuatu digantikan dengan rasa penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendakNya. Pilihan ini sejatinya makin menarik bagi kita karena ketika menyadari akibat dari tidak memilki penyerahan diri tersebut dan berusaha melawan keadaan hidup yang kita alami hanyalah berupa kekuatiran dan rasa tertekan.
  • Langkah kedua yang harus kita lakukan adalah percaya sepenuhnya kepada Allah karena Ia yang memegang kendali atas semua yang terjadi dalam hidup masing-masing kita. Ketika kita percaya bahwa Ia sedang mengerjakan rencanaNya yang sempurna atas hidup kita, maka kita akan mengalami sukacita yang mengalir dari rasa percaya kita kepadaNya. Dengan demikian kepuasan diri yang sejati akan menjadi milik kita.

Rasul Paulus menyerahkan hidupnya kepada Allah dan percaya kepadaNya. Ia menghadapi penghinaan, penolakan dan berbagai macam pencobaan di sepanjang hidupnya tetapi Rasul Paulus tetap dipenuhi dengan kepuasan diri yang sejati. Ketika kita menyerahkan kendali atas hidup kita kepada Tuhan dan percaya bahwa Ia tahu memberi yang terbaik bagi kita, maka kita akan terus mengalami kepuasan diri yang sejati di sepanjang hidup kita; apapun yang kita alami. Pertanyaannya sekarang, siapakah yang memegang kendali atas hidup Anda saat ini?

 

Disadur dari Renungan Harian Pelita Hidup

 

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” Filipi 4:13

« Older Entries