header image
 

All posts in October, 2015

Yustinus Martir, pembela kepercayaan Kristen yang mati syahid

Flavius Yustinus (juga disebut Yustinus dari Kaisarea atau Yustinus sang filsuf; bahasa Inggris: Justin Martyr, 103-165) adalah salah seorang penulis Kristen paling terkenal lewat karyanya Liber Apologeticus – “Apologi Pertama”. Ia dilahirkan di Samaria pada tahun 95.Pada akhir hayatnya ia mati syahid menjadi martir sehingga namanya disebut sebagai Yustinus Martir.

Riwayat Hidup

Yustinus Martir juga adalah seorang filsuf yang aktif mempelajari ajaran-ajaran Stoa, Aristoteles, dan Phytagoras, tetapi sekarang ia menganut sistem Plato. Yustinus menjadi seorang Kristen ketika ia merenungkan tulisan-tulisan Taurat dan membaca Injil serta surat-surat Paulus.Kemudian Yustinus bertemu dengan seorang tua yang bertapa di padang sunyi di Palestina.Orang tua ini mengajarkan kepadanya tentang Kitab Suci, tentang para nabi dalam Perjanjian Lama.Yustinus menemukan bahwa sekarang ia menemukan kebenaran sejati dalam agama Kristen.Oleh karena itu ia bertobat menjadi Kristen pada tahun 130.Sesudah pertobatannya, Yustinus mengajar di Efesus. Ia memandang pengajaran Kristen sebagai filsafat, yang nilainya lebih tinggi dari filsafat Yunani.

Perjuangan bagi kekristenan

Yustinus hidup pada masa gereja dan orang Kristen berada pada keadaan yang tidak menguntungkan.Ia sering melihat bahwa banyak orang Kristen yang dihambat dan dianiaya.Oleh karena rasa keprihatinannya, ia membela kekristenan dari serangan yang dilancarkan oleh pemerintah yang tidak beragama Kristen.

Karya Penting

Perjamuan Terakhir (1498), dilukis oleh Leonardo da Vinci di Milano

Karya tulis Yustinus, “Apologi Pertama”, ditujukan pada Kaisar Antoninus Pius (dalam bahasa Yunani berjudul Apologia, yaitu suatu kata yang mengacu pada logika yang menjadi dasar kepercayaan seseorang). Dalam tulisannya ini, Yustinus menyatakan bahwa orang Kristen menuntut keadilan. Jika orang Kristen bersalah, ia harus diadili.Ia menolak bila orang Kristen dihukum karena mereka seorang Kristen. Ia juga menjelaskan mengenai ibadah Kristen dan Perjamuan Kudus, sehingga kecurigaan kekaisaran Roma terhadap orang Kristen sebagai kelompok subversif, amoral, dan kriminal pun terhapus.Seperti Paulus, Yustinus tidak meninggalkan orang-orang Yahudi ketika ia berpaling kepada orang-orang Yunani.Dalam karya besar Yustinus lainnya, “Dialog dengan Tryfo”, ia menulis kepada seorang Yahudi kenalannya, bahwa Kristus adalah penggenapan tradisi Ibrani.

Tidak hanya itu saja, Yustinus juga memberikan informasi mengenai tata ibadah, Baptisan, dan Perjamuan Kudus dalam gereja pada abad ke 2. Mengenai tata ibadah dikatakan bahwa ibadah dilakukan pada hari Minggu. Hal ini dikarenakan Allah beristirahat pada hari ketujuh. Selain itu, jemaat beribadah pada hari minggu juga karena Kristus bangkit pada hari tersebut. Mengenai praktek baptisan, Yustinus menyatakan bahwa mereka yang dibaptis adalah mereka yang telah percaya kepada pengajaran Kristen dan yang telah berjanji hidup mengikuti ajaran-ajaran tersebut.

Karya-karya penting Yustinus tidak hanya terbatas dalam hal menulis saja, Yustinus juga mengadakan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu berargumentasi tentang iman yang diyakininya.Di Efesus, ia bertemu dengan Tryfo.Di Roma, ia bertemu Marcion, pemimpin kelompok Gnostik. Pada suatu perjalanannya ke Roma, ia pernah bersikap tidak ramah terhadap seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic. Ketika Yustinus kembali ke Roma pada tahun 165, Crescens mengadukannya kepada penguasa atas tuduhan memfitnah.Yustinus pun ditangkap, disiksa dan akhirnya dipenggal kepalanya bersama-sama enam orang percaya lainnya.

Sumber : Wikipedia

PERAN SEORANG ANAK

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diriNya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak” [Yohanes 5:19].

Peristiwa penyembuhan pada hari Sabat di kolam Betesda, menjadi latar belakang perkataan Yesus pada ayat diatas. Orang-orang Yahudi berusaha menganiaya Yesus, bukan saja karena Ia melakukan penyembuhan itu pada hari Sabat, namun karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah BapaNya, dengan demikian menyamakan diriNya dengan Allah. Sebagai penjelasan atas keberatan orang Yahudi, Yesus mengungkapkan bagaimana hubungan Anak dengan Bapanya itu. Dengan tegas dikatakan bahwa apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak. Disini Yesus mengungkapkan ketaatan mutlak seorang Anak, dan sekaligus Ia menjelaskan bagaimana peran seorang anak itu seharusnya.

Secara sederhana, peran seorang anak seharusnya adalah mencontoh. Seorang anak harus dapat belajar, mencontoh dan mengikuti apa yang dikerjakan bapanya. Didalam dunia jasmani, sering kita temui kasus-kasus dimana profesi anak tepat sama dengan bapanya. Bila bapanya seniman, anaknya juga demikian; bila bapanya bertekun dalam dunia pendidikan, anaknya juga demikian; bahkan bila bapanya presiden, anaknya juga menjadi presiden. Ini sesuatu yang wajar, dan memang seharusnya demikian, karena anak adalah “perluasan diri” seorang bapa.

Tetapi yang saat ini kita bicarakan adalah sesuatu yang bersifat rohani. Maksudnya, seorang anak seharusnya mencontoh bapanya dalam perkara-perkara rohani. Seorang anak harus belajar memahami apa yang menjadi tujuan, misi dan visi bapanya. Seorang anak bukan saja mengikuti apa yang dikerjakan bapanya, tetapi juga harus meneruskan perjuangan dan pelayanan bapanya.

Tetapi disinilah persoalannya bagi kebanyakan keluarga-keluarga Kristen. Banyak bapa-bapa Kristen yang tidak menjadi bapa rohani bagi anaknya. Bahkan banyak juga kita temui kasus-kasus dimana seorang anak terluka / dilukai oleh bapanya ( yang telah aktif didalam kekristenan ). Sangat sulit bagi seorang anak untuk mencontoh atau menjadi seperti bapanya, apabila ia terluka. Bahkan mungkin ia memutuskan untuk tidak menjadi seperti bapanya. Sangat disayangkan apabila ini terjadi, karena seorang anak harus memulai perjuangan dan pelayanannya dari nol lagi. Kita tahu bahwa penyelamatan dunia ini adalah merupakan perjuangan dan pelayanan yang berkesinambungan, dimana pekerjaan penyelamatan ini dimulai dari seorang bapa yaitu Abraham. Pekerjaan penyelamatan dunia ini tidak dimulai pada saat Yesus memulai pelayananNya. Tetapi Allah telah bekerja ribuan tahun sebelumnya, dan dimulai pada diri Abraham.

Jadi, seorang anak haruslah mencontoh bapanya, dan haruslah ia meneruskan perjuangan serta pelayanan bapanya. Itulah yang menjadi peran seorang anak. Juga kita perlu berdoa agar para bapa Kristen dapat menjadi bapa rohani bagi anaknya.

Disadur dari Renungan Kristen

MEMBESARKAN ANAK

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” [ Amsal 22:6 ].

Yang dimaksud dengan orang muda dalam ayat ini adalah anak kecil. Pada umumnya istilah anak kecil yang dimaksud berumur sekitar 5 tahun. Alkitab mengajarkan supaya anak kecil dididik menurut jalan yang patut baginya. Apabila hal ini dilakukan, maka akan genaplah janji yang indah ini yaitu, pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu. Seorang anak yang dididik dengan benar, akan menjadi setia sampai masa tuanya. Anak ini tidak akan menyimpang kekiri atau kekanan, ia tidak akan murtad, ia tidak akan meninggalkan Tuhan, ia akan setia sampai akhirnya. Betapa indahnya janji firman Tuhan ini, terutama bagi para orang tua. Ada suatu kepastian bahwa anak-anaknya tidak akan menyimpang dari jalan Tuhan.

Tetapi sering kita lihat dari pengalaman, bagaimana seorang anak yang rajin pergi ke sekolah minggu, ketika menjadi remaja hilang entah kemana. Atau seorang pemuda/i yang aktif dalam pelayanan kekristenan, ketika menikah tenggelam dalam rutinitas rumah tangga tanpa tujuan, misi dan visi yang jelas. Mengapa demikian ? Alkitab menjelaskan penyebabnya, yaitu karena ia tidak dididik menurut jalan yang patut baginya. Ia tidak setia di jalan yang seharusnya ia lalui, karena memang ia tidak dilatih untuk menempuh jalan itu.

Setiap anak mempunyai suatu jalan yang seharusnya ia lalui, jika ia ingin berhasil sebagai pelayan Tuhan, sebagai suami/isteri, dan sebagai profesional Kristen. Tetapi anak kecil tidaklah mengetahui jalan itu, juga ia belum dipersiapkan untuk melaluinya dengan tekun. Siapa yang bertanggung jawab untuk memberitahukannya, dan melatihnya agar ia dapat melaluinya dengan setia? Tentu saja Orang tualah yang bertanggung jawab dalam hal ini, karena kepada orang tuanya anak-anak ini dititipkan Tuhan. Ayat diatas dapat ditulis sedemikian, ” Hai orang tua, didiklah anak-anakmu;”

Dalam pengalaman kita, sering dijumpai anak-anak dari “pelayan Tuhan” yang nakal dan susah diatur. Anak-anak ini bahkan terluka pada orang tuanya karena merasa kurang diperhatikan. Mereka merasa orang tuanya lebih memperhatikan “pelayanan” dari pada diri mereka.

Memang membesarkan anak, tidak langsung terlihat hasilnya. Banyak orang tua Kristen lebih senang mengerjakan sesuatu yang langsung dapat dilihat hasilnya, entah itu karier atau apa yang disebut pelayanan. Saatnya, orang tua Kristen perlu belajar memahami cara kerja Allah dalam penyelamatan dunia ini. Allah mulai dari satu orang bapa yaitu Abraham, dan penyelamatan ini baru akan dirampungkan oleh keturunannya berabad-abad bahkan berzaman-zaman kemudian. Bagaimana seandainya anak Abraham, nakal-nakal dan susah diatur? Bagaimana jika seandainya Ishak dan Yakub tidak setia di jalan yang harus ditempuhnya? Semoga perintah dalam Amsal 22:6 ini ditaati oleh para orang tua Kristen, dan semoga genaplah janji Tuhan dengan bangkitnya anak-anak yang setia menempuh jalan yang harus dilaluinya.

 

Disadur dari Renungan Kristen

Rahasia Pemulihan Keluarga

Keluarga secara teologis merupakan gagasan, ide dan produk dari karya Allah bagi manusia. Bukan hasil usaha atau karya manusia. Tujuan keluarga dalam rancangan dan karya Allah sesungguhnya ada dua, yaitu: pertama, keluarga dirancang dan diadakan untuk kemuliaan Allah; kedua, keluarga dirancang dan diimplementasikan untuk kebahagiaan manusia.

Namun setelah manusia jatuh ke dalam dosa, maka sendi-sendi keluarga menjadi rusak. Tatanan berkeluarga menjadi tidak jelas. Keluarga kehilangan identitas karena dominasi dosa begitu kuat dalam memporak-porandakan nilai-nilai rohani dalam keluarga.  Pertanyaan penting yang patut direnungkan ialah apa saja rahasianya sehingga keluarga bisa dipulihkan? Berikut beberapa solusinya :

1. Jalin komunikasi yang sehat.
Potensi untuk terjadinya konflik dalam sebuah keluarga selalu ada. Konflik kecil atau besar pasti tidak pernah absen dari dalam sebuah keluarga. Penyebabnya pun bermacam-macam. Salah satunya ialah tersendatnya jalur komunikasi antara suami dan istri. Jalur komunikasi ini sering menjadi pintu hadirnya konflik dalam keluarga. Jalur komunikasi ini juga acap kali menjadi sarana untuk saling melukai antara suami dan istri. Kata-kata kasar, hinaan dan perendahan begitu deras keluar dari mulut suami atau istri. Kata-kata negatif itu menjadi pedang yang sangat tajam menembus relung hati sehingga melukai batin baik suami ataupun istri.

Dalam situasi dan kondisi semacam itu, suami dan istri harus dipulihkan. Apa yang dipulihkan? Cara berkomunikasinya harus berubah. Suami-istri harus harus bisa membangun komunikasi yang sehat demi kebahagiaan keluarga.

2. Lepaskan pengampunan.
Sering suami atau istri sulit untuk melepaskan pengampunan karena lukanya terlalu parah. Namun, bagaimana pun terlukanya suami atau istri, semua pihak harus bisa merendahkan hati dan melepaskan pengampunan. Hal ini dilandasi oleh kasih dan pengampunan yang sudah diterima oleh suami maupun istri dari Allah.

 

Disadur dari Renungan Harian

BAGAIMANA MEMBANGUN KELUARGA YANG TANGGUH ?

Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat. Sebagai unit terkecil, keluarga memiliki posisi yang strategis dan menentukan sejahtera tidaknya sebuah masyarakat. Bila sebuah keluarga sehat, maka masyarakat juga akan sejahtera. Bila sebuah masyarakat sejahtera, maka bangsa juga ikut sejahtera.

Dan bila sebuah bangsa sejahtera, maka gereja pun sejahtera. Itu sebabnya peranan keluarga sangat penting. Yesus dan Rasul Paulus secara khusus menaruh perhatian khusus terhadap kelangsungan hidup sebuah keluarga. Secara khusus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, dalam pasal 5:15-21, rasul Paulus menegaskan tentang bagaiman membangun keluarga yang tangguh.

Herbert dan Zelmyra Fisher adalah pasangan yang memiliki pernikahan yang paling awet di dunia. Tahun 2010 lalu mereka merayakan wedding anniversary ke 86, di usia Herbert yang ke 104, sementara Zelmyra berusia 102 tahun. Kuncinya menurut mereka yaitu, saling menghargai, berkomunikasi dan saling mencintai. Alkitab memberikan beberapa petunjuk agar kita dapat membangun keluarga yang tangguh dalam mengatasi konflik:

1. Mempergunakan Waktu dengan Baik – ayat 16
Waktu menurut Alkitab adalah pemberian TUHAN Allah yang sangat berharga kepada kita. Namun waktu itu singkat dan harus digunakan sebaik-baiknya dengan bijaksana. Filsuf William James berkata: “Penggunaan waktu yang paling baik adalah yang berkaitan dengan kekekalan”. Justru banyak orang menyesal mengapa mereka tidak gunakan banyak waktu  bersama keluarga. Sebelum penyesalan datang terlambat, mari benahi hidup kita mulai hari ini khususnya dalam penggunaan waktu.

2. Miliki Hikmat TUHAN Allah – ayat 15, 17
Keluarga yang tangguh ditandai dengan adanya hikmat TUHAN Allah. Hikmat itu melebihi kepandaian. Kepandaian berarti memiliki berbagai informasi dan pengetahuan di akal, namun hikmat atau kebijaksanaan memampukan kita mengaplikasikan pengetahuan itu menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kebenaran firman TUHAN Allah itu, misalnya yang tercantum dalam kitab Amsal ketika kita pahami dan terapkan akan membuat kita mampu menjadi pria yang saleh, wanita yang berbudi, orang tua yang mampu mendidik anak dengan baik.

3. Mengalami Kepenuhan Roh Kudus – ayat 18
Keluarga yang tangguh adalah keluarga yang dikendalikan Roh Kudus, bukan oleh hawa nafsu atau perkara lainnya. Ada tiga ciri keluarga yang penuh Roh Kudus, yaitu: a) hidup dalam pujian penyembahan – ayat 19; b) hidup dalam pengucapan syukur – ayat 20; c) hidup dalam kerendahan hati – ayat 21. Keluarga tangguh bila anggota keluarga saling merendahkan hati satu sama lain. Ini terjadi bila suami-istri saling menghargai, tidak mementingkan diri sendiri tapi menganggap pasangannya lebih utama dari dirinya.

Disadur dari Renungan Harian

Pikirkan, Baru Katakan!

Seringkali kita melontarkan kata-kata yang keluar dari mulut kita tanpa melalui proses dipikirkan, sehingga seringkali kata-kata yang keluar adalah kata-kata yang meluncur dan bisa menjadi senjata yang mematikan orang lain dan menyinggung perasaan orang lain, dan bila hal itu terjadi di dalam keluarga, bisa jadi menyakitkan pasangan kita dan membuat anak-anak kita terluka. Tapi kenyataannya, sering kali kita berbicara tanpa melalui proses dipikirkan, apakah kata-kata kita itu menyejukkan atau membuat panas telinga orang, dan menghujam hati lawan bicara kita.

Tuhan Yesus pernah berkata; ” Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.” Matius  12:36. Apa yang diungkapkan oleh Tuhan Yesus ini sebenarnya menolong kita untuk hati-hati supaya setiap kata-kata yang akan diungkapkan itu perlu dipikirkan karena hal itu ada konseksuensi yang harus diterima oleh seseorang. Walaupun Tuhan menunjuk kepada pertanggungan jawab pada hari penghakiman, namun sebenarnya ketika di dunia ini saja, bila sebuah kata-kata tanpa kendali, tanpa dipikirkan yang mengarah kepada sia-sia juga memiliki akibat yang tidak mudah.

Taruhlah, ketika kita melontarkan kata-kata yang sia-sia yang terlontar karna tidak dipikirkan terlebih dahulu, tapi karena kita berada dalam posisi di mana kita dipenuhi oleh kemarahan dan kepanasan hati, maka biasanya kata-kata yang keluar itu bisa mematahkan semangat, menyakiti, melukai dan membuat orang lain frustasi. Karena itu baik juga kita selalu ingat dengan prinsip, pikirkan, baru katakan.

Konflik di dalam keluarga, seringkali terjadi oleh karena banyak kata-kata yang keluar bukan berasal dari kita memikirkan dahulu, tapi karena kita hanya condong untuk mencari kesalahan. Itu kan dikirkan dulu? Mungkin itu pertanyaannya? benar! Itu dikirkan terlebih dahulu, tapi apa yang dipikirkan itu lebih cenderung untuk mencari cara bagaimana mematahkan semangat pasangan kita atau memancing amarah pasangan kita?

Terlebih lagi ketika kata-kata kita kepada anak-anak kita menyakiti, maka kita diingatkan oleh apa yang diungkap oleh Paulus, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Efesus 6:4

Disadur dari Renungan Keluarga Kristen

JANJI TUHAN BAGI SEORANG BAPAK

Jika kita membaca Alkitab, maka kita akan menemukan banyak ayat yang membahas tentang janji Tuhan kepada kita orang percaya. Janji Tuhan tersebut jelas adalah untuk semua umat-Nya, apakah ia seorang bapak, seorang ibu, seorang pemuda, maupun seorang anak. Namun demikian, ada beberapa bagian firman Tuhan yang secara spesifik membicarakan janji Tuhan kepada seorang Bapak. Dan sebagaimana halnya dengan janji-janji Tuhan lainnya, maka janji Tuhan untuk seorang bapak ini juga bersyarat. Artinya, janji Tuhan tersebut akan tergenapi manakala syarat yang ditentukan dipenuhi. Berikut tiga janji Tuhan yang ada di Alkitab kepada seorang bapak.

JANJI TENTANG BERKAT MATERI DAN BERKAT RUMAH TANGGA

Janji Tuhan yang pertama bagi seorang bapak adalah tentang berkat materi dan kehidupan rumah tangganya, yakni janji tentang kecukupan kebutuhan hidup maupun berkat seorang isteri dan anak-anak. Janji Tuhan terdapat dalam Mazmur 128:1-4,

“Berbahagialah setiap orang yang takut akan TUHAN, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkanNya! Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu! Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu! Sesungguhnya demikianlah akan diberkati orang laki-laki yang takut akan TUHAN.”

Jika kita perhatikan, janji Tuhan dalam ayat-ayat tersebut di atas secara jelas didahului dan diakhiri dengan sebuah syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut adalah ‘takut akan Tuhan’. Takut akan Tuhan artinya adalah menghormati Tuhan dengan cara melakukan firman-Nya. Jadi janji Tuhan ini akan tergenapi bilamana seorang bapak hidup dalam takut akan Tuhan, hidup seturut firman-Nya.

1.Berkat Materi

Tuhan akan membuat berhasil pekerjaan seorang bapak yang takut akan Dia, sehingga ia mendapat kebaikan, “Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu!” ada berkat Tuhan dalam segala pekerjaan dan usaha seorang bapak yang takut akan Dia. Tuhan akan memberkati setiap usaha dan pekerjaannya. Hasil jerih payahnya tidak akan sia-sia.

Jelas ada korelasi antara berkat-berkat jasmani dengan sikap takut akan Tuhan, atau melakukan firman-Nya (band. Hagai 1:5-9; 2:16-17). Di Alkitab sering kali berkat dan kutuk sebagai hasil dari sebuah hukum ‘sebab-akibat’, terutama di PL (Ulangan 28:1-46). Artinya, umat Tuhan akan mengalami berkat-berkat-Nya secara materi (kecukupan hidup) bilamana mereka menaati firman-Nya. Sebaliknya, mereka akan mengalami kutuk (kemiskinan, kekurangan) bilamana mereka melanggar firman-Nya. Demikian juga di PB, walaupun tidak mutlak, pada umumnya tetap berlaku hukum sebab-akibat ini. Orang percaya yang takut akan Tuhan pasti akan diberkati secara materi, kendati ia harus mengalami banyak kesusahan hidup. Akan tetapi di tengah-tengah kesusahan hidupnya itu, ia akan tetap berbahagia, diberkati dan dipelihara oleh Tuhan (Markus 10:28-31). Demikianlah seorang bapak yang takut akan Tuhan, kebutuhan hidupnya akan senantiasa Tuhan cukupi.

2.Berkat Rumah Tangga

Tuhan juga akan memberkati seorang bapak yang takut akan Dia dalam kehidupan rumah tangganya. Dalam kutipan firman Tuhan di atas dikatakan, “Istrimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu!” dalam rumah tangga seorang bapak yang takut akan Tuhan, akan ada sukacita dan damai sejahtera. Kehadiran seorang isteri dalam rumah tangganya akan menjadi berkat tersendiri baginya. Demikian juga dengan kehadiran anak-anaknya. Di sini isteri seorang bapak yang takut akan Tuhan diibaratkan seperti pohon anggur yang subur, dan anak-anaknya diibaratkan seperti tunas pohon zaitun. Anggur dan zaitun adalah lambang kemakmuran dan berkat Tuhan (band. Mazmur 52:10; 80:8-14). Jadi seorang bapak yang takut akan Tuhan akan berbahagia dengan hadirnya seorang isteri dan anak-anak dalam rumah tangganya. Tentu seorang bapak yang takut akan Tuhan dan seorang bapak yang tidak takut akan Tuhan sama-sama punya isteri dan anak masing-masing. Namun, sering kali bagi seorang bapak yang tidak takut akan Tuhan kehadiran isteri dan anak-anaknya tidak membawa berkat tersendiri baginya. Tidak demikian dengan seorang bapak yang takut akan Tuhan, kehadiran isteri dan anak-anaknya akan menjadi berkat tersendiri baginya. Dia akan berbahagia oleh isteri dan anak-anaknya.

Disadur dari renungan harian Kristen

BELAJAR DARI KISAH KERANG DAN BANGAU

“Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkitkan perkara, menceraikan sahabat yang karib.” (Amsal 17:9).

Di tepi sebuah pantai, kerang sedang membuka cangkangnya untuk mencari makanan. Tidak lama kemudian, datang seekor bangau melihat kerang dengan cangkang terbuka, dan bangau itu tergoda untuk memakan dagingnya. Tanpa menunggu lama, bangau pun mematuk kerang. Tak kalah sigap, kerang pun langsung dengan segera menutup cangkangnya. Paruh bangau tersangkut di cangkang kerang, sehingga bangau tersebut tidak berkutik.

Kerang berkata, “Karena kau ingin memakan dagingku, jangan harap aku melepasmu sampai kapan pun. Biar mati kau kelaparan di tepi pantai ini.” Bangau pun menjawab, “Kalau kau tidak melepasku, kau juga akan mati.” Tak satupun dari mereka mau mengalah. Akhirnya datanglah nelayan pantai, menangkap Bangau dan Kerang tersebut dengan mudah.

Di dalam perselisihan: tidak ada pihak yang diuntungkan, hanya ada satu pihak yang paling diuntungkan, yaitu iblis. Iblis akan sangat senang karena tahu bahwa saat tidak ada kerukunan, berkat tidak akan tercurah. Iblis pun memperoleh keuntungan karena dengan adanya pertikaian, ia dapat menanamkan benih kebencian, demdam, amarah dan kepahitan di dalam hati manusia.

Jadi bila kita menyadari bahwa perselisihan lebih banyak menghasilkan kerugian, mengapa kita tidak berusaha mengendalikan emosi kita? Selalu diperlukan dua pihak untuk bertengkar. Bila kita tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, tentu tidak akan ada pertengkaran bukan? Jika kita merindukan berkat mengalir di dalam kehidupan, mari kita menciptakan kerukunan dan kedamaian di dalam hidup kita dengan sesama kita.

 

Disadur dari Kumpulan Ilustrasiku

DOSA ADALAH DOSA,BUKAN SEKEDAR MASALAH

Orang-orang Eskimo mempunyai cara yang ampuh untuk melumpuhkan beruang kutub, yaitu dengan menggunakan sebilah pedang yang kedua ujungnya sangat tajam. Pedang itu dilumuri dengan darah, kemudian setelah itu langsung dicuci. Setelah dicuci, pedang itu dilumuri kembali dengan darah dan dicuci lagi. Begitu seterusnya sampai tercium bau darah yang sangat menyengat dari pedang itu, kemudian pedang itu diletakkan di tempat di mana beruang kutub sering lewat.

Bau darah yang menyengat itu akan membawa beruang mendekat kepada pedang itu, sehingga ia akan menjilatinya terus-menerus. Beruang itu tidak menyadari adanya darah yang mengalir di ujung lidahnya sendiri, yang terluka oleh ujung pedang yang tajam. Beruang itu terus saja “menikmati kenikmatan” dalam menjilati darahnya sendiri.

Tidak berapa lama kemudian, beruang yang gagah perkasa itu pun roboh karena kehabisan darah.

Begitu juga dengan kehidupan kekristenan, yang tidak dapat dikalahkan oleh apapun juga, dihambat semakin merambat, dijepit semakin melejit, dan ditungkup semakin meletup. Tetapi ada satu hal yang bisa merobohkan dan menghancurkan kehidupan iman kita yaitu dosa. Karena itu, untuk meraih kehidupan berkemenangan, kita harus radikal dalam menyatakan kebenaran Firman Allah – Dosa adalah dosa, dosa bukan sekedar masalah.

Sumber : www.jawaban.com post on Ilustrasiku

Setelah beberapa lagu pujian seperti biasanya pada hari minggu, pembicara gereja bangkit berdiri dan perlahan-lahan berjalan menuju mimbar untuk berkhotbah.

“Seorang ayah dan anaknya serta teman anaknya pergi berlayar ke samudra Pasifik”, dia memulai, “ketika dengan cepat badai mendekat dan menghalangi jalan untuk kembali ke darat. Ombak sangat tinggi, sehingga meskipun sang ayah seorang pelaut berpengalaman, ia tidak dapat lagi mengendalikan perahu sehingga mereka bertiga terlempar ke lautan.”

Pengkotbah berhenti sejenak, dan memandang mata dua orang remaja yang mendengarkan cerita tersebut dengan penuh perhatian. Dia melanjutkan, “Dengan menggenggam tali penyelamat, sang ayah harus membuat keputusan yang sangat sulit dalam hidupnya….kepada anak yang mana akan dilemparkannya tali penyelamat itu. Dia hanya punya beberapa detik untuk membuat keputusan.

Sang ayah tahu bahwa anaknya adalah seorang pengikut Kristus, dan dia juga tahu bahwa teman anaknya bukan. Pergumulan yang menyertai proses pengambilan keputusan ini tidaklah dapat dibandingkan dengan gelombang ombak yang ganas. Ketika sang ayah berteriak, “Aku mengasihi engkau, anakku!” dia melemparkan tali itu kepada teman anaknya. Pada waktu dia menarik teman anaknya itu ke sisi perahu, anaknya telah menghilang hanyut ditelan gelombang dalam kegelapan malam. Tubuhnya tidak pernah ditemukan lagi.”

Ketika itu, dua orang remaja yang duduk di depan, menantikan kata-kata berikut yang keluar dari mulut sang pembicara. “Sang ayah,” si pembicara melanjutkan ,”tahu bahwa anaknya akan masuk dalam kekekalan dan diselamatkan oleh Yesus, dan dia tidak sanggup membayangkan jika teman anaknya melangkah dalam kekekalan tanpa Yesus. Karena itu dia mengorbankan anaknya sendiri. Betapa besar kasih Allah, sehingga Ia melakukan hal yang sama kepada kita.” Sang pembicara kembali ke tempat duduknya sementara keheningan memenuhi ruangan.

Beberapa saat kemudian, dua orang remaja duduk di sisi pembicara. “Cerita yang menarik,” seorang remaja memulai pembicaraan dengan sopan, “tapi saya pikir tidaklah realistis bagi sang ayah untuk mengorbankan hidup anaknya hanya dengan berharap bahwa teman anaknya akan menjadi seorang pengikut Kristus.”

“Benar, engkau benar sekali,” jawab pembicara. Sebuah senyum lebar menghiasi wajahnya dan kemudian di memandang kedua remaja tersebut dan berkata, “Tentu saja itu tidak realistis bukan ? Tapi saya ada di sini untuk memberitahu kalian bahwa cerita itu membuka mataku tentang apa yang sesungguhnya terjadi ketika Tuhan memberikan AnakNya untuk saya.”Engkau tahu … sayalah teman sang anak itu”.

Disadur dari Kumpulan Ilustrasi

« Older Entries