header image
 

All posts in September, 2015

Mengatasi Rasa Bersalah Untuk Bangkit

Mazmur 51:3-12

3. Kasihanilah aku, ya, Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! 4. Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! 5. Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. 6. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu. 7. Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. 8. Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat kepadaku. 9. Bersihkanlah aku dari pada dosaku  dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju! 10. Biarlah aku mendengar kegirangan dan sukacita, biarlah tulang yang Kau remukkan bersorak-sorai kembali! 11. Sembunyikanlah wajahMu terhadap dosaku, hapuskanlah segala kesalahanku! 12. Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!

Apakah saudara  merasa bersalah hari ini atau pada hari-hari yang sudah berlalu ? Minggu ini saya merasa bersalah karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dapat saya lakukan, tidur  terlalu larut sehingga membuat kepala saya pusing, saya telah batal mengunjungi seseorang yang sedang berada di rumah sakit. Rasa bersalah itu dapat saja terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari karena kita tidak  melakukan sesuatu yang seharusnya, misalnya  telah berbicara menyinggung/menyakiti hati  orang lain, telah marah secara berlebihan, tidak mengendalikan lidah, terlalu curiga, terlalu khawatir, tidak terbuka, tidak jujur, telah mencemaskan sesuatu yang tidak terjadi, tidak belajar ketika akan menghadapi ujian sekolah dan lain-lain.

Apakah rasa bersalah itu ?

Rasa bersalah adalah sebuah perasaan yang tidak merasa bahagia,tidak merasa ada damai  dan tidak tentram. Perasaan yang buruk, salah, tidak berharga, merasa gagal, merasa malu dan kalah karena sesuatu perbuatan yang telah dilakukan. Para ahli psikologi berpendapat bahwa perasaan bersalah itu muncul karena kegagalan untuk mencapai standar-standar perilaku yang telah kita tetapkan sendiri. Misalnya ketika kita telah mengecewakan atau menyakiti hati seseorang, itu merupakan suatu perilaku yang buruk atau dosa.

Maka solusinya adalah kita belajar cara hidup yang  baik agar tidak merugikan orang lain atau siapapun. Jika ini kita lakukan tentunya kita tidak akan merasa bersalah. Pandangan seperti ini melihat bahwa dosa itu adalah masalah horizontal saja, yaitu hubungan sesama antar manusia.Berbeda dengan pandangan Alkitab,bahwa dosa itu juga memiliki dimensi vertikal, yaitu hubungan manusia dengan Allah.

Rasa bersalah itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh Daud, adalah merupakan suatu dosa.Dosa itu menyakiti hati Allah.Alkitab mengatakan bahwa pada dasarnya kita semua bersalah.“Tidak ada yang benar, seorangpun tidak”, (Roma 3:10).Artinya kesalahan itu sifatnya universal atau umum.Di mata Allah semua manusia bersalah, karena manusia cenderung tidak mau dipimpin oleh Allah dan memberontak terhadap-Nya.

Apa yang  Daud telah ungkapkan dalam Mazmur  51 ini, adalah sebuah pengakuan dosa dari Daud. Nabi Natan telah diutus Tuhan datang kepada Daud supaya membeberkan dosa perjinahan yang telah dilakukan Daud dan pembunuhan yang telah direncanakan/dilakukan oleh Daud, dalam kisah 2 Sam.12 : 1-13. Dalam kisah ini, Daud  telah melakukan perjinahan dengan istri Uria bernama Batsyeba, dan karena hendak mengambilnya menjadi istrinya maka Daud dengan sengaja merencanakan dan membiarkan Uria mati dalam peperangan.

“Ditulisnya dalam surat itu, demikian: “Tempatkanlah Uria dibarisan depan dalam pertempuran yang paling hebat, kemudian kamu mengundurkan diri dari padanya, supaya ia terbunuh mati”, 2 Sam 11:15. Ini merupakan sebuah rencana pembunuhan yang dibuat oleh Daud terhadap Uria dan  Uriapun mati dalam pertempuran. Maksudnya ialah supaya ia dapat memiliki Batsyeba, mengambilnya menjadi isterinya.

Nabi Natan datang kepada Daud, dan ia menceriterakan  kepada Daud tentang seorang kaya yang mengambil anak domba satu-satunya kepunyaan orang miskin untuk menjamu tamu orang kaya tersebut,maka marahlah Daud, agar supaya orang kaya itu dihukum mati karena tidak mengenal belas kasihan. Melalui cerita itu Natan menegur Daud bahwa Daudlah orang itu.

“Mengapa engkau menghina Tuhan dengan melakukan apa yang jahat di mataNya?”, 2 Samuel 12: 9a. Akhirnya Daud sadar akan apa yang telah diperbuatnya, keadaan itu membuat Daud menjadi gelisah dan tidak tenang, hidupnya diliputi oleh rasa bersalah. Apa yang tidak berkenan dan yang jahat bagi  Allah telah ia perbuat.  Daud merasa hidupnya sudah tidak nyaman lagi karena ia terus dibayang-bayangi oleh perbuatannya yang berdosa itu.  Ia merasa bersalah, dan hatinya tidak tentram. Daud menginginkan ketenangan itu kembali dalam hidupnya, namun hal tersebut tidak akan diperolehnya sebelum ia membuat pengakuan yang jujur dengan sepenuhnya kepada Allah. Bagaimanakah Daud mengatasi rasa bersalahnya untuk bangkit kembali ?

Ada 4 hal yang dilakukan oleh Daud, yaitu:

  1. Bergumul melawan  dosa

Daud tidak langsung bertobat ketika ia berselingkuh dengan Batsyeba. Memerlukan beberapa waktu lamanya  sampai hal yang telah dilakukannya itu menjadi suatu pergumulan dalam hatinya. Setelah nabi Natan datang kepada Daud dan menceriterakan kisah tentang seorang kaya yang  mencuri domba dari  seorang miskin, barulah Daud mengerti tentang kesalahannya. Mendengar kisah ini Daud baru sadar akan kejahatan yang telah ia perbuat itu.

Untuk memperoleh pengampunan dan pembaharuan dari Allah atas kesalahan dan dosa yang telah diperbuat itu tidaklah mudah. Apalagi jika seseorang itu telah mengalami keselamatan dan kemudian terjerumus ke dalam suatu kesalahan atau dosa maka akan mungkin mengalami pergumulan rohani yang panjang untuk mengalami pertobatan dan pemulihan. Pengampunan selalu ada pada Allah, yang Ia kehendaki ialah  supaya kita belajar untuk menjadi lebih baik lagi.

Dari Daud kita dapat belajar bahwa betapa menakutkan melukai hati Allah yang kudus setelah kita diberkati oleh Allah. “Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku”, ayat 5. Ini merupakan suatu kesadaran tentang tanggungjawab pribadi atas kesalahannya. Kata yang sering muncul dalam bacaan Firman Tuhan di atas ialah pelanggaranku, kesalahanku, dan dosaku.

Daud tidak mencari-cari alasan atau pembelaan, dan pembenaran terhadap dirinya mengapa ia sampai berbuat dosa. Daud juga tidak menyalahkan pada keadaan yang membuat kesempatan itu terjadi, juga dia tidak  mempersoalkan ketidak-pengetahuan, atau karena kebutuhan, karena godaan, juga dia tidak melibatkan Batsyeba yang harus ikut menanggung kesalahan dalam perjinahannya, sehingga pembunuhan itupun terjadi.

Kesalahan yang dilakukan Daud itu adalah tanggungjawab Daud sendiri. Pengakuan yang sejati itu ialah mengakui kesalahannya dengan tidak mencoba berdalih. Daud tidak mau tinggal terus menerus dalam dosanya, karena itu ia datang kepada Allah untuk memohon pengampunan supaya dipulihkan.  “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan”, 1 Yohanes 1:9

Kita harus bergumul melawan dosa, sebab dosa itu melawan Tuhan.Jangan biarkan dosa itu tetap tinggal dalam hidup kita tapi lawan dan perangilah itu.Hadapi dosa itu,dengan bersikap terbuka dan jujur dihadapan Allah.Jangan ada yang disembunyikan akuilah semua kesalahan dan dosa itu kepada Allah.Allah pasti mendengarkan semua beban kita, karena Ia selalu setia terhadap kita. Ia mengasihi kita.

Membiarkan dosa dan tidak mengakuinya, ini mencegah kita untuk menikmati hubungan dan persekutuan dengan Allah dan dengan sesama. Orang yang menyangkal dosanya atau berusaha menyembunyikannya, tidak mau mengakuinya, tidak menyesali dan meninggalkannya, tidak akan merasa tenang dalam hidupnya dan tidak akan bertumbuh secara rohani. Pengampunan dan kemurahan Allah itu tersedia bagi semua orang yang mau datang kepadanya dengan sungguh hati untuk menerima pemulihan. “Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi”, Amsal 28:13.

2. Mengakui bahwa dosa itu melawan Tuhan

Setelah Daud menyadari kesalahan yang telah ia perbuat kepada manusia, ia juga menyadari bahwa terutama dosanya itu ialah kepada Allah. Firman Tuhan mengatakan bahwa dosa itu adalah perbuatan yang jahat dimata Allah.“Mengapa engkau menghina Tuhan dengan melakukan apa yang jahat di mataNya?Uria, orang Het itu, kau biarkan ditewaskan dengan pedang; isterinya kau ambil menjadi isterimu, dan dia sendiri telah kau biarkan dibunuh oleh pedang bani Amon”, 2 Samuel 12:9.

Terlepas dari perbuatan Daud terhadap Batsyeba dan Uria suaminya, maka tindakan Daud itu pada akhirnya adalah menentang Allah. “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu”, ayat 6. Daudpun membuat sebuah pengakuan kepada Allah yang tanpa tersembunyi tentang kesalahan yang telah diperbuatnya. “Dosaku kuberitahukan kepadaMu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: “Aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku”, dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku, Mazmur 32:5.

Mengakui dan memberitahukan dosa dengan hati yang tulus dan sungguh-sungguh akan menghasilkan pengampunan.Dengan pengakuan tersebut apabila Allah menjatuhkan hukumanNya atas orang berdosa Allah tidak boleh dituduh kejam.Daud mengakui bahwa Allah itu adil dalam segala keputusanNya.Resiko akibat dosa yang telah diperbuatnya itu dapat diterima oleh Daud sebagai maksud baik Allah.

Ada resiko yang harus diterima oleh Daud akibat dari perbuatan dosanya itu, yaitu anaknya yang dikandung oleh Batsyeba itu ditulahi oleh Allah sehingga sakit dan akhirnya mati. Sekalipun Daud telah berpuasa dan menangis untuk  berdoa minta belaskasih Allah agar anak itu tetap hidup tetapi keputusan Allah tetap terlaksana. Allah mau menunjukkan keadilanNya walaupun hati Daud terluka oleh kematian anak tersebut, karena itu Daud sangat menyadari bahwa keputusan Allah adalah baik apapun juga.  Sekalipun Daud bersedih tetapi ia tidak bisa menolak kehendak Allah dan Daud  merima keputusan Allah itu sebagai sesuatu yang baik.

Sebab itu ketika anaknya itu mati, Daud bangkit dan menyembah Tuhan.Daud tetap menyembah Tuhan disaat luka dihatinya masih ada akibat kesalahannnya itu.“Lalu Daud bangun dari lantai, ia mandi dan berurap dan bertukar pakaian; ia masuk ke dalam rumah Tuhan dan sujud menyembah”, 2 Samuel 12:20a.

Kesalahan itu mengandung resiko yang harus ditanggung. Saudaraku, bila saat ini engkau sedang mengalami suatu sakit, luka atau derita akibat kesalahan yang telah diperbuat di masa yang lampau anggaplah itu sebagai bentuk perhatian dan kasih Allah. Terimalah luka atau penderitaan yang wajar kita tanggung itu karena  akibat dosa atau  kesalahan kita, tapi jangan pandang  itu sebagai hukuman yang berkelanjutan, namun pandanglah itu sebagai sebuah proses penyembuhan yang akan terjadi kemudian setelah kita mengalami perubahan dalam hidup kita. Jika kita menyadari bahwa sesuatu beban yang kita terima/pikul saat ini adalah sebagai akibat dari kesalahan dan dosa yang telah kita perbuat, maka hal itu  harus kita terima sebagai sesuatu keputusan yang adil dari Tuhan.  Jadikan hal itu sebagai suatu peringatan atau sebagai kenangan indah untuk kita merasakan kasih Allah.

Jangan kecewa, jangan putus asa, tetaplah menyembah Dia. Dia mengasihi, sangat mengasihi sekalipun kita orang berdosa. Sebab tidak selamanya kita dibiarkan menderita. Justru dengan resiko yang diterima itu kita dapat merasakan betapa besar kasih dan keadilanNya.Ia pasti menyediakan yang terbaik lagi di masa yang akan datang sesuai proses perubahan hidup yang kita jalani. Dia akan mengubahkan keadaan yang buruk untuk menjadi sebuah kebaikan.

3. Menyadari orang berdosa  memerlukan pengampunan Allah

Daud mengakui bahwa sejak dari kandungan atau lahir dia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa. Daud menyatakan bahwa manusia itu sifatnya berdosa, dengan kata lain setiap orang itu sejak dari lahir memiliki suatu kecenderungan untuk melakukan suatu kesenangan dan keinginan diri sendiri, yang bahkan dapat menyebabkan orang lain menderita.

“Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku”, ayat 7. “.. hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmatMu yang besar!’, ayat 3. Hapuskan artinya ‘dikikis’ dibersihkan seperti sebuah tulisan dihapuskan, sehingga tidak kelihatan lagi. “Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku!”, ayat 4. Dosa dilihat sebagai sesuatu yang berurat berakar secara dalam yang memerlukan pengobatan intensif, yaitu dengan membuang habis dosa sehingga menjadi tampak bersih.

Kecenderungan berdosa ini hanya dapat dibersihkan dari kehidupan kita melalui penebusan di dalam Yesus Kristus yang telah membayar, menebus kita dengan kematiannya di kayu salib dan oleh tuntunan Roh Kudus.Kita membutuhkan pertolongan Tuhan, sebab usaha kita hanyalah sia-sia jika bukan karena Tuhan yang menolong untuk membebaskan kita.Pengampunan yang diberikan Tuhan itu akan memulihkan keadaan kita. Bersyukurlah kepada Tuhan yang telah menyediakan pertolongan itu melalui kematianNya di kayu salib. Oleh sebab itu siapa yang datang dan percaya kepadaNya akan diselamatkan.

4. Penyerahan diri kepada Allah untuk dibaharui

Kita sebagai orang percaya sangat memerlukan Roh Allah mendiami kita untuk menciptakan di dalam diri kita hati yang selalu menjauhi dan membenci dosa. Roh Kudus itu akan membaharui kita untuk selalu merindukan dan melakukan kehendak Allah dalam hidup kita. Hanya Allah saja yang dapat membuat  kita menjadi ciptaan baru dan memulihkan kehidupan kita. “Jadikanlah aku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”, Mazmur 51: 12.

Kita harus datang kepada Allah dan meminta pengampunanNya karena terhadap Allah kita telah berdosa. Daud mengakui kedalaman yang sebenarnya dari kesalahannya itu sebagai keadaan manusia sejak dilahirkan.Hanya Allah yang dapat membersihkan, hanya Allah pula yang dapat melaksanakan pemulihan jiwa dan tubuh secara sempurna dari kehancuran dan akibat dosa.“Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju! Biarlah aku mendengar kegirangan dan sukacita, biarlah tulang yang Kauremukkan bersorak-sorak kembali! (ayat 9-10).

Daud tidak akan merasa tenang sebelum ia mengutarakan segala dosanya dihadapan Allah. Perasaannya perih oleh penyesalannya atas keterlibatannya dalam pembunuhan terhadap Uria, Daud membawa jiwanyayang hancur itu kepada Allah sebagai persembahan yang sejati. “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur , hati yang patah dan remuk tidak akan Kau pandang hina ya Allah”, Mazmur 51:19. Tanpa jiwa yang hancur tampaknya segala korban itu tidak bermakna.Setelah Daud membuat pengakuan dosanya, maka nabi Natan langsung mengumumkan pengampunan dari Allah. Allah mengampuni Daud dan  Daud sadar tentang keajaiban kasih dan pengampunan yang begitu indah diberikan Allah kepadanya atas kesalahannya yang sangat besar itu.

Tidak mudah bagi Daud mengakui dosanya itu kepada Allah, namun ia berjuang melawan ungkapan hati terdalamnya itu kepada Allah sekalipun diliputi oleh rasa malu, direndahkan dan dipatahkan oleh rasa bersalahnya. Namun  akhirnya ia ditolong dari keputus-asaan itu oleh  iman penyesalannya di dalam kasih Allah.

Dampak dari rasa bersalah itu memang sangat dalam seperti  perasaan ditolak, ketidakmampuan untuk mengatakan tidak, munculnya depresi, kecemasan, dan kehilangan keintiman rohani dengan Allah. Kita bukanlah sebagai orang yang pertama merasakannnya. Jangan lari dan menghukum diri menjadi korban rasa bersalah, sebab jika ini dibiarkan maka keputus-asaan dan kegagalan akan mendatangi kita. Alkitab telah mencatat dalam kitab Mazmur, tentang  gambaran keputus-asaan itu, “Sebab kesalahanku telah menimpa kepalaku; semuanya seperti beban berat yang menjadi terlalu berat bagiku”, Mazmur 38:5.

Saudaraku, Allah mengerti beban berat itu, dan Ia menyediakan jalan untuk mengatasinya.  Oleh kematian Yesus Kristus di kayu salib, Ia menyatakan kita tidak bersalah dan ditebus dari dosa.  Jika kita terus saja berpegang pada rasa bersalah itu, maka kita seolah-olah lebih tahu dari pada-Nya, dan kita menyia-nyiakan pengorbananNya yang rela mati buat kita.Tuhan meminta kita untuk memperbaharui pikiran kita dengan kebenaran FirmanNya untuk membantu kita supaya terhindar dari ganjaran yang tidak menyenangkan.Keadaan memang tidak berubah tapi Allah akan memperbaharui kita dengan memberi kekuatan yang baru serta ia akan mengubah hidup kita menjadi manusia yang baru bagiNya, karena walaupun kita berdosa tapi dapat dibenarkan olehNya karena iman kita kepadaNya karena kasihNya.

Secara emosional kita mungkin hidup begitu lama dibawah rasa bersalah sehingga menghukum diri sendiri dan tidak merasa ada kebebasan lagi  untuk menjadi baik. Bangkitlah, hadapi rasa bersalah itu, akui dihadapan Tuhan dengan terbuka, dengan jujur dan minta pengampunan dari Tuhan dan bertobat. Jangan berhenti mencoba untuk dipulihkan, buang putus asa itu dan rasa ketidakbergunaan itu, datanglah kepadaNya sebab Allah selalu menunggu kita dengan setia.Berserahlah dan minta pengampunan dari Allah. Curahkan semua isi hati, tekanan-tekanan dan beban-beban berat yang menghimpit itu.Meraunglah, menangislah, menjeritlah kepada Tuhan, Dia menunggu dan mendengarkan. Bawalah seluruh jiwa dan hati yang hancur itu kepada Tuhan. Tuhan pasti meringankan beban itu dan memberi kelegaan serta bebaskan dari semua beban berat yang menindih itu.  Allah tidak ingin membinasakan umatNya, Ia selalu menawarkan pengampunan jika kita mau bertobat. Pengampunan itu disediakan bagi semua orang , yang sekalipun telah berbuat dosa. “Sekalipun dosamu merah seperti kermizi, akan menjadi putih seperti salju, sekalipun  berwarna  merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih  seperti bulu domba, Yesaya 1:18.

Jika  kita sudah datang mengakui kesalahan itu kepada Tuhan dengan rendah hati yang tulus, rasakan betapa besar pengampunan yang diberikanNYa itu, rasakan betapa besar kasihNya itu. Allah adalah kasih.Dia Allah mengasihi, mengasihi orang berdosa.  Dia merindukan orang berdosa datang kepadaNya untuk dipulihkan.  Iblis memang suka mematahkan semangat, dan mengintimidasi kita sebagai orang tidak berguna, orang berdosa, sekarang katakan kepada iblis bahwa engkau  telah dibebaskan dan dipulihkan Allah.Engkau sudah dibebaskan, sudah dimerdekakan oleh kasih karunia Tuhan.

Hiduplah sebagai seorang anak Allah yang telah diampuni. Buang rasa malu itu karena  hanya membuat jurang pemisah dalam hubungan kita dengan sesama dan Allah.Terimalah kebebasan dari rasa bersalah itu dalam kasih Allah yang telah dikaruniakanNya melalui pengampunanNya.  Bangkitlah sebagai seorangpemenang yang telah dibebaskan dan dibaharui dalam kasihNya. Berjalanlah dalam terang Firman Allah dan Roh Kudus, sebab di dalam Tuhan, masa depan itu sungguh ada. “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang”, Amsal 23:18. Tuhan mengasihimu.

.

“Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis didalamnya, sebab waktunya sudah dekat”, Wahyu 1:3.

Disadur Dari Renungan Harian Pelita Hidup

Mamancarkan Terang Kristus

Lalu Ia berkata kepada mereka: ‘Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk’ ” Markus 16:15

Darah Yesus telah dicurahkan bagi kita semua. Dia rela mati di atas kayu salib untuk menebus semua dosa kita. Bagi kita yang percaya dan mengaku bahwa Dia adalah Tuhan dan Juruselamat akan diselamatkan. Lalu apa yang harus kita lakukan setelah menerima Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat?

Pada saat Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya setelah Ia bangkit, Yesus memerintahkan mereka untuk pergi ke seluruh dunia dan mengabarkan Injil kepada semua mahkluk di bumi.

Yesus mengutus murid-muridNya untuk mengabarkan kebenaran kepada semua orang. Dia tidak menyuruh mereka untuk berhenti beraktifitas atau menyembunyikan diri. Tetapi Dia meminta mereka untuk pergi ke seluruh dunia. Dan murid-muridNya pun melakukan apa yang diminta, mereka pergi ke seluruh penjuru dunia.

Merekapun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.” Markus 16:20

Bagi kita di jaman modern ini, kita dapat memberitakan firman Tuhan dimanapun kita berada. Kita tidak perlu meninggalkan aktifitas saat ini dan memutuskan untuk menjadi pendeta. Tetapi kita dapat menjadi saksi Yesus dengan profesi apapun yang kita jalani, entah itu sebagai pelajar, mahasiswa, karyawan, pebisnis, professional, ibu rumah tangga, dan lainnya. Karena melalui profesi kita-lah Tuhan akan mengutus kita ke tengah-tengah dunia ini. Dengan begitulah kita dapat memancarkan terang kasih Tuhan.

Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.
Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Matius 5:14-16

Justru di tengah kegelapan-lah pelita itu dapat bercahaya terang. Sama dengan Kristus yang bercahaya di dalam diri kita, akan benar-benar bercahaya di tengah-tengah dunia ini. Jalanilah profesi apapun yang Tuhan sedang percayakan kepada kita saat ini. Karena disanalah Tuhan sedang bekerja di dalam diri kita untuk meneguhkan FirmanNya.

Jangan tinggalkan pekerjaanmu, justru tekunilah pekerjaan yang ada saat ini. Karena melalui pekerjaan ini Tuhan akan mengangkat kita dan berkarya melalui hidup kita. Akan ada banyak jiwa yang mengenal Kristus melalui hidup kita. Akan ada banyak jiwa yang menjadi alat-Nya oleh karena mereka mengenal Kristus melalui hidup kita. Jadi, tekunilah pekerjaanmu, lakukanlah tugas mulia yang Tuhan berikan bagi kita yaitu memancarkan terang Kristus melalui hidup kita. Haleluya!

 

Disadur dari Renungan Harian Pelita Hidup

Kesempatan Yang Berharga

Istilah atau ungkapan “kesempatan tidak datang dua kali”, merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi kita dengarkan. Istilah ini tidak saja dipakai oleh orang non Kristen tetapi juga oleh orang Kristen. Istilah ini sering digambarkan dengan adanya suatu kebaikan yang lebih besar akan datang jika kita berani memilih sesuatu dan identik dengan pekerjaan, relasi dengan seseorang, ingin mendapatkan suatu benda yang kita inginkan, membangun saham, dan lain-lain. Tetapi pandangan dunia yang berbicara mengenai istilah ini berbeda dengan pandangan Alkitab. Kesempatan bisa berupa suatu teguran atau nasihat.

Lukas 10:38-42 yang mengisahkan tentang Maria dan Marta yang menerima Yesus di rumah mereka. Keduanya mendapatkan suatu kesempatan yang sama tetapi ada yang memilih untuk datang kepada Yesus tetapi ada yang memilih untuk sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Kata “melayani” yang dipakai dalam ayat 39 menggambarkan akan status atau derajat daripada seorang wanita yang wajib melayani seseorang atau sekelompok orang yang datang mengunjungi rumahnya atau suatu sikap bawahan yang melayani tuannya. Marta yang sibuk sendiri pada akhirnya lupa kepada siapa dia melayani karena kesibukan dari kegiatannya. Marta menjadi hilang kendali hingga mengajukan protes kepada Yesus untuk meminta adiknya Maria membantunya. Tetapi yang menarik bahwa Yesus tidak memberikan apa yang diinginkan Marta, melainkan Yesus membuka pemikiran Marta. Yesus yang membuka pikiran Marta pada saat yang bersamaan memberikan teguran kepada Marta, bahwa Marta seharusnya tidak perlu sibuk untuk mengurusi sekian banyak hal tersebut. Melainkan datanglah dan mendekatlah, duduklah di sampingKU dan dengarkanlah apa yang akan Aku katakan kepadamu.

Terkadang kita sama seperti Marta, sibuk sendiri dengan pekerjaan kita atau bahkan sibuk dengan pelayanan kita di gereja. Kita mengikuti paduan suara, persekutuan komisi, menjadi Majelis, menjadi pengurus dalam komisi, sibuk mengikuti pelayanan kesana kemari, dan lain-lainnya. Padahal Yesus Kristus sedang menunggu kita untuk datang kepada-NYA, duduk di samping kaki-Nya, dan mendengarkan setiap perkataanNya. Karena kesempatan untuk kita bisa datang dan mendekat kepada Yesus tidak datang setiap saat. Amin, Tuhan Yesus Memberkati.

Chris Nussy

SABAR DALAM BERBAGAI MASALAH
Ketika seseorang yang hidupnya dibawah tekanan dan masalah yang bertubi-tubi, emosinya cenderung tinggi. Dan kemungkinan besar emosi itu akan meledak lewat kata-kata yang kasar atau juga lewat perbuatan dan tindakan. Seorang pemuda yang karena tidak dapat menahan ledakan emosinya, akhirnya harus berurusan dengan pihak yang berwajib. Dalam ruang jeruji, dia menyesal, dan ketika masa tahanannya selesai, dia langsung menemui seorang Pendeta. Ia menceritakan permasalahannya dan dia minta tolong di doakan agar dia bisa menjadi orang yang sabar. Kemudian Pendeta mengajaknya utk berdoa : Pendeta : “Tuhan… kirimkanlah dalam hidup anak muda ini kesulitan di pagi hari, kesulitan di siang hari dan kesulitan di ….” Sebelum Pendeta tersebut selesai berdoa, dengan emosinya pemuda tersebut memotong doa sang Pendeta : “Maaf Pak, saya minta di doakan kesabaran, bukan kesulitan, karena kesulitan yang bertumpuk-tumpuk itu membuat emosi saya tidak terkendali dan tidak ada kesabaran”. Pendeta menjawab : “Justru ‘melalui kesulitan’ itulah kita belajar kesabaran. Kesulitan melatih kita untuk menguasai diri”. “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain”. (1 Korintus 13:4-5). Sahabat , dalam kehidupan kita sehari-hari, pada situasi dan kondisi apapun juga, marilah kita terus belajar dan belajar untuk bersabar. Belajar untuk menguasai emosi dan kemarahan. Karena orang sabar itu dikasihi Tuhan dan juga sesamanya.Disadur dari Renungan Harian Kristen

DIMURNIKAN SEPERTI PERAK
Bacaan Alkitab : Maleakhi 3:3 “Ia akan duduk seperti orang yang memurnikan dan mentahirkan perak.” (Maleakhi 3:3a)
Ayat ini sangat mengusik beberapa jemaat yang sedang mengadakan Penelaahan Alkitab, dan mereka bertanya-tanya apa maksud Firman Tuhan ini mengenai KARAKTER dan SIFAT Allah. Salah seorang anggota jemaat itu akhirnya menawarkan diri untuk mencari tahu PROSES PEMURNIAN PERAK, dan akan menjelaskannya pada pertemuan Penelaahan Alkitab berikutnya. Minggu itu, jemaat tersebut membuat perjanjian dengan seorang pengrajin perak untuk melihat bagaimana proses kerjanya saat memurnikan perak. Dia tidak menyebutkan sama sekali alasannya mengapa dia ingin mencari tahu proses pemurnian perak. Dia menyaksikan pengrajin perak itu sedang memanaskan perak di atas api. Pengrajin itu menjelaskan bahwa ketika hendak memurnikan perak, dia harus MENJAGA agar perak itu TETAP ADA DI TENGAH-TENGAH PERAPIAN, dimana terdapat SUHU YANG PALING PANAS, agar supaya perak itu dapat dimurnikan dari segala debu, batu, dan berbagai kekotoran yang melekat pada perak itu. Jemaat itu kemudian membayangkan bagaimana Allah “menjaga” kita pada titik api yang TERPANAS, dan kemudian teringat kembali pada ayat yang mereka renungkan: “Ia akan duduk seperti orang yang memurnikan dan mentahirkan perak”. Kemudian dia bertanya kepada pengrajin perak itu apakah benar bahwa dia harus duduk di depan api sepanjang waktu hingga perak itu menjadi murni ? Pengrajin itu berkata “YA”, dia bukan hanya harus duduk menjaga perak itu, tetapi juga harus terus-menerus MEMPERHATIKAN perak di atas api itu setiap saat. Jika TERLAMBAT DIANGKAT sedikit saja, perak itu akan RUSAK. Jemaat itu terdiam sebentar, dan kemudian bertanya, “Bagaimana anda tahu bahwa perak itu sudah benar-benar murni?” Pengrajin itu tersenyum dan menjawab, “Oh, itu sangat mudah. Perak itu telah murni ketika saya BISA MELIHAT WAJAH SAYA DI DALAMNYA. Jika hari ini engkau merasa sedang berada di tengah api yang panas, ingatlah bahwa Allah sedang memandang engkau, dan akan terus memandangmu hingga Dia dapat melihat Wajah-Nya di dalam engkau.
Disadur dari Renungan Harian Kristen

Belajarlah dari Domba yang Bodoh!

Ada sepasang suami isteri, di dalam Tuhan boleh dikatakan lumayan, mereka cukup bergairah bekerja untuk Tuhan. Tetapi tidak lama kemudian, anak kesayangan mereka meninggal dunia. Kemudian, dengan penuh amarah mereka berkata, “Mulai sekarang kami berdua tidak mau melayani Allah lagi. Kami telah dengan setia melayaniNya, Dia bukan saja tidak memberkati, malah membuat anak kami mati.” Demikianlah mereka kemudian menempuh penghidupan sehari-hari dengan sesukanya sendiri, tidak lagi seperti dulu bergairah melayani, tidak mau menuntut kemajuan rohani. Demikianlah waktu berlalu sekitar 8 sampai 9 tahun.
Pada suatu hari, si suami sedang berjalan di suatu belantara, terlihatlah olehnya seorang penggembala domba yang akan menyeberangkan kawanan domba melewati sebuah anak sungai. Pada masa itu, umumnya di anak sungai di desa-desa tidak ada jembatan yang baik, hanya ada papan-papan yang melintang yang menghubungkan kedua tepian. Bagi manusia, jembatan “darurat” itu masih boleh, tetapi bagi hewan, dalam hal ini kawanan domba, sangatlah sulit; karena domba adalah hewan yang penakut lagi bodoh. Sebab itu meskipun gembala itu mencambuk dan mendorongnya, mereka tetap tidak berani menyeberang. Gembala itu kehabisan akal, akhirnya diangkatnya seekor anak domba kecil yang sangat disayangi oleh induk domba, digendongnya domba kecil itu dan ia menyeberangi jembatan itu. Demi dilihat induk domba itu bahwa anaknya yang disayangi dibawa ke seberang, segera ia memberanikan diri menempuh bahaya untuk mengikutinya, kemudian kawanan domba yang lainpun ikut menyeberang.
Begitu melihat kejadian ini, si suami segera berkata, “Cukuplah.” Sejak hari itu dia kembali dibangunkan. Di kemudian hari ia bersaksi, “Karena Allah tidak menghendaki aku tertinggal di seberang sungai ini, maka Dia telah membawa anakku menyeberang lebih dulu. Domba yang begitu bodoh saja mengetahui dan akhimya ikut menyeberang, mengapa aku masih saja berlambat-lambatan dan tidak mau segera menyeberang?”
Sumber: Literatur Yasperin
Disadur dari Kumpulam Inspirasi Kristen

john

Darat!” seru seorang kelasi yang sedang bertengger di mercu yang tiang itu. “Ada darat di sana!” Suaranya mengalun dari atas ke bawah, ke geladak kapal layar yang sedang melintasi Lautan Pasifik itu. Seluruh isi kapal itu segera naik dari bawah. Sudah lama mereka rindu menyaksikan daratan! Ada kelasi yang mulai naik ke tiang layar untuk dapat melihat lebih jauh ke arah haluan. Ada penumpang yang lari ke kayu rimbat di pinggir geladak. Salah seorang penumpang itu adalah seorang pemuda bernama John Geddie. Ia pun rindu sekali menyaksikan daratan yang sudah nampak di kejauhan itu. Pasti daratan itu lain sekali daripada apa saja yang pernah dilihatnya sepanjang umur. John Geddie berasal dari negara Kanada, propinsi Nova Skotia. Ia sudah mengenal lautan, tetapi lautan di sana ditumbuhi pohon cemara dan pines, dan sering tertutup salju.

Lain sekali dengan daratan yang sedang dituju oleh kapal layar itu! John Geddie telah datang ke daerah Pasifik Selatan yang panas lembab, agar ia dapat memberitakan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus kepada para penduduk Kepulauan Vanuatu. Atau lebih tepat, Ia berharap ada kesempatan memberitakan Kabar Baik kepada mereka, sebelum mereka sempat memakan dia, karena pada tahun 1848, masih ada di antara penduduk Vanuatu itu yang suka makan daging manusia.

Selama kapal berlayar mendekati pelabuhan, John Geddie menunggu dengan perasaan kurang sabar. Pulau itu nampaknya seperti zamrud hijau ditengah-tengah lauatan nan biru. Pohon-pohon palem menjulang tinggi di pantai pasir putih.

Ternyata pulau yang pertama-tama dilihat John Geddie itu bernama pulau Aneityum. Penduduk pulau itu sudah biasa didatangi orang asing. Mereka suka berdagang dengan para pendatang yang naik kapal dari jauh. Jadi, John tidak usah khawatir akan dibunuh dan dimakan selama ia menetap dipulau Anityum itu.

Dengan mudah John Geddie menyewa sebuah rumah. Para tetangganya yang baru itu rupanya cukup ramah. Namun mereka kurang berminat akan ajarannya tentang Tuhan Yang Maha Esa.

“Kami punya ilah-ilah sendiri,” demikian kata orang-orang Vanuatu itu.

“Buat apa kamu mau mendengar tentang ilah lain yang diceritakan orang asing yang warna kulitnya sudah luntur itu?”

Tidak lama kemudian, kapal laut yang telah membawa John Geddie ke pulau Aneityum itu berangkat lagi. Ia berdiri di pantai sambil melambaikan tangannya selama layar itu kelihatan semakin kecil di kejauhan.

Di pantai itu, di kelilingnya berdiri bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak. Mereka semua asyik bercakap-cakap. Namun tidak ada satu kata pun yang dapat dipahami oleh John Geddie.

“Sudah jelas, aku harus belajar bahasa mereka,” kata John dalam hatinya.

Maka pada saat kapal layar itu makin menghilang di lautan lepas, ia mulai mendengarkan baik-baik lagu kalimat yang sedang diucapkan disekitarnya.

Penduduk pulau Aneityum yang suka berdagang itu cukup pandai berbicara bahasa Inggris. Mereka biasa bisa menggali akar ararut (ubi garut), lalu menawarkannya kepada para pendatang. Biasanya daripada menerima uang, mereka lebih suka tukar-menukar saja, sehingga dengan demikian mereka mendapat barang-barang yang mereka inginkan.

Tetapi masalahnya, bahasa Inggris yang cocok untuk perdagangan tukar menukar itu, bukanlah bahasa Inggris yang cocok untuk memberitakan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus. Apa lagi, John Geddie tidak berminat mengajarkan bahasa Inggris kepada penduduk pulau itu.

“Buat apa aku mengajar mereka membaca Alkitab dalam bahasa Inggris?”

tanya John pada dirinya sendiri. “Sebaiknya, aku mau belajar bahasa Aneityum, bahasa mereka. Bila aku menceritakan isi Alkitab, aku ingin supaya mereka semua dapat mengerti, dari nenek yang paling tua samapi anak yang paling kecil. Aku ingin menjadi begitu pandai berbicara dalam bahasa mereka, sampai-sampai mereka akan merasakan bahwa aku adalah salah seorang dari antara mereka.”

Tidak lama kemudian, John Geddie memang dapat mengucapkan banyak kata dalam bahasa Aneityum. Namun ia belum puas. Ia sering meminta orang-orang Vanuatu mengulangi sampai berkali-kali satu kata yang sama.

Ia pun minta supaya satu kata itu mereka ucapkan dengan sangat pelan-pelan, agar ia dapat membeo bunyi yang sedang didengarnya itu.

Tetapi penduduk pulau itu kurang senang jika terus-menerus mengulangi kata-kata yang sama. Malu rasanya, jika harus bertalu-talu mengluarkan bunyi yang sama, hanya agar seorang asing dapat memperhatikan mulut mereka. Lambat laun mereka tidak segan-segan menyatakan rasa bosan atau rasa tersinggung mereka; satu persatu mereka meninggalkan di seorang diri.

“Wah, bagaimana aku dapat menguasai bunyi bahasa ini?” tanya John Geddie pada dirinya sendiri. “Apa lagi, jika aku tidak dapat menguasai bunyinya, bagaimana aku dapat menyusun tanda-tanda tulisan untuk bahasa ini yang belum pernah ditulis?”

Pada suatu hari John sedang mengunyah sepotong biskuit kapal. Biskuit kapal itu lain daripada biskuit kaleng–keras sekali, dan rasanya asin.

Justru karena kerasnya, biskuit semacam itu dapat bertahan lama. Pada masa lampau, selama pelayaran yang memakan waktu panjang, biskuit kapal biasa dibawa serta sebagai bekal.

Mula-mula John Geddie tidak suka memakan biskuit kapal. Tetapi lambat laun ia mulai menyukai rasanya, sehingga pada waktu kapal hendak melanjutkan perjalanannya, ia minta supaya ditinggalkan satu peti biskuit itu baginya. Sewaktu-waktu ia mengunyah sepotong biskuit yang keras dan asin rasanya itu.

Pada waktu John sedang makan-makan, kebetulan lewatlah seorang Vanuatu. Ia salah seorang penduduk setempat yang telah meninggalkan John tanpa pamit, karena ia bosan atau tersinggung jika diminta berulang-ulang mengucapkan kata yang sama. Namun John ingin tetap bersikap ramah terhadap tetangganya itu, maka ia menawarkan sepotong biskuit kapal kepadanya.

“Silakan coba!” katanya dalam bahasa Inggris.

Dengan agak was-was orang itu mulai mencicipi. Ia mengunyah biskuit yang keras itu. Ia menjilat dengan lidahnya. Lalu ia mengunyah lagi. Sudah jelas, ia menyukai biskuit yang asin rasanya itu.

Setelah selesai, ia mengulurkan tangannya. Tetapi John Geddie baru mendapat akal. Ia tidak segera memberikan lagi kepada tetangganya itu.

“Ayo, tukar!” kata John. Dan memang mereka mulai tukar-menukar. Yang diterima John sebagai pengganti biskuit itu, bukannya barang melainkan bunyi-bunyi yang diucapkan berulang-ulang.

Dengan cepat berita itu mulai tersiar, “Orang asing yang aneh itu rela memberikan makanan yang enak, asal saja ada penduduk yang rela membuang waktu dengan berkali-kali mengucapkan kata-kata dalam bahasanya sendiri!”

Maka selanjutnya John tidak pernah kekurangan penolong dalam usahanya belajar bahasa setempat.

Sepotong demi sepotong ia menawarkan biskuit kapal itu kepada penduduk setempat. Satu demi satu ia menguasai bunyi yang biasa dilafalkan dalam bahasa mereka, sampai dapat membeo setiap kata dengan tepat dan jelas.

Sementara itu, John Geddie juga sudah menyusun semacam abjad bahasa Aneityum. Ia mulai mencatat kata-kata dalam bentuk tulisan. Tidak lama kemudian, kepada para tetangganya ia dapat bercerita tentang Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga dapat bercerita tentang Yesus Kristus, yang sangat mengasihi semua orang.

Cerita-cerita yang disampaikan John Geddie itu berasal dari Kitab Injil Markus. Setiap kali bercerita, ia pun mencatat kata-kata dari ceritanya itu. Lambat laun ia dapat menyusun seluruh Injil Markus dalam bahasa Aneityum.

Penduduk pulau itu sudah mulai mengenal John Geddie; ia pun sudah semakin mengenal mereka. Mereka mulai saling mempercayai dan saling mengasihi. Oleh para tetangganya John sering dibawa serta pada waktu mereka pergi menjala ikan atau memelihara tanaman ubi ararut. Mereka memperlihatkan kepadanya bagaimana mereka menggali akar ararut, serta menyiapkan hasil tumbuhan itu untuk dijual.

Mereka juga mengajar John tentang adat mereka, tentang dongeng mereka, tentang cara mereka beribadah. Dengan panjang sabar John pun mengajar mereka tentang Tuhan Yesus Kristus. Lambat laun ada banyak di antara mereka yang menjadi orang Kristen.

Di samping mengajar, John Geddie juga masih terus menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Setelah Kitab Injil Markus selesai, naskahnya dikirim ke Australia untuk dicetak. Ketika buku-buku kecil yang berisi Injil Markus itu sudah kembali lagi, sebagian penduduk Vanuatu merasa sangat senang: Mereka dapat membaca firman Allah dalam bahasa mereka sendiri! Tetapi sebagian lagi merasa sangat sedih, karena mereka itu masih buta huruf.

Maka John Geddie mulai mengajar orang-orang yang buta huruf itu, agar mereka dapat membaca bahasa mereka sendiri. Sementara itu, ia pun terus mengalihkan Firman Allah ke dalam bahasa mereka. Ketika Kitab Injil Matius selesai, John berhasil membeli sebuah alat cetak kecil. Selanjutnya hasil karyanya itu dapat langsung dicetak di Vanuatu.

Akhirnya seluruh Kitab Perjanjian Baru selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Aneityum. Dengan gembira John Geddie berkata kepada kawan-kawannya, “Sekarang kita harus mencetaknya.”

Tetapi Kitab Perjanjian Baru itu terlalu tebal; tak mungkin dikerjakan dengan alat cetak kecil yang sudah ada. Maka John Geddie mengumpulkan para pemimpin masyarakat setempat.

“Sekarang sudah ada Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa kalian sendiri,” ia mengumumkan.

“Benar!” jawab pemimpin mereka yang tertua. “Sungguh bagus dan ajaib, bahwa hal itu sudah terwujud.”

“Selanjutnya,” kata John, “banyak salinan yang harus dibuat oleh mesin.”

Para pemimpin masyarakat akan menunggu perkataannya lebih lanjut.

“Hal itu menuntut uang.”

Tidak ada seorang pun yang berbicara.

“Aku tidak punya uang,” kata John dengan sedih.

“Kami juga tidak punya uang,” kata para pemimpin.

Hening sejenak. Lalu John Geddie berbicara lagi: “Namun kalian sudah biasa menawarkan akar arurat kepada para pedagang kapal. Apakah kalian rela menyisihkan sepersepuluh dari hasil tukar-menukar itu? Apakah kalian rela menguangkan yang sepersepuluh itu, agar dapat dipakai untuk mengongkosi pencetakan Alkitab?”

Para pemimpin itu pulang dan berunding dengan rakyat. Lalu mereka melaporkan bahwa rakyat Vanuatu memang rela menyisihkan sepersepuluh dari hasil perdagangan mereka.

Setelah sepersepuluh itu diuangkan, hasilnya dua ribu dolar. John Geddie mengirimkan uang itu beserta naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Aneityum, agar dapat dicetak ditempat yang jauh.

Berbulan-bulan lamanya John dan kawan-kawannya menunggu. Lalu pada suatu hari, ada sebuah kapal yang sedang membongkar muatannya di pulau Aneityum. Di antara muatannya itu ada beberapa bungkusan besar yang dialamatkan kepada John Geddie.

Setiap keluarga di pulau itu menerima sebuah Kitab Perjanjian Baru. Namun di antara mereka masih ada yang belum pandai membaca.

“Mari kita mengadakan sayembara!” usul John. Beberapa hadiah di tawarkan kepada orang-orang yang berhasil membacakan Perjanjian Baru secara tepat dan jelas. Dengan rajin mereka bersaing untuk menjadi pandai membaca Firman Allah. Ternyata setiap hari ada sebanyak dua ribu orang Vanuatu asyik membacakan Alkitab. Dan sisa penduduk pulau itu asyik mendengarkan pembacaan mereka.

Sementara itu, John Geddie masih tetap meneruskan tugasnya sebagai guru dan penerjemah. Menjelang tahun 1872, hampir seluruh Kitab Perjanjian Lama sudah dialihkan ke dalam bahasa Aneityum.

Dua puluh empat tahun sudah lewat sejak kelasi itu menyerukan “Darat!” dari mercu tiang layar yang sedang membawa John Geddie dari jauh. Dan pada tahun yang kedua puluh empat itu juga, John Geddie pun tutup usia.

Para penduduk Vanuatu berkabung. “Ia telah meninggalkan kita,” kata mereka. “Ia telah berpulang ke surga.” Lalu mereka memasang sebuah plaket pada dinding gedung gereja terbesar di pulau Aneityem. Di atas plaket itu terukir kata-kata ini:

“Ketika ia mendarat pada tahun 1848, Di sini tidak ada orang Kristen. Ketika ia berpulang pada tahun 1872, Di sini tidak ada orang kafir.”

Disadur dari berbagai sumber

ORANG KRISTEN YANG “MANJA”  

Kita tidak dapat menyalahkan siapapun jika hari-hari ini ditemui orang-orang Kristen yang imannya dangkal. Pemahaman mengenai keimanannya memprihatinkan dan kehidupannya kekristenannya sangat “manja”. Banyak orang Kristen yang “manja”. Ia akan mengikut Kristus ketika Kristus baik di dalam hidupnya. Ia akan mengikut Kristus jika apapun yang ia kehendaki tercapai. Tetapi, selepas hal itu tidak terjadi, malahan penderitaan dan kesusahan yang justru diterimanya, maka ia akan dengan mudah meninggalkan Yesus.

Saya kira, fenomena ini dapat terjadi diakibatkan oleh karena orang Kristen tidak dididik dan atau memberi dirinya untuk dididik dalam pemahaman iman Kristen yang benar. Para hamba Tuhan tidak dapat menyalahkan jemaat jika jemaatnya hidup dengan “manja”. Dugaan saya, ini akibat pendidikan didalam gereja yang tidak diorganisir dengan baik. Disatu sisi, sikap “manja” ini juga diakibatkan oleh jemaat yang tidak mendisiplinkan dirinya untuk belajar memahami Tuhan dan kritis dalam pengajaran alkitab. Maka, kita dibentuk oleh pemahaman iman yang dangkal kepada Kristus.

Sejak Sekolah Minggu (Sunday School), orang-orang Kristen telah dididik dengan pengajaran-pengajaran yang salah. Lagu-lagu Sekolah Minggu tidak dikritisi terlebih dahulu apakah alkitabiah atau tidak. Contohnya, lagu “naik kereta” pada Sekolah Minggu:

“Aduh senangnya naik kereta, kereta besar buatan Tuhan.

Sopirnya Yesus, jalannya lurus, siapa mau ikut pergi ke surga.

Aduh celaka naik kereta. Kereta kecil buatan iblis.

Sopirnya ngantuk, gak bisa duduk, jalannya nubruk-nubruk, pergi ke neraka.”

 

Sepintas lalu, ini adalah salah satu lagu yang digemari oleh anak-anak Sekolah Minggu pada umumnya, namun tanpa disadari, pengajaran lagu ini sedang mengiring anak-anak ini bertumbuh dengan sikap iman dan hidup yang “manja”. Orang-orang Kristen bertumbuh dengan mental bahwa mengikut Kristus akan selalu senang, tiada pernah susah. “keretanya besar” yang mengisyaratkan tentang kenyamanan dan kemewahan hidup. Mereka memperlakukan Yesus seperti “sopir” mereka yang harus mengikuti kemauan arahan mereka sebagai boss dan orientasinya adalah surga. Jelas-jelas ini merupakan implikasi dari “Teologi sukses” yang tidak alkitabiah.

Kita harus kembali memeriksa iman dan pemahaman kita mengenal Kristus. Mengikut Kristus adalah suatu perjalanan salib. Salib tidak berbicara mengenai kehidupan yang indah dan mewah, tetapi salib berbicara mengenai ketundukan, taat dan setia kepada panggilan Tuhan. Ayub mengalami cobaan yang berat di dalam mengikut Tuhan. Rasul Paulus didera dan dipenjara dalam pemberitaannya tentang Yesus. Petrus disalib secara terbalik karena mengikut Kristus. Orang-orang Kristen harus kembali mengingat bahwa mengikut Tuhan bukan berarti perjalanan hidup selalu lurus. Adakalanya jalan itu “nubruk-nubruk”, namun disitulah kita dapat melihat Tuhan bekerja di dalam hidup kita. Ketika kita tetap percaya kepada Tuhan meski harus mengalami permasalahan kehidupan yang sulit, disitulah kita sedang berjalan didalam iman yang benar dan sikap yang hidup yang “dewasa” dan bukan “manja”. Matius 10:16, “lihatlah, Aku mengutus kamu seperti domba di tengah-tengah serigala, …” hiduplah di dalam iman yang dewasa untuk dapat menghadapi “serigal-serigala” itu. (Josua J. Sengge)

MENGAPA MANUSIA  TIDAK PERNAH PUAS?

Manusia adalah makhluk pencari kepuasan. Ia memiliki segudang keinginan dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Maka itu ia disebut Homo Economicus. Disamping keinginan dan kebutuhan fisikal, ia juga adalah pencari kepuasan social. Ia butuh orang lain, ia butuh relasi. Ini menjadi suatu kebutuhan dasar pada diri manusia, maka itu ia disebut homo socius.

Kedua sifat dasar manusia, yaitu homo economicus dan homo socius ini berjalan pada jalurnya masing-masing, namun ada kalanya mereka harus berjalan beriringan. Akibatnya, terkadang di dalam diri manusia harus mengalami tabrakan-tabrakan yang tidak dapat ia hindari di dalam pemuasan kedua sifat ini. Contohnya di dalam dunia bisnis, seseorang menginginkan untuk mendapat keuntungan materi yang lebih untuk memajukan ekonominya, namun untuk mencapai hal itu ia harus rela menjatuhkan saingan bisnisnya. Akibatnya, hal-hal kotor harus terjadi dan menodai relasi antar businessman itu. Akibat tabrakan kedua sifat ini, manusia disebut sebagai homo homini lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi sesamanya.

Manusia memahami bahwa ia makhluk yang mencari kepuasan, akan tetapi manusia tidak pernah dapat menjawab ukuran kepuasaannya itu sampai pada taraf seperti apa dan ukuran yang bagaimana? Akibatnya ia tidak pernah dapat menentukan dirinya sudah mencapai kepuasan atau belum. Malahan yang terlihat adalah manusia menjadi makhluk yang “rakus” dalam pencaharian kepuasannya itu.

Pertanyaan yang tepat untuk berbicara tentang hal ini adalah bagaimanakah caranya agar manusia dapat mencapai kepuasan dirinya yang sejati? Permasalahannya adalah tolok ukur manusia dalam mencari kepuasannya adalah hal-hal seputar material dan atau barang-barang yang fana dan tidak kekal. Manusia akan terus menerus mengalami kehausan ketika ia menggantungkan tingkat kepuasan dirinya kepada hal-hal yang bersifat sementara.

Kepuasan yang sejati tolak ukurnya adalah Yesus Kristus. Blaise Pascal mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat sebuah ruang kosong yang hanya dapat ditempati oleh Allah. Tetapi, selama ini, manusia salah menempatkan sesuatu di dalam ruang kosong itu. Manusia mengisi ruang kosong itu dengan hal-hal fana dan bukan Allah. Akibatnya ia selalu menjadi haus dan tidak pernah mencapai kepuasan. Ruang itu harus ia berikan untuk hadirat Allah menempatiNya. Ketika seseorang membiarkan Allah menempati ruang kosong di dalam dirinya, maka ia akan mengalami kepuasan yang sejati dan dapat berkata “cukup” pada hal-hal yang menantang ia untuk menjadi seorang serigala yang rakus. (Josua J. Sengge)

ADAKAH ILAH-ILAH LAIN DIDUNIA ?

 

Keluaran 12:12 “Sebab pada malam ini Aku akan menjalani tanah Mesir, dan semua anak sulung, dari anak manusia sampai anak binatang, akan Kubunuh, dan kepada semua allah di Mesir akan Kujatuhkan hukuman, Akulah, TUHAN.”

Hal pertama yang harus dimengerti adalah Allah tidak mengakui keberadaan adanya ilah-ilah lain. Adanya ilah-ilah tidak pernah diakui oleh Allah, tetapi manusia. Manusia yang menciptakan bagi dirinya semacam ilah-ilah lain. Menurut Calvin, hal ini terjadi oleh karena pada dasarnya manusia memiliki seed of religion atau benih-benih ilahi di dalam dirinya. Ia membutuhkan suatu rasa ilahi bagi dirinya.

Akibat kejatuhan dalam dosa, seed of religion ini menjadi rusak. Ditunggangi oleh dosa, seed of religion melahirkan rupa-rupa allah yang coba dibentuk oleh manusia berdosa. Menurut tradisi Yahudi, kepercayaan terhadap ilah-ilah ini juga merupakan penyembahan terhadap malaikat-malaikat yang memberontak terhadap Allah disurga yang akhirnya dibuang oleh Allah. Namun tetap saja malaikat-malaikat itu bukanlah allah.

Munculnya ilah-ilah lain ini ditentang oleh Allah. Maka itu, di dalam Perjanjian Lama, untuk menyatakan kehadiranNya, Allah juga menyatakan namaNya untuk dapat membedakan diriNya dengan kepercayaan kepada ilah-ilah buatan manusia itu. Tujuan lain penyataan nama Allah adalah agar : 1) umatnya dapat mengenal diriNya dan 2) berelasi denganNya. Berelasi dengan Allah melalui nama yang spesifik itu penting bagi umat Israel pada waktu itu. Kepercayaan agama-agama kafir (pagan religion) meyakini bahwa penggunaan nama seorang dewa dapat membuka akses untuk dimanipulasikan kekuatannya.

Penyataan Allah untuk menentang ilah-ilah pada waktu itu bukan untuk menentang mereka, melainkan menentang keyakinan dari manusia berdosa dan menyatakan kebenaran tentang Allah yang sejati dan Esa (Monotheism). Maka itu, membaca Keluaran 12:12, bukan memaksudkan Allah yang mengakui keberadaan ilah-ilah lain, melainkan untuk membuktikan kuasa Allah yang melebihi kepercayaan-kepercayaan mereka yang salah dan seharusnya berbalik kepada Allah.

Penciptaan akan allah oleh manusia akibat seed of religion di dalam diri manusia tidak hanya menjangkiti bangsa-bangsa sekitar Israel atau dunia timur dekat kuno (Ancient Near East) pada waktu itu. Hingga hari ini, penyakit itu terus menggerogoti umat manusia. Tanpa sadar, seringkali kita menciptakan ilah-ilah kita sendiri dan menggantungkan hati kita kepada ilah tersebut. Tanpa sadar, seringkali hati kita masih terpaut dengan ilah-ilah lain buatan sesama kita dan lebih percaya kepada patung daripada Allah yang telah menyatakan diriNya langsung di dalam Alkitab. Pertanyaannya adalah dimanakah saat ini hatimu berada? (Josua J. Sengge)

 

« Older Entries     Newer Entries »