header image
 

All posts in July, 2015

CINTA BERKAT ATAU SUMBER BERKAT

Yakobus 4:4 “hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.”

Pertanyaan, “cintai berkat atau sumber berkat?” pertanyaan yang mudah bagi seorang Kristen untuk menjawabnya. Tentu jawabannya adalah mencintai sang “sumber berkat”, namun apakah di dalam praktek kehidupan, hal ini telah demikian terlaksana?

Kenyataannya, banyak didapati tidak demikian. Terlalu mudah mengatakan “Tuhan itu baik” ketika berkat-berkat Tuhan melimpah di dalam kehidupan seorang Kristen, tetapi tidak mudah mengatakan pernyataan di atas ketika masalah krisis ekonomi, hutang yang semakin banyak dan sebagainya mulai terjadi dalam kehidupan. Seorang Kristen kecenderungannya akan memaki-maki Tuhan, mengatakan “Tuhan jahat” dan tak jarang juga seseorang meninggalkan imannya daripada Tuhan. Hal ini terjadi sebagai bukti banyak orang Kristen lebih mencintai berkat Tuhan daripada Tuhan sang sumber berkat itu sendiri. Istilah kiasannya adalah memperlakukan Tuhan seakan “ada uang abang(Tuhan) disayang, tak ada uang abang(Tuhan) ditendang”.

Banyak juga orang Kristen yang salah memahami cinta akan Tuhan. Mereka tidak mecintai Tuhan dengan prinsip “apa adanya”, sebaliknya cinta mereka berdasarkan pada alas an “ada apanya?.” Banyak orang memilih percaya kepada Kristus karena menginginkan surga. Alasannya memilih Yesus bukan karena kesadaran bahwa dirinya adalah manusia berdosa dan membutuhkan sang juruselamat. Tanpa sadar, cintanya akan surga lebih besar daripada cintanya kepada Tuhan. Pertanyaannya adalah bagaimanakah jika surga dan neraka ternyata tidak ada, masihkah kita memilih dan mengasihi Tuhan? Orang Kristen yang berpikir seperti ini sebenarnya telah menghidupi iman yang lebih mencintai berkat daripada mencintai sang sumber berkat.

Pertanyaannya adalah, “mengapa seorang Kristen dapat lebih mencintai berkat dan bukan sang sumber berkat?” jawabannya adalah karena hilangnya kesadaran diri dalam menempatkan siapa dirinya dan siapa Tuhan di dalam kehidupannya. Singkatnya adalah “lupa diri”. Lupa diri membuat seseorang lupa bahwa sebenarnya kehidupannya yang baik adalah karena berkat daripada Tuhan dan dirinya tidak akan mengalami kehidupan yang baik jikalau bukan Tuhan yang memberikannya.

Lirik lagu ciptaan Jonathan Prawira yaitu “hati sebagai hamba” adalah pujian yang memberikan kesadaran kepada manusia untuk menyadari hal diatas. “ku tak membawa, apapun juga, saat ku datang ke dunia, ku tinggal semua, pada akhirnya, saat ku kembali ke surga.” Memberikan suatu makna bahwa manusia tidak lebih dari makhluk miskin yang datang dengan tangan kosong dan akan kembali pada akhir hidupnya juga dengan tangan kosong. Untungnya manusia adalah makhluk yang memiliki Tuan yang baik yang memberinya kehidupan sejahtera.

Seharusnya Firman Tuhan di dalam Matius 6:33, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranya, …” adalah Firman Tuhan yang berbunyi kuat ditelinga orang Kristen di dalam pencaharian hidupnya. Oleh sebab pencaharian harta disurga bersifat fana dan pengumpulan harta disurga lebih penting dan kekal maknanya (Matius 6:19-20).

Seorang Kristen selakunya harus memiliki hidup dengan prinsip “tangan terbuka”. Prinsip “tangan terbuka” memberikan beberapa indikasi penting, yaitu: 1) bergantung kepada Tuhan; 2) Terbuka untuk memberi, karena alasan berkat Tuhan tercurah juga adalah demi membantu sesama yang kesusahan; 3) siap melepas berkat Tuhan itu ketika dikehendaki Tuhan untuk diambil kembali olehNya. Berbeda kisahnya dengan orang yang hidup dengan prinsip “tangan tertutup”. Orang Kristen yang hidup dengan prinsip tangan tertutup adalah orang yang tidak membutuhkan pertolongan Tuhan, tidak terbuka membagi berkatnya pada orang lain, lantas juga tangan tertutup akan kesulitan untuk menerima berkat daripada Tuhan dan seorang yang akan sulit memberikan kembali berkat yang ia terima dari Tuhan ketika hal itu harus diambil daripadanya. Prinsip “Tangan Terbuka” dan “Tangan Tertutup” adalah dua perbedaan orang yang mencintai sumber berkat dan mencintai berkat. (Josua J. Sengge,mahasiswa semester 7 STT Amanat Agung Jakarta)

 

TERANG

Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.

(Mzm. 119:105)

Saya menyadari bahwa dalam usia 66 tahun, penglihatan saya sudah mengalami kemunduran. Oleh karena itu, saya tidak berani lagi mengemudikan mobil sendiri pada malam hari. Pada malam hari, ketika penerangan jalan raya kurang baik, saya sering kali tidak dapat melihat dengan jelas. Bahkan kadang-kadang saya kehilangan orientasi di mana saya berada. Oleh karena itu saya sangat berhati-hati. Pada malam hari saya lebih banyak tinggal di rumah demi keamanan dan kenyamanan. Penerangan sangat penting bagi kita semua, apalagi penerangan hati dan pikiran kita.

Apa yang terjadi jika penerangan hati dan pikiran kita menjadi “tumpul”? Tentu kita mudah sekali berbuat kekeliruan yang dapat mencelakakan orang lain atau diri sendiri. Mungkin saja kita menyakiti hati orang lain atau membuat orang lain tersinggung. Betapa indahnya orang yang hidup di dalam iman kepada Tuhan. Tuhan berjanji bahwa firman-Nya akan menerangi jalan kita. Pemazmur berkata, Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku. Apakah hati dan pikiran kita selalu diterangi firman Tuhan? Dengarlah firman-Nya, supaya kita tidak tersesat dalam perjalanan hidup di tengah dunia ini. Biarlah kita menjalani hidup ini seperti yang Tuhan inginkan.

Disadur dari Renungan Harian Lansia-Jendela Hati

“Mengabaikan ketidakadilan dalam bentuk apa pun sesungguhnya adalah perbuatan melanggar dan penuh dosa.”

(Yap Thiam Hien, 1913 — 1989)

 

Latar Belakang

 

Yap Thiam Hien lahir di Banda Aceh pada tanggal 25 Mei 1913, sebagai anak pertama dari pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Ia adalah cucu dari Kapitan Yap Hun Han, yang berimigrasi dari provinsi Guangdong, China, ke Bangka, sebelum akhirnya pindah ke Aceh.

Dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang kental dengan nuansa feodal, Yap Thiam Hien pun terbentuk menjadi pribadi pemberontak yang membenci segala bentuk penindasan atau kesewenang-wenangan. Ketika Yap berusia 9 tahun, ibunya meninggal. Kemudian, ia dan kedua adiknya dibesarkan oleh gundik kakeknya, seorang perempuan Jepang bernama Sato Nakashima.

Ketika Yap Sin Eng, ayah Thiam Hien, memutuskan untuk memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa, anak-anaknya pun memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan Eropa. Thiam Hiem pun bersekolah di Europesche Lagere School (Sekolah Eropa untuk pendidikan dasar – Red.), Banda Aceh. Kemudian, berlanjut ke MULO (Sekolah Eropa tingkat pendidikan menengah atau setara SMP – Red.) di Banda Aceh.Pada tahun 1920-an, Yap Sin Eng membawa Thiam Hien dan adiknya, Thiam Bong, pindah ke Batavia sehingga ia pun bersekolah di MULO Batavia, lalu meneruskan ke AMS A-II dengan program bahasa-bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta, dan akhirnya lulus pada tahun 1933. Ketika bersekolah di Yogyakarta, ia tinggal pada sebuah keluarga keturunan Jerman. Di sanalah awal mula ia mengenal gaya hidup Kristus dalam mewujudkan kasih, yang kemudian mendasari banyak prinsip hidupnya di kemudian hari. Pada masa itu pula, ia sangat tertarik akan sejarah dan banyak menghabiskan waktu membaca literatur berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin hingga menjadi fasih.

Keinginan Yap untuk mengenal iman Kristen berlanjut saat ia memasuki Sekolah Guru di Batavia, tempat ia menjadi aktivis pemuda dan guru sekolah minggu. Setelah mengikuti katekisasi dan dibaptis di GKI Perniagaan, Yap Thiam Hien pun menjadi seorang Kristen pada usia 25 tahun.Yap kemudian menjadi guru di Chinese Zendingschool, Cirebon, serta guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan di Christelijke School di Batavia. Pada tahun 1938, ia bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada tahun 1943. Seusai kemerdekaan, Yap melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, dan akhirnya meraih gelar Meester de Rechten (Master dalam bidang hukum – Red.)

 

Bekerja sebagai Advokat

 

Setelah kembali ke Indonesia, ia kemudian bekerja sebagai advokat yang banyak membela warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Pada tahun 1950,ia membuka kantor pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar, sebelum akhirnya membuka kantor pengacaranya sendiri pada tahun 1970. Sebagai seorang advokat, Yap banyak membela hak-hak kaum minoritas dan orang tertindas, dalam hal  ini etnis Tionghoa, yang banyak mengalami tindakan diskriminatif. Selain memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), Yap juga mendirikan BAPERKI, suatu organisasi massa yang awalnya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan politik orang-orang Tionghoa, yang mengantarnya menjadi anggota Konstituante (DPR pada era 1955 – Red.)

Dalam Pemilihan Umum 1955 nama Yap menjadi populer setelah menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia menjadi satu-satunya anggota konstituante yang menentang keberadaan pasal 6 UUD 1945 karena dianggapnya diskriminatif dengan konsep kepresidenan yang terlalu kuat.Sebagai seorang pengacara, uang tidak pernah menjadi tujuannya dalam membela perkara atau kasus seseorang. Motivasinya yang terbesar dalam membela seseorang adalah untuk melayani dan melindungi hak mereka di mata hukum. Hampir semua perkara yang ditanganinya selalu kental dengan isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, serta prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Meski hidup pada masa di mana belum ada kewajiban bagi para pengacara untuk melakukan pendampingan probono (membela klien yang berpenghasilan rendah dengan cuma-cuma -Red.), Yap Thiam Hien hampir selalu menangani kasus tanpa memungut bayaran dari kliennya. Menurut Yap Thiam Hien, “uang adalah tujuanyang tak dikedepankan dan karenanya tak kunjung datang, tetapi pendirian membuatnya bertahan”.

Yap menganjurkan agar setiap gereja mendirikan biro bantuan hukum untuk menolong mereka yang tidak memahami hukum dan tidak berdaya dalam membela haknya. Ide tersebut memang kemudian tidak dilakukannya di dalam gereja, tetapi bersama dengan Adnan Buyung  Nasution, Albert Hasibuan, dan beberapa orang lainnya, Yap menjadi pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sebuah lembaga bagi mereka yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di PHK, dan dilanggar hak-hak asasinya. Selain itu, ia juga turut merintis pembentukan Dewan HAM di Asia. Ia merupakan orang Indonesia pertama yang duduk di Komisi Internasional Advokat yang berkedudukan di Jenewa, serta konsultan HAM Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa. Yap Thiam Hien juga merupakan orang yang berjasa dalam mendirikan Universitas Kristen Indonesia (UKI).

 

Kiprah sebagai Pengacara Pembela Hak Asasi

 

Kepeduliannya yang besar terhadap penegakan hukum dan kebenaran,berkali-kali ditunjukkannya pada pilihannya untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM dan kepada mereka yang tertindas. Ia pernah menulis artikel yang menganjurkan kepada Presiden Soekarno untuk membebaskan para tahanan politik yang menjadi musuh pemerintah berkuasa saat itu, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen. Mewakili Amnesty Internasional,Yap meminta supaya para Tapol PKI dibebaskan.

Kasusnya yang paling fenomenal adalah ketika membela Soebandrio,Wakil Perdana Menteri Kabinet Dwikora I, Kepala Badan Pusat Intelijen, dan Menteri Luar Negeri Kabinet Djuanda, yang dituduh terlibat penculikan sejumlah jenderal pada peristiwa 30 September.Dalam pembelaannya di sidang, Yap menyatakan bahwa memang benar Soebandrio bersalah menjadi pendukung Soekarno. Namun, pada waktu itu, semua orang pun menjadi pendukung Soekarno. Yap kemudian mengambil cerita Injil tentang seorang perempuan yang hendak dirajam oleh para pemuka agama dengan tuduhan berzina, dan mengutip ucapan Yesus kepada para pemuka agama itu, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa,hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”(Yohanes 8:7). Karena pembelaannya itu, Yap dikagumi di dunia internasional.

Kiprahnya tidak berhenti ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. Dalam peristiwa Malari (Lima Belas Januari) 1974, Yap memosisikan dirimembela para aktivis sehingga ia ditahan tanpa proses peradilan karena dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi secara besar-besaran. Kemudian, pada peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap juga maju di dalam sidang peradilan untuk membela para tersangka. Ia juga menjadi seorang tokoh yang sangat antikorupsi, dan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 karena kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.

Yap Thiam Hien meninggal dunia pada tanggal 25 April 1989, setelah dirawat selama 2 hari karena mengalami pendarahan usus dalam perjalanan tugasnya untuk menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di Brussel, Belgia. Berdasarkan sepak terjang dan kegigihannya dalam membela hak asasi manusia, namanya pun kemudian diabadikan sebagai penghargaan bagi mereka yang berjuang untuk menegakkan HAM.

 

Sumber : Sabda.Org / Sumber bacaan:

  1. _____ “Obor Pejuang Keadilan dan HAM Yap Thiam Hien”. Dalam

   http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1787-obor-pejuang-keadilan-dan-ham

  1. Dior, Christian. “Yap Thiam Hien, Sang Pendekar Keadilan”. Dalam

   http://vicaraveritas.com/?p=55

  1. Ismael, Andar. 2014. “Yap Thiam Hien” Dalam “Selamat Berpadu”.

   Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 127 — 131.

  1. _____ “Yap Thiam Hien”. Dalam

   http://id.wikipedia.org/wiki/Yap_Thiam_Hien

 

 

 

 

MENIKMATI “HARI INI”

Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta pada jalan hidupnya? (Luk. 12:25) Pak Gideon telah memasuki masa pensiun. Istrinya nampak gelisah dengan keadaan tersebut. Pak Gideon dapat menangkap perasaan istrinya, katanya, “Ma, aku tahu engkau khawatir. Kehidupan memang berubah, namun hidup kita saat ini perlu kita hayati dan kita nikmati. Selama kita memiliki semangat, harapan dan tujuan hidup kita masih dapat berbahagia. Kita dapat menjadi pribadi yang lebih mantap. Usia kita memang bertambah tua, tetapi bagaimana kita menjadi tua adalah yang lebih penting di dalam hidup kita.” Masa pensiun adalah irama kehidupan baru. Banyak hal baru menjadi bagian hidup kita. Namun jangan biarkan kekhawatiran berlebihan merasuki hati kita. Itu hanya akan merampas kebahagiaan kita saat ini. Masa sekarang tidak kalah bernilainya dari masa lalu. Karena itu, bagaimana cara kita menyikapi hidup saat sekarang akan menentukan apakah hidup kita makin bernilai atau tidak. Tetaplah pancarkan keindahan hidup kita, walau hidup ini tidaklah sempurna. Nikmatilah hari ini sepenuhnya dengan menyerahkan diri kepada Tuhan. Setiap hari ada kekhawatirannya sendiri. Yakinlah bahwa setiap matahari terbit, selalu ada penyertaan Tuhan bagi kita.

Disadur dari Renungan Harian Lansia-Jendela Hati

 

Meskipun banyak misionaris pergi ke Cina selama abad 19, hanya sedikit misionaris yang memfokuskan pelayanannya ke bagian Indo-Cina — Vietnam, Laos, dan Kamboja. Baru ketika memasuki abad 20, para misionaris Kristen mulai menjalin persatuan untuk memantapkan pelayanan bersama ke negara-negara itu, dengan didukung oleh lembaga misi yang sudah cukup dikenal saat itu — The Christian and Missionary Alliance. Pelayanan ini terus berlanjut sampai akhirnya para misionaris dipaksa keluar dari Vietnam pada tahun 1970-an.

Indo-Cina merupakan wilayah yang paling sulit bagi pelayanan misi Kristen. Pada kenyataannya, belum pernah ada misionaris yang melayani di Indo-Cina yang terbebas dari penganiayaan. Sebagai hasilnya, banyak penduduk di Indo-Cina yang bekerja di berbagai instansi dapat mendengar dan menerima berita Injil. Namun demikian, harus diakui bahwa banyak dari mereka yang hidup dalam suasana ketakutan karena perlakukan dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Selama masa kolonial Perancis, kegiatan penginjilan dibatasi. Ketika Jepang berkuasa di sana selama Perang Dunia II, para misionaris yang menolak untuk pergi dikumpulkan dan ditahan dalam kamp tawanan.

Perang di Asia diakhiri dengan kalahnya Jepang pada tahun 1945 yang menyebabkan tidak adanya lagi kedamaian di Indo-Cina. Selama 8 tahun, sejak tahun 1946, Ho Chi Minh dan pengikutnya bertempur melawan rezim Perancis yang ada di Vietnam sampai Perancis menarik pasukannya. Namun, kedamaian masih tidak ada di Vietnam. Ketika penduduk Vietnam Utara yang hidup di bawah kekuasaan komunis pindah ke wilayah Selatan, tekanan di wilayah Utara semakin meningkat. Para gerilyawan komunis menyerang penduduk desa, dan pemerintah Saigon mulai bertindak. Masuknya tentara Amerika ke Vietnam mempertajam konflik yang berkembang sehingga menjadi perang besar. Para misionaris Amerika berada dalam bahaya yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.

Meskipun pasukan Amerika memusatkan perhatian sepenuhnya untuk wilayah Vietnam Selatan, misionaris masih juga menerima pukulan hebat dari para gerilyawan. Aksi tentara Amerika Serikat yang membantu program militer Vietnam Selatan telah menyakiti hati Viet Cong dan pemerintah Hanoi, dan misionaris dianggap sebagai bagian dari konspirasi kapitalis-imperialis yang akan mengatur Indo-Cina. Para misionaris menyadari adanya permusuhan tersebut, dan wilayah-wilayah yang dievakuasi telah terinfiltrasi oleh Viet Kong. Banyak dokter dan tenaga medis yang terlibat dalam pelayanan misi kesehatan di Vietnam mati sebagai martir. Beberapa di antaranya adalah Betty Mitchell, Betty Olsen, Hank Blood, dan Mike Benge.

Menjadi pahlawan misi wanita tampaknya tidak sesuai dengan gambaran diri Betty Olsen. Banyak orang yang telah mengenalnya sejak lama mungkin meragukan kemampuannya untuk terlibat dalam pelayanan misi. Meski demikian, beberapa jam menjelang perayaan Tet (Tahun Monyet yang dipercaya orang Vietnam) pada 30 Januari 1968, ia mempertaruhkan nyawanya saat merawat gadis kecil, Carolyns Griswold, yang terluka parah dan berjuang untuk membawa gadis kecil itu ke rumah sakit. Dan, di bulan-bulan selanjutnya yang cukup meletihkan, Betty Olsen membuktikan dirinya sebagai salah satu pahlawan iman di Vietnam.

Betty berusia 34 tahun saat pembunuhan masal di Banmethuot terjadi. Ia mendaftarkan diri sebagai perawat yang melayani kurang dari tiga tahun bersama The Christian and Missionary Alliance di Vietnam. Pelayanan misionari bukanlah hal yang baru bagi Betty. Ia dibesarkan sebagai seorang anak misionaris di Afrika, dan masa-masa terindahnya dilewatkan di negara ini. Namun, masa kanak-kanaknya dipenuhi juga dengan kekacauan. Ingatan-ingatan tentang masa kecilnya yang terlintas adalah kesibukan orang tuanya dalam pelayanan misi, sehingga sering kali mereka pergi berhari-hari untuk mengunjungi gereja-gereja di Afrika. Saat berumur 8 tahun, Betty bersekolah hanya selama 8 bulan setiap tahunnya, di mana setiap malamnya ia selalu menangis sebelum tidur. Bagi Betty, tinggal di asrama bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Ia memberontak terhadap aturan-aturan dan menolak berteman dengan anak-anak sebayanya. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan takut terluka atau kecewa jika nanti harus berpisah. Rasa tidak aman yang dimilikinya pada usia remaja semakin bertambah parah ketika ibunya menderita sakit kanker, dan meninggal menjelang ulang tahun Betty yang ke-17.

Betty menyelesaikan SMU-nya di Amerika Serikat, lalu kembali lagi ke Afrika. Ia masih bergumul dengan perasaan tidak amannya dan mencari perhatian dari ayahnya. Kemudian, ia kembali lagi ke Amerika Serikat untuk mengikuti pelatihan perawat di sebuah rumah sakit di Brooklyn. Setelah itu, Betty mendaftarkan diri ke Nyack Missionary College untuk mempersiapkan kariernya sebagai seorang misionaris.

Meski demikian, Betty masih belum menemukan sukacita sejati. Setelah lulus kuliah tahun 1962, ia tidak diterima untuk melayani di C&MA. Jadi, ia memutuskan kembali ke Afrika untuk melayani bersama ayahnya. Karena banyaknya pemberontakan yang terjadi di Afrika dan juga karena ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan para misionaris lainnya, Betty diminta untuk tidak lagi melayani di tempat itu.

Pada usia 29 tahun, Betty menjadi perawat di Chicago dan benar-benar mengalami depresi rohani. Ia bertemu dengan seorang pria muda yang kehidupan rohaninya mengubah hidup Betty. Pemuda ini, Bill Gothard, aktif melayani para pemuda gereja di wilayah Chicago. Betty menceritakan pergumulannya kepada pemuda ini yang kemudian memberi Betty prinsip-prinsip Alkitab untuk mengatasi pergumulannya tentang hidup kekristenan. Setelah bergumul, Betty akhirnya mengambil keputusan, bahkan mempunyai kerinduan untuk melayani Allah dan menjadi wanita lajang.

Sementara mengikuti konseling, Betty juga menjadi misionaris yang aktif di Vietnam. Konselornya, Bill Gothard, juga mengembangkan pelayanannya dengan mengadakan sebuah seminar yang dikenal dengan nama Institute in Basic Youth Conflicts. Seminar ini diadakan berdasarkan banyaknya pertanyaan dan pergumulan yang dialami Betty.

Di Vietnam, Betty bersama dengan Hank Blood (dari Wycliffe Bible Translator) dan Mike Benge ditangkap oleh pasukan Viet Cong. Ketiganya dipaksa berjalan menembus hutan selama 12 — 14 jam setiap hari. Mereka menderita demam tetapi tidak mendapatkan pengobatan. Betty adalah yang paling sehat di antara ketiga tawanan itu. Kondisi Mike semakin buruk karena penyakit malaria yang dideritanya, namun ia bisa bertahan. Sedangkan Hank, selain mengalami perlakuan kasar dari para penangkapnya dan perjalanan panjang menembus hutan, penyakit ginjal yang ia derita semakin memperburuk keadaannya. Setelah mengalami lima bulan penderitaan, Hank mengembuskan nafas terakhirnya pada pertengahan Juli.

Betty dan Mike lambat laun mengalami kekurangan gizi. Kondisi kesehatan Betty menurun drastis. Kedua kakinya sangat sulit untuk dipakai berjalan. Setiap kali ia terjatuh, penangkapnya memukul dia. Ia menangis dan memohon kepada penangkapnya agar membiarkan dia mati di hutan. Namun, permohonan itu diabaikan. Kondisinya bertambah buruk dengan penyakit disentri yang dideritanya. Saat Betty berulang tahun yang ke-35, ia mengalami kesakitan yang luar biasa di seluruh tubuhnya sampai tidak bisa berjalan lagi. Dua hari kemudian, Betty meninggal dunia.

Setelah kematian Betty, Mike dibawa ke Hanoi Hilton sebagai tempat penahanannya yang kedua. Pada Januari 1973, setelah hampir lima tahun berada dalam tahanan, Mike dibebaskan. Kemudian, ia menceritakan kepada keluarga Betty Olsen dan Hank Blood tentang perjalanan mengerikan yang mereka alami saat berada di hutan Vietnam. Ia menceritakan bagaimana ketiganya hanya bersandar penuh pada kekuatan Allah. Meskipun kondisi ketiganya tidak terlalu baik, mereka tetap berusaha untuk menguatkan hati orang-orang Kristen lainnya yang juga ditawan. Dalam diri Betty, yang terkenal suka memberontak dan berkata-kata tajam, Mike menjumpai seorang pribadi yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Kasih Kristus yang dimiliki Betty sangat nyata dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Sampai akhir hidupnya, Betty tetap mengasihi orang-orang yang telah menahannya dan memperlakukannya dengan kasar.

Sumber : Bio Kristi -Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama situs : e-Misi
Alamat URL : http://misi.sabda.org
Judul asli artikel : Betty Olsen dan Vietnam Martyrs
Penulis : Tidak dicantumkan
Tanggal akses : 3 April 2013

MENYENANGKAN SEMUA ORANG

Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal, bukan untuk kepentingan diriku, tetapi untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat.

(1Kor. 10:33)

Ibu Ceria berumur 70 tahun. Ia seorang pelayan khusus yang melayani sesama lansia. Ia sering menghadapi kesulitan dalam melayani berbagai keinginan jemaat. Maklum, semakin berumur biasanya orang jadi seperti anak kecil lagi. Ingin selalu diperhatikan, kadang-kadang mudah tersinggung, kesal atau tidak peduli kepada orang lain. Ibu Ceria sadar, untuk dapat melayani dengan baik ia butuh pertolongan Tuhan. Ia selalu memohon kepada Tuhan agar ia diberi hikmat dan bijaksana serta tuntunan Roh Kudus.

Rasul Paulus dalam pelayanannya juga berusaha melakukan segala sesuatu dengan baik. Ia berusaha menyenangkan semua orang dalam segala hal. Bukan untuk mencari nama atau kepentingan dirinya, melainkan untuk kepentingan orang banyak. Paulus rindu agar keselamatan di dalam Kristus juga dialami orang-orang yang dilayaninya. Nah bagaimana dengan kita? Apakah kita juga melayani orang-orang di sekitar kita dengan tulus? Untuk kepentingan siapa? Kepentingan mereka atau kepentingan kita? Mari kita belajar dari Paulus, agar segala sesuatu yang kita lakukan semata-mata agar orang yang kita layani mendapat keselamatan di dalam Kristus.

 

Disadur dari Renungan Harian Lansia-Jendela Hati

Kesombongan Rohani

Pengkhotbah 7 : 1-22

Pembicara Sdra.Timotius Haryono

???????????????????????????????

Sombong adalah merasa bangga pada dirinya,merasa lebih besar dari orang lain,dan yang paling parah adalah sombong pada pencipta dengan menolak kebenaran dan angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatan.Dalam kitab ini,kita dapat melihat bahwa hikmat diperoleh melalui kedukaan (ay 2 & 4 ).Rumah duka memberi gambaran hidup dan refleksi agar kita dapat memikirkan kembali apa arti hidup kita ini.Kita diajarkan untuk tidak sombong dan hidup takut akan Tuhan,karena semua da kesudahannya.

Tuhan menjadikan hari baik dan buruk,agar manusia tidak mengandalkan diri sendiri,tetapi selalu mengandalkan Tuhan.Jika kita memiliki pola hidup dan pola pikir didalam Tuhan,maka apapun yang kita hadapi,kita akan tetap bertahan karena iman didalam Kristus.Lee Kuan Yew berkata “Orang sombong itu ibarat seseorang yang berdiri diatas gunung.Ia melihat semua dibawahnya kecil,tetapi ia tidak sadar kalau orang-orang dibawahnya pun melihat ia begitu kecil.”

Kesombongan rohani itu tersembunyi dan tidak dapat dilihat secara langsung.Tetapi dapat diketahui dari cara seseorang meresponi banyak hal.Bahkan kita juga sering tidak menyadari kalau kita telah menjadi orang yang sombong.Kita harus belajar melihat diri kita,dalam pelayanan kita agar tidak menjadi sombong rohani dan yang paling penting tidak merasa lebih tinggi dari Allah.Tetapi hendaklah kita selalu menyadari bahwa Allah lah yang berada diatas segala-galanya.

Jadilah wanita-wanita yang menjadi terang dalam segala aspek hidup kita,sehingga banyak orang diselamatkan dan diberkati.Mintalah dan miliki lah hikmat yang dari Allah saja.Amin.

Doa syafaat :

Pimpin doa : Ibu Ingrid Hamatara-Boesday / Doa penutup : Sdra.Timotius Haryono

Ibadah :

MC : Aci Emma /Pemusik : Sdri.Nikita Siung /Kolektor : Ibu Lomi /Doa Pembuka : Ibu Dewi / Doa Penutup : Pdt.Anthonetha Manobe,S.Th/Kesaksian : Aci Sisca (mengenai jambore perempuan) & Ibu Dewi (mengenai ret-ret sekolah minggu) / Kehadiran : 44 orang (2 laki-laki).

GAGAL?

Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.

(Rom. 7:15)

Ibu Henny adalah seorang yang baru saja mengenal Kristus. Ia nampak begitu bersemangat mengikuti kegiatan di gereja. Namun ada kalanya semangatnya meredup. Mengapa? Ibu Henny berkata, “Saya kadang merasa malu, masih banyak gagal dalam memperbaiki hidup saya. Saya tahu Tuhan mengampuni saya, tetapi ternyata sulit bagi saya mengubah banyak kelemahan saya. Seringkali saya jatuh dalam kesalahan atau dosa yang sama. Meski saya berniat baik, tetapi apa yang saya lakukan adalah yang sebaliknya. Saya tidak tahu harus bagaimana!”

Paulus juga bergumul dengan hal yang sama. Ia ingin melakukan apa yang baik, tapi yang ia lakukan justru hal yang jahat. Paulus jadi makin memahami betapa kasih Tuhan amat besar kepadanya. Tuhan tidak mempermasalahkan segala kegagalan kita. Ia memahami dan memperhatikan niat serta usaha kita untuk bangkit menjalani hidup baru. Apakah kita pernah terjebak dalam perasaan bersalah seperti yang dialami oleh Ibu Henny? Janganlah kegagalan itu membuat kita makin jauh dari Tuhan; sebaliknya sadarilah Ia begitu mengasihi kita. Kembalilah kepada Tuhan dan ulurkan tangan kita supaya Tuhan saja yang membimbing kita.

Disadur dari Renungan Harian Lansia-Jendela Hati

 

PENGABDIAN

Kata Yesus kepada mereka: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”(Yoh. 4:34)

“Semoga sukses!” adalah kalimat yang sering diucapkan kepada orang yang sedang mulai melakukan suatu pekerjaan. Banyak orang berharap untuk menjadi orang sukses. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Semua orang boleh mengejar kesuksesan. Tidak ada larangan untuk menjadi sukses. Hanya, itu menjadi salah bila kesuksesan dijadikan hal yang utama atau yang paling penting dalam hidup. Pertanyaan yang lebih penting adalah: “Setelah sukses, lalu mau apa?” Ada orang yang setelah sukses justru tidak bahagia, merasa kosong dan hampa, dan akhirnya bunuh diri.

Tujuan utama hidup kita seharusnya adalah untuk mengabdi kepada Tuhan. Kesuksesan yang kita raih harus kita gunakan untuk melayani Tuhan. Albert Einstein pernah mengatakan “Strive not to be a success, but to be a value” (Jangan berusaha untuk menjadi sukses, tapi untuk menjadi bernilai). Tuhan Yesus mungkin tidak dipandang sebagai orang sukses oleh dunia, tapi Ia “sukses” melakukan kehendak Bapa-Nya, yaitu melakukan pekerjaan baik yang ditugaskan kepada-Nya. Bagaimana dengan sobat lansia? Mungkin dalam pandangan dunia kita bukan orang sukses, tapi jika kita mengabdi kepada Tuhan, kita akan menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan-Nya kepada kita.

Disadur dari Renungan Harian Lansia-Jendela Hati

 

SEPERTI MAU MATI RASANYA

“Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.”

(Mat. 26:38)

Bu Tina sangat sedih. Sudah lima tahun ia menantikan kehadiran bayinya. Kini ia mengandung 7 bulan, namun dokter menemukan jantung bayi dalam kandungannya bocor, sehingga harus dikeluarkan secara operasi. Bu Tina dan segenap keluarga serta sahabat-sahabatnya menaikkan doa syafaat agar bayinya dapat tertolong. Namun bayinya meninggal dunia sesaat setelah persalinan. Bu Tina hancur hati, ia sungguh-sungguh sangat sedih. Apakah sahabat lansia pernah sangat sedih?

Tuhan Yesus pernah sangat sedih, bahkan seperti mau mati rasanya. Mengapa demikian? Karena sudah terbayang penderitaan-Nya demi memikul dosa manusia serasa ditinggalkan oleh Bapa-Nya. Agaknya tidak seorang pun mampu mendalami rasa “seperti mau mati” itu. Namun, Tuhan Yesus tidak menyerah. Ia bersujud dan berdoa. Kekuatan menghadapi derita salib yang bakal dijalani-Nya melibatkan Sang Bapa. Yesus percaya penuh bahwa kehendak Bapa-lah yang terutama. Dengan berserah kepada Bapa-Nya Ia akan mendapat kekuatan. Nah, bukankah kita patut belajar dari sikap Tuhan Yesus? Jika kesedihan melanda kita, datanglah kepada Bapa di surga dalam doa. Bersama-Nya kita dikuatkan dan mohonlah kepada-Nya, kehendak-Nya yang terjadi.

 

Disadur dari Renungan Harian Lansia-Jendela Hati

 

« Older Entries     Newer Entries »