header image
 

All posts in February 14th, 2015

Kisah Baut Kecil

Bacaan: Filipi 2 : 1-11
 
Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; - Filipi 2:3

Sebuah baut kecil bersama ribuan baut seukurannya dipasang untuk menahan lempengan-lempengan baja di lambung sebuah kapal besar. Saat melintasi samudera Hindia yang ganas, baut kecil itu terancam lepas. Hal itu membuat ribuan baut lain terancam lepas pula. Baut-baut kecil lain berteriak menguatkan, “Awas! Berpeganglah erat-erat! Jika kamu lepas kami juga akan lepas!” Teriakan itu didengar oleh lempengan-lempengan baja yang membuat mereka menyerukan hal yang sama. Bahkan seluruh bagian kapal turut memberi dorongan semangat pada satu baut kecil itu untuk bertahan. Mereka mengingatkan bahwa baut kecil itu sangat penting bagi keselamatan kapal. Jika ia menyerah dan melepaskan pegangannya, seluruh isi kapal akan tenggelam. Dukungan itu membuat baut kecil kembali menemukan arti penting dirinya di antara komponen kapal lainnya. Dengan sekuat tenaga, ia pun berusaha tetap bertahan demi keselamatan seisi kapal.
Sayang, dunia kerja seringkali berkebalikan dengan ilustrasi di atas. Kita malah cenderung girang melihat rekan sekerja “jatuh”, bahkan kita akan merasa bangga apabila kita sendiri yang membuat rekan kerja gagal dalam tanggung jawabnya. Jika itu dibiarkan, artinya perpecahan sedang dimulai dan tanpa sadar kita menggali lubang kubur sendiri. Apa yang disebut gaya hidup seorang Kristen seakan tidak berlaku di tempat kerja. Padahal setiap tindakan yang kita lakukan akan selalu disorot oleh Sang Atasan.
Bagaimana sikap kita dengan rekan kerja? Mungkin saat rekan kerja menghadapi masalah, kita menganggap itu risiko yang harus ia hadapi sendiri. Tapi sebagai tim, kegagalan satu orang akan selalu membawa dampak pada keseluruhan. Jadi mengapa kita harus saling menjatuhkan? Bukankah hasilnya tentu jauh lebih baik jika kita saling mendukung dan bekerjasama menghadapi persoalan? Kristus mengajarkan bahwa kita adalah satu tubuh. Jika satu anggota mengalami masalah, yang lainnya harus mendorong dan menguatkannya. Jangan sampai masalah yang dialami rekan kerja malah membuat kita senang. Tapi baiklah kita berseru, “Berpeganglah erat-erat! Tanpa kamu, kami akan tenggelam!”
Kegagalan atau kesuksesan rekan sekerja akan selalu mempengaruhi diri kita juga.
Disadur Dari Renungan Harian Kristen

 Memberi Dengan Kasih

Di tengah era globalisasi dan kemajuan zaman yang semakin pesat ini ada juga sebagian orang yang kurang beruntung. Orang-orang seperti ini terpaksa harus berusaha minta belas kasihan orang lain dengan mengemis. Berbagai cara digunakan oleh orang-orang ini untuk menarik simpati orang lain agar mau memberi. Mulai dari pura-pura sakit dan dengan penampilan yang memprihatinkan. Bahkan ada pengemis yang menyewa bayi untuk menarik belas kasihan orang kepadanya, biasanya dalam sehari pengemis ini memberi uang tiga ribu sampai lima ribu untuk bayi yang disewa! Salah satu desa di kota Brebes terkenal dengan nama desa pengemis, karena pada musim-musim hari raya tertentu mereka memilih mengemis di kota-kota besar daripada bekerja di desa.
Bila diperhatikan dengan seksama, sesungguhnya sebagian dari orang-orang ini ada yang tidak berkekurangan. Namun karena memiliki mental meminta-minta, maka jadilah mereka pengemis. Lepas dari hal ini, kita pun tahu bahwa banyak juga dari antara mereka yang memang hidup di bawah garis kemiskinan. Lalu bagaimana respon kita saat mereka berdiri di depan kita untuk meminta-minta? Tanpa harus menaruh curiga yang berlebihan atau berprasangka yang tidak-tidak, sudah seharusnya kita yang identik dengan kasih bisa memberi sesuatu kepada mereka.
Selain itu, bukankah kita juga tidak akan pernah mau berada di posisi mereka untuk menjadi peminta-minta? Bersyukur sebab Firman Tuhan berkata bahwa tidak dibiarkan orang benar ditinggalkan dan anak cucunya tidak akan pernah meminta roti. Kita tidak perlu memiliki mentalitas seorang pengemis yang selalu meminta-minta dan mengharapkan belas kasihan orang lain. Pada saat yang sama tak perlu kita menghakimi atau menjadi benci dengan pengemis yang sedikit banyak cukup merepotkan kita. Praktekkanlah hidup di dalam kasih. Bagikanlah berkat kepada sesama kita. Tidak ada sesuatu yang lebih indah daripada kita memberi arti penting bagi sesama kita.
Hiduplah di dalam kasih. Ada keindahan di dalam berbagi, termasuk ketika kita memberi dengan kasih.
Disadur Dari Renungan Harian Kristen

 

 

Kasih Tanpa Syarat

Mazmur 103:8-14; Lukas 15:24

Gaby adalah seorang wanita berusia 26 tahun, yang memiliki wajah cantik, otak cerdas, dan lagi takut akan Tuhan. Bermodalkan kecantikan serta kepandaiannya, ia mengikuti sebuah kompetisi kecantikan, dan berhasil meraih juara pertama. Karena keberhasilannya, dia menjadi terkenal di mana-mana, bahkan dia juga sering bersaksi di gereja tentang kebaikan-kebaikan Tuhan di dalam hidupnya. Hal itu pasti sangat membanggakan kedua orang tua dan seluruh keluarganya, terlebih lagi bagi Tuhan. Namun, di tengah perjalanan kesuksesannya, dia mulai tergoda dalam bujukan dunia yang menghampirinya, bahkan sampai meninggalkan Tuhan Yesus. Hal ini tentunya membuat seluruh keluarganya malu dan sangat kecewa sekaligus sedih. Bahkan kedua orang tuanya pun sempat marah besar kepadanya, sehingga Gaby kabur dari rumahnya. Suatu saat Gaby terlibat dalam sebuah masalah yang sangat rumit, yang menyebabkan dia harus dimasukkan ke dalam penjara. Ketika kedua orang tuanya mendengar kabar itu, mereka pun mengunjungi Gaby ke dalam penjara. Setiap hari orang tuanya selalu membawakan makanan kesukaannya, dan lagi ayah dan ibunya selalu mendoakannya di hadapan Gaby sambil merangkulnya. Orang tuanya masih tetap mengasihinya, walaupun Gaby sudah pernah membuat orang tuanya marah besar. Oleh karena kasih orang tuanya itu juga, hati Gaby luluh dan meminta maaf kepada orang tuanya.
Dalam kehidupan ini, secara sengaja ataupun tidak sengaja, satu atau bahkan berulang kali, kita pernah menyakiti hati Tuhan. Melalui perkataan, tindakan, bahkan melalui pikiran kita. Menyakiti hati Tuhan sama saja artinya dengan berbuat dosa. Tidak ada dosa besar dan dosa kecil atau dosa hitam maupun dosa putih di hadapan Tuhan. Yang namanya dosa tetaplah dosa, dan itu adalah hal yang sangat dibenci Tuhan. Walaupun Tuhan sangat membenci dosa, Ia tidak pernah membenci kita. Ia mengasihi kita sebagai anak-anakNya, Ia tidak ingin kita terus hidup di dalam dosa.
Seperti perumpamaan anak yang hilang yang dikisahkan di dalam Alkitab, saat si anak bungsu yang hilang itu kembali kepada bapanya, bapanya menyambutnya dengan bahagia, bahkan sang anak diberikan pakaian yang paling indah dan dibuatkan pesta meriah di rumahnya. Karena anaknya yang selama ini dianggap telah “mati” menjadi “hidup” kembali atau anak yang dianggap telah hilang telah didapat kembali (Luk 15:24). Kita pun seperti anak yang hilang itu saat hidup kita jauh dari Tuhan, sesungguhnya Tuhan sangat merindukan kita untuk kembali kepadaNya. Di saat kita kembali kepadaNya, Ia pasti akan menyambut kita dengan sukacita, bahkan seisi Sorga pun akan bersukacita menyambut pertobatan kita. Namun demikian, janganlah kita mendukakan hati Tuhan, karena kita ini adalah anak-anak yang paling Ia kasihi. Dan Ia tidak ingin anak-anakNya terjebak dalam maut akibat dosa.

 

Disadur dari Renungan Harian Manna Sorgawi

Pasanganku Yang Menyempurnakanku

1 Korintus 12:22-23; 13:4-7; Efesus 5:22-25, 28-30

Kisah cinta sejati tidak hanya terjadi di dalam film-film atau novel-novel saja, namun banyak juga yang terjadi di dalam kehidupan nyata. Seperti yang dialami oleh Ian dan Larissa Murphy. Larissa tetap meminta untuk dinikahi kekasihnya yang mengalami kelumpuhan otak. Sebelum mengalami kelumpuhan otak, Ian adalah pria normal yang tampan dan pintar. Hubungan mereka telah berjalan selama 10 bulan, dan mereka bersama keluarga masing-masing telah merencanakan pernikahan. Namun, sebuah tragedi terjadi, yang mengancam rencana mereka.
Sore itu, Ian yang baru pulang dari kantor mengalami kecelakaan hebat, dan segera dilarikan ke rumah sakit. Malamnya, Larissa mendapat kabar dari orang tua Ian bahwa kekasihnya tersebut dalam keadaan kritis. Dan yang lebih mengejutkan Larissa, Ian mengalami cedera otak traumatis atau kerusakan mendadak pada otak. Akibatnya, Ian menjadi cacat mental dan tidak bisa menjadi normal kembali, untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Namun, hal itu tidak membuat hati wanita cantik itu beralih ke pria lain. Bahkan, beberapa hari setelah Ian keluar dari rumah sakit, Larissa pindah ke rumah keluarga Ian untuk merawatnya. Larissa paham bagaimana buruknya keadaan Ian saat itu. Namun yang menguatkan Larissa adalah, dia yakin bahwa Ian tetap mencintainya. Hampir tiap waktu Larissa mengajaknya berbincang, walaupun sangat sulit ditanggapi oleh Ian. Bahkan, Larissa juga membuat lelucon seperti yang dahulu sering mereka lakukan bersama. Larissa juga mempersiapkan hari khusus untuk berkencan seperti pasangan lainnya, walaupun mereka terlihat aneh di hadapan banyak orang saat berkencan di luar. Setelah melalui banyak tantangan, rencana mereka untuk menikah pun terlaksana. Larissa tetap menerima keberadaan Ian, meskipun tidak mudah baginya. Semua keluarga dan teman-teman mereka hadir dalam pernikahan itu. Dengan setia dan sabar, Larissa duduk mendampingi serta melayani Ian. Dia terus menunjukkan senyum kebahagiaannya ke semua orang. Selain cinta yang masih ada di antara mereka, yang membuat Larissa tetap mempertahankan hubungan mereka adalah keyakinannya bahwa ada maksud Tuhan di balik semua yang harus dihadapi itu.
Pernikahan bukan menyatukan sepasang manusia yang sama-sama sempurna, justru menyatukan sepasang manusia yang tidak sempurna. Dalam ketidaksempurnaan masing-masing pribadi, akan disempurnakan oleh kelebihan yang dimiliki oleh sang pasangan, begitulah yang dinamakan saling melengkapi. Bagaimanapun buruknya keadaan pasangan kita, secara fisik, ekonomi, ataupun pendidikan, syukuri dan yakinilah bahwa dia yang Tuhan pakai untuk menolong setiap aspek kehidupan kita, dan dia jugalah yang akan melengkapi kesempurnaan hidup kita. Berbahagialah orang yang memperlakukan dan diperlakukan pasangannya dengan kasih dan ketulusan!

Disadur dari Renungan Harian Manna Sorgawi

Pada masa Tuapun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar. Mazmur 92:15

Untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-80, George Bush Sr, merayakannya dengan terjun payung dari ketinggian 4.000 meter bersama tim parasutnya. Diusia ke 88, John Wesley masih berkhotbah dengan semangat. Sedangkan arsitek Frank Lloyd Wright menghasilkan karya monumental museum Guggenheim pada akhir hidupnya di usia 90 tahun. Mereka adalah mungkin orang-orang yang seperti digambarkan pepatah Tiongkok, “jahe semakin tua akan semakin pedas”. Atau di dalam negeri, “tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”.

Sekalipun dalam dunia kerja ada batasan usia produktif, dalam hal menjadi berkat bagi sesama, usia sama sekali bukanlah halangan. Banyak tokoh mendapatkan kesempatan menghasilkan mahakarya justru pada usia tua. Waktu dapat mengubah kulit atau fisik kita menjadi tua, tetapi semangat yang patahlah yang akan mengubah jiwa menjadi tua. Jika anda tak dapat lagi bermimpi, jika harapan membeku, jika anda sudah tidak dapat lagi memandang ke depan, jika nyala ambisi sudah redup, maka anda sebenarnya sedang menjadi tua meski secara usia anda masih muda. Tetapi jika anda dapat selalu mengambil sari dalam hidup ini, jika anda tetap mengobarkan semangat dalam hidup, jika anda mempunyai kasih sayang untuk dibagikan, maka berapapun tahun-tahun yang sudah anda lalui, jiwa anda sebenarnya tetap muda dan segar.

Alkitab mencatat dalam Ulangan 34:7, “Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang. “Bahkan pada saat Kaleb berumur 85 tahun ia berkata, “Pada waktu ini aku masih sama kuat seperti pada waktu aku disuruh Musa; seperti kekuatanku pada waktu itu demikianlah kekuatanku sekarang untuk berperang dan untuk keluar masuk” (Yoh 14:11). Tua atau muda, berkarya atau pensiun bukan ditentukan oleh berapa usia kita saat ini. Yang terpenting adalah, apakah kita masih tetap berbuah? Tetaplah berkarya karena tidak akan ada yang dapat menghambat ide brilian anda, bahkan usia sekalipun.

Adalah seorang Bapak yang berprofesi sebagai pengusaha. Setiap hari Bapak ini harus menyeberang sungai dengan sebuah kapal kecil untuk menuju ke kantornya. Sebelum pergi, biasanya ia mampir di sebuah kedai yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan itu untuk minum kopi. Di sekitar kedai itu ada beberapa anak kecil yang menawarkan jasa semir sepatu kepada pria-pria yang sedang duduk menikmati hangatnya kopi pagi.

Bapak inipun memanggil seorang anak kecil untuk menyemir sepatunya. “Nak, mari datang kemari. Tolong semirkan sepatu Bapak ya?” Anak kecil itupun datang menghampiri Bapak ini dan dengan penuh semangat mulai menyemir sepatunya. Dari mata anak itu terpancar betapa senangnya ia melakukan pekerjaan itu untuk Bapak ini. Setelah selesai, sejumlah uangpun diberikan kepadanya, dan anak itu mengucapkan terima kasih.

Keesokan harinya, ketika Bapak ini baru saja turun dari kapal kecil yang ditumpanginya, dari kejauhan anak itu segera berlari mendapatkan Bapak ini. Dengan senang hati ia membantu membawa tas Bapak ini sampai ke kedai kopi. Sementara Bapak ini menikmati hangatnya kopi pagi, anak kecil itu menyemir sepatunya sampai mengkilap. Seperti biasanya, setelah anak itu selesai menyemir sepatu, Bapak ini kemudian memberikan sejumlah uang kepadanya.

Kejadian ini terus saja berulang sampai suatu pagi terjadi suatu hal yang tidak seperti biasanya. Pagi itu, ketika anak kecil ini melihat sang Bapak turun dari kapal, dengan sekuat tenaganya ia berlari mendapatkannya dan membawa tasnya sampai ke kedai kopi. Ia membuka sepatu Bapak ini dengan tangannya sendiri dan kemudian menyemir sepatunya sampai mengkilap. Dari sorot matanya yang polos, ia melakukannya dengan penuh antusias. Setelah selesai, Bapak ini kemudian mengeluarkan sejumlah uang dari kantongnya untuk memberikannya kepada anak itu. Tapi reaksinya sungguh berbeda. Anak itu menolak pemberian Bapak ini.

Bapak ini kaget. ‘Apa yang terjadi? Apa ia tidak membutuhkan uang?’, tanya Bapak itu dalam hatinya. Kemudian dengan lembut Bapak ini bertanya sambil menatap wajah anak itu, “Nak, kenapa kamu tidak mau mengambil uang ini? Apakah kamu tidak membutuhkannya?” Dengan mata berkaca-kaca anak kecil tersebut menjawab, “Pak, saya ini anak yatim piatu. Saya hidup di jalanan. Kedua orang tua saya sudah lama meninggal. Saya belum pernah merasakan bagaimana kasih sayang orang tua. Tetapi ketika kita pertama berjumpa dan Bapak memanggil saya dengan sebutan, ‘Nak, mari datang kemari’, sewaktu Bapak memanggil saya ‘Nak’, saya merasa seperti anak Bapak. Saya merasa memiliki ayah lagi. Oleh sebab itu saya tidak mau lagi mengambil uang yang Bapak berikan kepada saya. Mulai sekarang, tidak ada satupun yang tidak ingin saya buat bagi Bapak. Semuanya saya mau lakukan untuk menyenangkan hati Bapak.”

Kemudian sambil menangis, sambil memegang bahu anak itu dan memandang wajahnya, Bapak itu bertanya, “Nak, maukah mulai saat ini juga kamu tinggal bersama saya dan menjadi anak saya?” Sambil memeluk erat Bapak itu anak ini menjawab, “Ya, Pak. Saya mau!”

Bukankah demikian dengan kita? Ketika kita sebagai anak yang terhilang, Tuhan datang sebagai Bapa yang baik menghampiri dan memanggil kita, “Nak, mari datang kemari!” Saat suara itu memanggil, kita merasakan kembali kasih Bapa. Ketika kita merasakan kasihNya yang besar, kasih tanpa batas dan tanpa syarat itu, kasih Bapa itu pula yang dapat membuat kita berkata seperti anak kecil itu, “Mulai sekarang, tidak ada satupun yang tidak ingin saya buat bagi Bapak. Semuanya saya mau lakukan untuk menyenangkan hati Bapak.”

Bahasa Kasih

index

II Korintus 13 : 1-13

Pembicara : Ev.Foera Era Hura,S.Th

 

Bahasa adalah suatu pokok atau dasar untuk berkomunikasi,agar orang lain mengerti maksud yang disampaikan.Bahasa adalah anugerah Allah,karena dengan bahasa,manusia dapat bekerjasama.Sedangkan kasih adalah sifat Allah yang mutlak yang dianugerahkan kepada manusia untuk disalurkan kepada sesama untuk mendapatkan sukacita yang besar.Jadi bahasa kasih adalah sifat Allah yang mutlak yang dianugerahkan kepada manusia untuk disalurkan kepada sesama untuk mendapakan sukacita yang besar.

Bahasa kasih adalah sifat Allah yang diberikan,agar manusia dapat melakukannya kepada sesama.Setiap orang yang percaya kepada Allah memiliki potensi masing-masing untuk melayani Tuhan lewat kasih kepada sesama sesuai karunia masing-masaing,seperti jemaat di Korintus.Paulus dalam suratnya kepada jemaat diKorintus,ingin menegur mereka karena :

1.Jemaat diKorintus memakai keuntungan dagang demi kepentingan diri sendiri untuk membeli keadilan (daerah tersebut dikenal sebagai daerah strategis untuk  perdagangan,yang menghasilkan banyak keuntungan).

2.Jemaat di Korintus mempunyai banyak karunia,tetapi juga dipakai untuk kepentingan diri sendiri.

3.Paulus ingin memberi ajaran kepada jemaat agar mempunyai motivasi yaitu memuliakan Allah.

Dari surat Paulus ini,kita bisa melihat karakter kasih,yaitu :

1.Untuk bisa mengekang diri (tidak cemburu,tidak sombong,dll).Hal ini ditujukan agar manusia tidak sulit untuk mengekspresikan kasih itu kepada orang lain,yaitu untuk memuliakan Tuhan.

2.Bagaimana bisa memberikan diri untuk orang lain,belajar sabar dalam tantangan-tantangan,bermurah hati untuk orang lain,bersukacita untuk keadilan yang terjadi.

Marilah kita membuat orang-orang disekitar kita merasa damai dan bersukacita.Apa pun yang menjadi sifat Allah lakukanlah itu dalam kehidupan kita,lewat bahasa kasih dengan rendah hati.