header image
 

All posts in January 26th, 2015

LIDIA

Kisah Para Rasul 16:13-18

Lidia adalah seorang pedagang yang terkenal sukses. Ia dihormati dan disayangi teman-teman maupun rekan-rekan dagangnya di Makedonia, setelah ia pindah dari Tiatira. Meskipun sukses dan terkenal, Lidia mengetahui bahwa ada sesuatu yang kurang dalam kehidupannya, yaitu keselamatan jiwanya melalui Tuhan Yesus Kristus.

Semula Lidia adalah orang yang tidak mengenal Tuhan. Tetapi, sekitar tahun 30 M, ia menjadi anggota dari sekelompok kecil wanita Yahudi yang berkumpul untuk beribadah kepada Tuhan Allah. Di situlah ia mengenal serta percaya kepada Allah yang benar.

Rumah Lidia besar dan indah, tetapi karena mungkin keluarganya yang masih belum percaya melarang atau karena mungkin ia sendiri masih merasa segan untuk bergaul di mata umum dengan mereka yang beribadah kepada Allah yang benar, maka kelompok kecil tadi bertemu di tepi sungai untuk belajar firman Tuhan dan berdoa kepada-Nya.

Pada waktu Rasul Paulus berkesempatan untuk melayani kelompok ini, termasuk Lidia dengan ajaran firman Tuhan, mereka sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan Yesuslah Mesias yang telah datang. Jika tadinya Lidia agak malu untuk mengadakan pertemuan atau kebaktian di rumahnya, sekarang sifatnya yang mementingkan diri sendiri sudah berakhir. Segera setelah Paulus membaptiskan mereka di sungai kecil tersebut, Lidia memaksa supaya Paulus dan kawan-kawannya datang ke rumahnya. Wanita yang menarik, cakap, berani, dan berhasil dalam usahanya pada masa kaum wanita belum dapat melakukannya ini dipenuhi dengan keberanian baru yang melukiskan iman setiap orang percaya dalam gereja yang mula-mula. Rumahnya menjadi tempat pertemuan kelompok yang makin bertambah banyak ini. Paulus mengajar dan berdoa bersama-sama mereka.

Lidia tetap melanjutkan kegiatan dagangnya, tetapi pusat dari kehidupannya adalah Roh Kudus yang diam di dalam dirinya. Perlu kita hayati bahwa berpaling kepada Tuhan Yesus bukan tanda bagi seorang untuk meninggalkan pekerjaannya yang semula, dan mencari pekerjaan lain, kecuali bila hal itu melawan etika kristiani. Kita harus melayani Tuhan di mana pun kita berada sampai Dia memanggil kita ke tempat lain.

Lidia, sebagaimana banyak wanita Kristen yang terlibat dalam perdagangan, menghargai iman dan menghidupinya di tengah-tengah rekan-rekannya di dunia dagang.

Pernahkah Anda mendengar bahwa dagang itu licik? Mungkin itu benar, tetapi tidak mungkin semua pedagang demikian. Sebab ada juga pedagang-pedagang Kristen yang hati nurani kekristenan mereka tidak mengizinkan untuk melakukan penipuan dan ketidakjujuran di dalam pekerjaan mereka.

Lidia pasti menjumpai berbagai pencobaan yang sulit diatasi, tetapi ia tetap memberikan keluasan dan kebebasan akan kuasa Roh Kudus yang tinggal di dalam dirinya untuk menguasai dirinya dan memberikannya kemenangan atas segala godaan yang dihadapinya. Tanpa ragu-ragu, Lidia selalu bersaksi sebagai pengikut Tuhan Yesus, baik di toko maupun di tempat lain, di mana pun ia berada. Ia sungguh menghayati firman Tuhan di dalam Matius 5:16, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.”

Walaupun baru saja menemukan hidup baru di dalam Kristus, Lidia membuka rumahnya dan mencurahkan tenaganya bagi Tuhan. Ia masih berdagang, tetapi sekarang dengan cara yang memuliakan Allah. Ia melayani Tuhan di mana pun ia berada, baik di tempat kerjanya, maupun ketika mengadakan transaksi dagang dengan para langganannya dan rekan-rekannya. Ia memberikan kesempatan bagi Tuhan untuk menyelamatkan mereka yang perlu dijangkau melalui kesaksiannya. Mungkin ia tidak pernah menjadi pengkhotbah, tetapi ia menghayati iman Kristen yang sejati. Kepada sidang jemaat Tuhan Paulus menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku….” (Filipi 1:3,7)

Iman dan pelayanan Lidia dan kawan-kawannya menyenangkan Tuhan, sebab Lidia menjadikan Tuhan Yesus Tuhannya di dalam hidupnya bahkan di dalam pekerjaannya.

Helen Roseveare

helen roseveare

“ SEBELUM MEREKA MEMANGGIL AKU AKAN MENJAWAB! ”BEFORE THEY CALL, I WILL ANSWER!” (YESAYA 65:24)

Helen Roseveare adalah seorang doctor misionaris yang telah menghabiskan waktunya 20 tahun melayani di Congo. Ini adalah salah satu dari kisah kuasa Khalik kita yang memesonakan.

Pada satu malam kami sudah bekerja keras sekali menyelamatkan seorang ibu dan bayinya dalam melahirkan; tapi usaha kami tidak berhasil seluruhnya, sang ibu meninggal dan kami menghadapi masalah maha pelik bagaimana mengurus bayinya yang ditinggalkan dengan kakak perempuannya yang baru berusia dua tahun dan menangis terus menerus. Kami menghadapi kesulitan besar untuk mempertahankan sang bayi bisa hidup terus, karena kami tidak punya incubator. Jangankan incubator kami tidak punya listrik di kampung terpencil itu untuk itu, kalau pun kami punya incubatornya. Selain itu kami tidak punya alat khusus untuk memberikan minum bayi yang baru lahir di klinik kami yang sangat sederhana.

Walau benar kami hidup di daerah tropis, tapi malam hari sering kami mengalami tiupan angin dingin yang menggigilkan. Salah seorang perawat kami pergi mengambil sebuah kotak peti sabun yang digunakan untuk tempat tidur bayi yang baru lahir, dan pembungkus dari kapas yang khusus dibuat untuk menyelimuti bayi. Seorang lainnya pergi untuk memasang api dan memanaskan air untuk ditaruh dalam botol air dari karet. Dia datang kembali dengan penuh kecemasan dan kesedihan. Ternyata botol itu sudah lapuk karena terlalu tua dan sudah retak karena karetnya yang menjadi kering. “Itu adalah botol air panas kita yang terakhir!” ujarnya sambil menyeka air matanya dengan lengan bajunya.

Pepatah mengatakan sia-sia menangis untuk susu yang sudah tumpah, dan kami juga berpikir waktu itu percuma menangisi botol susu yang sudah lapuk. Botol susu tidak tumbuh di pohon hutan Afrika dan tidak ada toko atau supermarket sama sekali di daerah ini.
“Baiklah,” saya memberikan komando, “letakkan bayi itu sedekat mungkin ke perapian dan kalian tidur diantara bayi itu dan pintu dari mana angin malam bisa berhembus.”

Keesokan sorenya seperti biasa saya mengumpulkan para yatim piatu yang ada di yayasan anak piatu yang kami kelola dan memimpin mereka dalam doa petang seperti kebiasaan kami. Saya berikan masing-masing anak piatu itu satu hal yang harus mereka doakan, sambil menyebutkan juga keperluan sangat sangat mendesak untuk bayi kecil yang baru dilahirkan itu. Saya juga menceritakan bagaimana kakak sang bayi sedang menangis terus menerus karena ditinggalkan ibunya. Saya terangkan betapa kami menghadapi masalah besar karena tidak punya botol susu untuk memberikan minum kepada bayi itu, dan juga tentang botol air panas dari karet yang sudah lapuk. Bayi yang kecil itu besar kemungkinan akan mati kalau menderita kedinginan.

Seorang gadis piatu umur 10 tahun, Ruth, berdoa dengan logika sederhana seorang anak Afrika: “Tolong Tuhan,” begini dia berdoa, “tolong kirimkan botol air panas itu hari ini juga, karena kalau itu datang besok, sudah tidak ada gunanya, karena bayi itu akan mati.”

Saya tersentak mendengar doa itu dan merasa dia terlalu berani memerintah kepada Tuhan, namun dia melanjutkan lagi dengan: “Dan Tuhan, jangan lupa tolong kirimkan sebuah boneka kecil untuk kakaknya supaya dia berhenti menangis dan tahu bahwa Engkau mencintainya!”
Saya hampir menjerit dan pingsan mendengar doa yang saya rasa sangat tidak tahu aturan itu.

Saya tidak tahu apa saya bisa mengatakan “Amin” kepada doa yang saya rasa agak kelewatan batas ini. Memang benar saya percaya dia dapat berbuat apa saja, tidak ada batas kekuasaannya. Alkitab katakan itu, tapi bukankah ada batas-batasnya, juga memikirkan sikonnya. Ini tempat begitu terpencil, sulit perjalanan dilakukan ketempat itu.

Satu-satunya cara Tuhan bisa menjawab doa itu adalah dengan mengirimkan sebuah paket dari Amerika, dan saya sudah berada di Afrika lebih dua tahun saat itu dan tidak pernah menerima sepotong paket pun dari rumah. Disamping itu, kalau betul ada orang yang tersentuh mengirimkan sebuah paket untuk saya, siapa yang mungkin akan terpikir mengisi paket itu dengan sebuah botol air panas dari karet. Itu hanya biasanya diperlukan di daerah yang ada musim dingin sedangkan semua tahu saya ini sedang berada di daerah tropis. Haha!

Beberapa menit kemudian sementara kami masih mengadakan kebaktian, menyanyi dan membaca cerita Alkitab, dengan para perawat kami di ruangan tempat berlatih para perawat itu, ada yang memberitahukan bahwa sebuah mobil sedang berhenti didepan gubuk dimana saya tinggal. Saya tinggalkan ruangan kelas itu dan berjalan tergesa-gesa ke gubuk saya. Didepan pintu gubuk itu terletak sebuah paket sangat besar seberat sekitar 10 kg. Saya merasa seolah-olah jarum menusuk kedua mata saya dan air mata saya berhamburan dari situ.
Saya tidak sanggup membuka paket itu sendirian sebab itu saya memanggil anak-anak dari rumah piatu yang didekat situ. Bersama-sama kami mulai menguraikan tali-tali itu dengan hati-hati sehingga jangan kusut atau putus, karena setiap benda sangat berharga di kampong terpencil itu. Begitu juga dengan bungkusan kertasnya, dengan sangat teliti dan hati-hati kami buka supaya jangan sampai robek sama sekali.

Kegairahan mulai memuncak. Kira-kira empat puluh pasang mata terpusat pada kotak kardus yang besar itu. Dari tumpukan paling atas saya keluarkan pakaian-pakaian anak-anak untuk musim dingin yang berwarna warni sangat indah. Kemudian terdapat gulungan-gulungan perban dan plester yang tidak terlalu menarik bagi anak-anak kecil itu. Kemudian saya keluarkan sebuah dos berisi kismis dan buah kering yang dapat dibuat kueh istimewa di akhir pecan itu.
Kemudian, saya masukkan tangan saya lagi kedalam dos itu, dan meraba sesuatu, ah… mungkinkah…mungkinkah…Saya tarik keluar tangan saya dan semua mata melotot dan napas hampir semua kami tertahan beberapa detik lamanya…hanya dapat melongo heran… Benar… sebuah botol air panas yang baru terbuat dari karet!

Saya hanya dapat menangis dengan sangat terharu. Saya tidak pernah terpikir untuk meminta Tuhan mengirimkan botol air panas karet itu. Saya malah merasa mustahil itu akan bisa dilakukan oleh Tuhan, waktu kami berdoa tadi.

Ruth, yang berdiri paling depan dan melihat botol air panas itu segera berseru: “Kalau Tuhan sudah mengirimkan botol itu; Dia juga pasti sudah mengirimkan sebuah boneka untuk kakak dari bayi itu!”

Dengan tanpa diundang dia langsung memasukkan tangannya dan mulai mengorek-ngorek sampai ke dasar kotak karton itu, dan waktu dia merasakan sesuatu disitu dia segera mencekalnya dan menarik tangannya keluar dengan sebuah boneka yang sangat indah dengan pakaian boneka yang berwarna warni.

Mata si Ruth berkilauan dan berseru kepada saya: “Mamie, bolehkah saya membawa boneka ini kepada gadis kecil itu, supaya dia tahu bahwa Yesus sungguh mencintai dia?” Sebelum saya sempat menjawab dia sudah lari dengan boneka itu menuju ke klinik.

Saya duduk terjerembab dan tepekur penuh keharuan, keheranan dan syukur. Paket itu sudah dikirim dengan pos laut dan menempuh waktu lima bulan untuk sampai kesitu pada sore itu.

Seorang guru Sekolah Minggu di USA yang saya tidak kenal, telah merasa tergerak lima bulan yang lalu untuk memasukkan sebuah botol air panas karet ke Afrika karena merasa bisikan Tuhan yang menyuruhkan dia berbuat itu, walaupun yang lainnya merasa itu sesuatu yang tidak ada gunanya, bagi orang yang hidup di daerah tropis seperti Afrika itu. Dan lima bulan lalu juga ada seorang anak perempuan di Amerika yang telah tergerak untuk meletakkan dalam kotak itu boneka kesayangannya yang baru saja diterimanya beberapa minggu sebelumnya, untuk menjawab doa kepada Tuhan Allah yang dilayangkan seorang gadis Afrika yang lugu, lima bulan kemudian. Wow!

(Kisah ini dituliskan oleh Helen Roseveare, seorang misionaris medis dari England di Zaire, Afrika, dalam bukunya ‘Living Faith’ dan diterjemahkan secara bebas oleh Pdt. Sammy Wiriadinata Lee, dari Sydney Australia.)

Profile Helen :

Helen Roseveare, seorang misionaris, tabib, dan penulis, dikenal atas kesetiaan dan pelayanannya yang luar biasa kepada Tuhan. Dia dilahirkan di Herfordshire, Inggris, dan mengenyam pendidikan di Cambridge University, tempat dia bertobat pada tahun 1945. Di sinilah dia memenuhi persyaratan sebagai dokter. Pada tahun 1953, dia pergi ke Afrika dan mendirikan pusat medis di bawah naungan Worldwide Evangelization Crusade (WEC) di Kongo Belgia (sekarang disebut Zaire).

Ketika pemberontakan dan peperangan saudara meluas di Zaire pada tahun 1964, dia sangat menderita; dia ditangkap oleh gerakan pemberontak dan dipaksa meninggalkan daerah itu. Dari pengalaman ini, dia menulis buku: Doctor among Congo Rebels (1965), Give Me This Mountain (1966), dan Doctor Returns to Congo (1967). Karena pengalaman tersebut tidak menggoyahkannya, dia kembali dua tahun kemudian dan membantu mendirikan Evangelical Medical Center di Nyankunde.

Ketika dia kembali ke Inggris pada tahun 1973, dia mulai menulis lebih banyak tentang pengalaman-pengalaman penginjilannya. Pada tahun 1976, dia menerbitkan buku “He Gave Us a Valley”. Kemudian dia melayani sebagai staf di Missionary Training College dari WEC, di Glasgow, Scotland.

DIETRICH
PERKEMBANGAN SEJARAH DARI TEOLOGI BONHOEFFER
Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), adalah putra dari seorang ahli syaraf di Berlin, ia menempuh pendidikan di Universitas Tubingen dan Universitas Berlin, di mana ia menerima gelar doktor dalam teologi pada usia dua puluh satu. Ia menyelesaikan disertasi yang kedua pada tahun 1930, pada tahun yang sama ia juga mulai studi di Union Theological Seminary di New York selama satu tahun. Setelah kembali ke Jerman, Bonhoeffer sangat terinspirasi oleh Kari Barih, yaitu selama seminar yang dipimpin oleh guru neo-ortodoksi yang terkenal itu. Tahun 1931, ia menjadi pembina rohani di sekolah menengah atas dan kemudian mengajar di Universitas Berlin. Pada saat Adolph Hitler menjadi konselor di Jerman pada tahun 1933, Bonhoeffer sangat vokal dalam perlawanannya pada Naziisme dan pandangan tentang supremasi orang Jerman (saudara kembar perempuan Bonhoeffer bersuamikan orang Yahudi), Setelah pergi ke Inggris di tahun 1933, Bonhoeffer kembali pulang dan bergabung dengan “gereja Confessing” (Jerman : “Die bekenende Kirche”, gereja yang mengaku) dengan memimpin sebuah seminari yang telah ditutup oleh Nazi tahun 1937. Bonhoefer Juga dilarang untuk berbicara di hadapan publik atau menulis buku.

Setelah ia pergi ke Union Theological Seminary secara singkat di tahun 1939, sekembalinya ke Jerman ia langsung bergabung dengan perjuangan melawan Nazi, Bonhoeffer sendiri telah terlibat dalam untuk menggulingkan Hitler di tahun 1938. Tahun 1941, buku-bukunya dilarang untuk beredar, dan di tahun 1943 ia ditangkap dan dipenjarakan Di tempat itulah, ia menulis “Letters and Papers from Prison”, Ini merupakan karyanya yang terkenal. Pada waktu bukti muncul di permukaan bahwa ia terlibat dalam rencana pemboman melawan Hitler di tahun 1944. Dietrich Bonhoeffer dipenjara akibat tidak menyetujui prinsip-prinsip Nazi, dia dipenjarakan di Berlin sebelum akhirnya dieksekusi dengan hukuman gantung bulan April 1945 di Camp Konsentrasi Flossenburg, sekitar 80 KM sebelah utara kota Regensburg, Bayern.

PENGAKUAN DOKTRINAL DARI TEOLOGI BONHOEFFER
Dietrich Bonhoeffer sangat berhutang pada Kari Barth untuk teologinya, meskipun ia adalah seorang pemikir yang mandiri, Bagi Bonhoeffer, “agama” tidak dapat diterima; semua yang penting adalah suatu perjumpaan pribadi dengan Kristus la berbicara tentang Yesus sebagai “keberadaan untuk orang lain” dan seseorang yang “dapat dimiliki dan dipahami di tengah Firman-Nya dan Gereja.”

Bonhoetfer melihat Kristus aktif dalam kehidupan sekular. “Kristus bukan terasing dari dunia kita yang tidak religius. tetapi ia hadir di dalamnya la menghadapi orang-orang, bukan dalam proses kuno tentang penyesalan, iman, pertobatan, regenerasi dan pengudusan, tetapi dengan cara baru, yaitu melalui sikap-sikap mereka yang “tidak saleh” .Ini merupakan contoh terminologi Bonhoeffer yang ekstrim, yang menyebabkan cukup banyak perdebatan.

Letters and Papers from Prison yang sangat berpengaruh mengekspresikan penekanan Bonhoeffer pada pengorbanan dan disiplin: “Gereja, hanya disebut gereja bila ia eksis untuk yang lain. Untuk memulainya, gereja harus menyerahkan semua properti pada mereka yang membutuhkannya. Klergi harus hidup semata-mata dari kerelaan persembahan jemaatnya, atau bisa terlibat pada semacam panggilan sekular. Gereja harus terlibat dalam masalah sekular dari manusia pada bukan mendominasi, melainkan menolong dan melayani (Gasper, The fundamentalist Movement, 1930-1956, hlm 16).

Kekristenan yang tanpa agama. Suatu pertanyaan yang diperdebatkan adalah apakah yang maksudkan oleh Bonhoeffer dengan pernyataan “Kekristenan tanpa agama” yang mengandung teka-teki itu Sebagian orang memahami pernyataan itu secara positif, mengusulkan bahwa pemuridan duniawi di mana kehidupan ini dijalani dengan tanggung jawab “di bawah aspek Allah sebagai realitas terakhir” (Gasper, The fundamentalist Movement, 1930-1956, hlm 17). Hal itu bisa berarti suatu kehidupan yang berdisiplin dalam dunia ini sebagai seorang murid Kristus. Namun, teolog-teolog radikal di tahun 1960-an, juga mendapatkan dorongan pernyataan Bonhoeffer tentang Kekristenan tanpa agama. Oleh karena itu, sebagian orang memahami Bonhoeffer sebagai mengajarkan bahwa “manusia dewasa” yang telah sampai pada masanya harus belajar untuk hidup independen dari Allah.Bonhoeffer menolak pemikiran tentang “sakral” dan “sekular”; ia melihat kebutuhan untuk melayani Kristus di dunia dan bukan hanya di wilayah yang “sakral” dan “sekular”. Lebih jauh. dengan kedatangan ilmu pengetahuan, manusia dapat belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri di mana sebelumnya ia bergantung pada Allah.

Dengan melihat ketidak-bergantungan manusia pada Allah, Bonhoeffer mendeklarasikan, “manusia telah belajar untuk mandiri dalam semua pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang penting tanpa pertolongan ‘hipotesa kerja’ yang disebut ‘Allah.” (Ronald H Nash, The New Evangelicasm, Grand Rapids, Zondervan 1963 hlm 14); Bonhoeffer tidak menyangkali kegunaan dari ketidak-bergantungan pada Allah ini.

Tentu saja, Bonhoeffer membuat pernyataan dualistik yang telah membuat sukar untuk dimengerti, khususnya karena kematiannya yang mendadak telah menghentikan penjelasan yang lebih lanjut atau sistematis.

RINGKASAN EVALUASI DARI TEOLOGI BONHOEFFER
Masalah utama dalam tulisan-tulisan Bonhoeffer adalah bahwa ia meninggal sebelum tulisannya dikembangkan secara penuh. Tentu saja banyak pernyataan yang penuh teka-teki. Bonhoeffer sangat berhutang pada Kari Barth dan mengikuti teologi dialektik, yang terlihat dalam banyak pernyataan-pernyataan “kontradiksi” dari Bonhoeffer. Namun pada saat seseorang mengevaluasi tulisannya, maka ada satu hal yang benar: “Teolog-teolog “Allah adalah mati” yang sekular berakar pada tulisan-tulisan Bonhoeffer yang menekankan ketidak-bergantungan manusia pada Allah. Pernyataan-pernyataannya tentang kedewasaan manusia dalam ketidak-bergantungan pada Allah dengan keras melawan panggilan Kitab Suci untuk berpaling pada Allah dalam iman, yang berarti mengakui kelemahan seseorang (lihat, 2 Korintus 12:9-10).
* 2 Korintus 12:9-10
12:9 Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.
12:10 Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.

NOMMENSEN

“Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin” (Dr Ingwer Ludwig Nommensen)

Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki sebagai “Apostel Batak”?

Nommmensen adalah manusia biasa dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch Nordstrand, Jerman Utara itu dalam melepaskan animisme dan keterbelakangan dari peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan.

Maka tak heran, suatu kali dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr Justin Sihombing yang hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang Batak.

Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun. Di masa mudanya, ia lewati dengan menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG)

Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Konon, animesme masih kuat dalam kehidupan suku Batak.

Sepuluh tahun kemudian, dua penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi, mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Konon, pembunuhan dilakukan atas perintah Raja Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.

Impian dari kesederhanaan
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan hingga umur 10 tahun.

Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain. Ketika dokter yang merawatnya menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul ia akan memberitakan injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul dan ia pun sembuh.

Pada 1853, dengan keputusan yang matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda karena gagal menjadi kelasi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Akhirnya, ia pun melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.

Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu, pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.

Dari Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya, ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada Bangsa Belanda).

Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr H N Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak. Setelah mendapatkan mendapatkan informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.

Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.

Maka, setelah beberapa bulan tinggal di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan Silindung.

Di sana, suatu kali di puncak (dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.

Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.

Setelah berhasil menjalin persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja Aman Dari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang kini menjadi pusat gereja HKBP.

Setelah itu ia pergi ke Humbang dan tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan Belanda sedang terjadi, mereka pun batal melanjutkan perjalanan dan memutuskan agar kembali ke Silindung.

Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba (Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.

Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”, yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.

Dari Sigumpar, Nommensen bersama beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu” (perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada 1893 Pendeta J Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi, 1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.

Misi zending tak berhenti sampai di sana, Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16 Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar, Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum. Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane, Dolok Saribu hingga Onan Runggu.

Zending inkulturatif
Misi Nommensen memang penuh pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa dipulangkan ke Jerman.

Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada.

Barangkali, Gereja Dame adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak kondisiya sudah usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah Silindung, Tarutung.

Lokasinya di Desa Onan Sitahuru Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur.

Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan ibadah gereja dengan teratur.

Onan Sitahuru sendiri, sekitar 1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190 tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.

“Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861 telah berdiri gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar atas misi zending sebelumnya. Kemudian atas Nommensen pada 1862 di Parau Sorat, Pangaloan, Sigompulon; 1864 di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti, 1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan, Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar; 1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan, Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok, Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan 1922 di Jakarta.”

Sekarang, benih-benih itu telah berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA, sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904, ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.

Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.

Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya menjadi “Nommensen Memorial”.

Kini, Nommensen telah tiada, tapi karyanya tetap hidup. Ia telah menabur benih-benih cinta kasih sepanjang misinya untuk kita (Batak). Dan, sudahkah kita menuai buah cinta kasihnya itu kini? Semoga…

Biodata:
Lahir : Nordstand, 6 Februari 1834
Sidi : Minggu Palmarum 1849
Pendidikan : 1857 – 1861 sekolah pendeta di Lembaga Pekabaran Injil Rhein (RMG) Barmen, Jerman.
Ditahbiskan : Ditahbiskan menjadi pendeta pada 13 Oktober pada 1861.
Awal penginjilan : Pada 24 Desember 1861 berangkat dengan kapal “Partinax” menuju Sumatera dan tiba di Padang pada 16 Mei 1862.
Tiba di Tanah Batak : 23 Juni 1862
Jabatan penting : RMG Barmen mengangkatnya menjadi ephorus pada 1881.
Penghargaan : Gelar Honoris Causa diperoleh dari Universitas Bonn, Jerman pada 6 Februari 1904, tepat pada ulangtahunnya yang ke-70.
Wafat : Pada 23 Mei 1918 wafat dan dikebumikan di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba Samosir.

Penulis, Tonggo Simangunsong (wartawan Harian Global.)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis “Napak Tilas Dr Ingwer Ludwig Nommensen Apostel Batak”, Januari – 16 April 2007.

Sumber :  Harian Global dan Tonggo Press

 

HUDSON TAYLOR

Hudson Taylor

 

Tidak ada misionaris lain pada abad XIX sejak rasul Paulus yang memiliki visi lebih luas dan telah melakukan rencana penginjilan yang lebih sistematis terhadap wilayah geografis yang luas dari pada Hudson Taylor. Pandangan-pandangannya diarahkan dalam menjangkau Cina secara keseluruhan, seluruhnya 400 juta orang dan untuk tujuan akhir itulah ia bekerja keras meskipun tidak sendirian. la cakap dalam berorganisasi dan memiiiki kepribadian memikat sehingga banyak menarik pria dan wanita kepadanya dan juga pada pandangan-pandangannya. China Inland Mission adalah gagasannya dan penentu irama dari masa depan iman. Pada masa hidupnya tenaga misionaris di bawah dirinya berjumlah total lebih dari delapan ratus, dan dalam beberapa dasa warsa setelah kematiannya jumlah itu terus bertumbuh. Tetapi Hudson Taylor tidak mengembangkan visinya sendirian. Isteri pertamanya, Maria; sangat diperlukan dalam menyusun rencana yang dikerjakannya dan isteri keduanya, Jennie (yang dinikahinya setelah kematian Maria), berada di garis depan dalam melaksanakan rencananya. Kisah Taylor lebih dari kisah besar seorang pemimpin misi. Ini adalah kisah cinta, petualangan dan iman yang kokoh kepada Allah, meskipun bukan kisah sempurna dari seorang kudus yang diciptakan penulis biografi-nya.

Hudson Taylor dilahirkan di Yorkshire, Inggris tahun 1832. Ayahnya adalah seorang ahli farmasi selain pengkotbah awam Metodis dan ia menanamkan dalam pikiran dan hati anak lelakinya suatu kegairahan akan misi. Sebelum ia mencapai ulang tahunnya yang kelima Hudson Taylor kecil sudah mengatakan kepada para pengunjung bahwa ia suatu hari ingin menjadi misionaris, dan Cina adalah wilayah yang menarik minatnya.

Meskipun pembacaan Alkitab keluarga dan doa adalah bagian integral dari pertumbuhannya, Taylor tidak bertobat sampai ia berusia 17 tahun. Saat itu adalah musim panas tahun 1849 ketika ibunya sedang pergi untuk kunjungan yang lama ke seorang teman. Taylor muda sedang di rumah dan membaca-baca kertas-kertas di perpustakaan ayahnya ketika ia menemukan traktat-traktat religius. Ia lebih tertarik pada cerita-ceritanya dari pada aplikasi rohaninya, dan ia mengambil satu dan membacanya di luar. Saat ia membaca ia ditundukkan Tuhan dalam “keyakinan yang penuh sukacita … terang memancar dalam jiwanya oleh Roh Kudus … Tak ada satu hal di dunia untuk dilakukan kecuali dengan berlutut dan menerima Juruselamat dan Keselamatan-Nya, memuji Dia selama-lamanya.” Ketika ibunya kembali dua minggu kemudian dan ia diberitahu kabar itu, ia tidak terkejut. Ia mengisahkan kepadanya bagaimana dua minggu sebelumnya sementara di rumah temannya, ia tiba-tiba merasakan desakan untuk berdoa bagi keselamatannya, jadi ia pergi ke ruangannya dan berdoa sampai merasa pasti kalau doanya telah dijawab Allah.

Sejak saat itu, Taylor mulai memfokuskan tujuan-tujuannya pada pekerjaan misi di Cina. Meskipun penginjilan adalah motivasi satu-satunya, ia menyadari pentingnya mendapatkan suatu jalan masuk kepada orang-orang, sehingga pada usia 18 tahun ia memulai pelatihan dalam pengobatan, pertama sebagai asisten dokter di kota kecil dan kemudian sebagai peserta pelatihan di rumah sakit London. Selama masa ini, Taylor muda yang bergairah memulai program penyangkalan diri yang keras sebagai persiapan tambahan untuk pekerjaan misi. Itu adalah usaha untuk benar-benar hidup berdasarkan iman. Menu makannya tiap hari kurang mencukupi, satu pound apel (1 kg = 2.2 pound) dan sepotong roti setiap hari dan kamar lotengnya kosong dari segala kenikmatan yang biasa dirasakannya. la bahkan menolak untuk menagih gajinya yang sudah lama tak dibayar kepada majikannya. Pemikirannya adalah sederhana: “…. ketika saya ke luar dari Cina saya tidak akan memiliki klaim apapun terhadap siapapun; klaim saya satu-satunya hanyalah kepada Allah. Karena itu sungguh penting sebelum meninggalkan Inggris perlu belajar untuk menggerakkan manusia, melalui Allah dengan doa saja.” Doa saja tidak mempertahankan kesehatan Taylor. Kesehat-annya yang telah lemah menurun dengan menu makannya yang kurang dan kontaknya tiap hari dengan mayat yang terinfeksi tidak membantu situasinya juga. la terkena “demam yang menular” serta hampir mengakhiri hidupnya yang masih muda dan memaksanya menghentikan studinya selama beberapa bulan.

Bagi Taylor, melupakan keperluan fisik lebih mudah dibandingkan melupakan percintaannya. “Nn. V,” seperti yang disebutkan dalam surat-suratnya, telah men-jadi sasaran ungkapan kasih sayangnya. la adalah seorang guru musik muda, yang diperkenalkan oleh saudarinya, dan bagi Taylor itu adalah cinta pertamanya. Segera setelah pertemuan pertamanya ia menulis kepada saudarinya. “Saya tahu saya mencintainya. Pergi tanpa dia akan menjadikan dunia terasa hampa.” Tetapi nona Vaughn tidak memiliki visi untuk Cina. la memandang kegairahan Taylor untuk misi sebagai suatu khayalan yang segera berlalu, yakin bahwa Taylor tidak akan meninggalkan dia hanya untuk memenuhi impian liarnya di tanah asing. Taylor sama yakinnya bahwa nona Vaughn akan mengubah pikirannya dan mengikuti dia. Dua kali mereka bertunangan, tetapi tiap kali pertunangan itu putus. Komitmen Taylor kepada Allah ternyata lebih kuat dibandingkan cintanya ter-hadap wanita.

Lowongan Taylor untuk pergi ke Cina terbuka tanpa diduga. Rencana-rencananya untuk menyelesaikan pelatihan medis tiba-tiba terhenti ketika ada kabar di Inggris kalau Hung, seorang yang mengaku Kristen, telah menjadi kaisar di Cina. Prospek bahwa Cina terbuka bagi Injil adalah suatu jawaban doa bagi direktur-direktur dari Lembaga Penginjilan Cina (CES – Chinese Evangelization Society), yang mensponsori pelatihan medis Taylor, dan mereka begitu ingin supaya Taylor segera berangkat. Jadi, pada bulan September 1853, Taylor yang berusia 21 tahun berlayar ke Cina.

la tiba di Shanghai pada awal musim semi tahun 1854. Itu adalah tempat yang asing dan menyenangkan bagi seorang Inggris muda yang tidak pernah bepergian jauh dari kota asalnya Yorkshire. Shang­hai adalah kota yang dipenuhi kuil Budha beratap naga, jalan-jalanan yang sempit penuh gubug di pinggiran, kuli yang murah, dan wanita berkaki kecil yang taat, dan pria yang berambut ikal (ekor kuda), dan tempat tinggal internasional yang mewah. Taylor tinggal di pemukiman internasional sebagai tempat tinggalnya yang pertama dan segera merasa kesepian. CES adalah suatu organisasi misi yang tak terorganisasi dengan baik dan tidak ada orang di Cina yang menyambutnya atau bekerja dengan misionaris muda yang baru di-rekrut. Banyak misionaris di pe­mukiman internasional tetapi mereka memandang rendah kepada seorang pemuda tak berpendidikan, tak diutus yang memiliki keberanian untuk menyebut dirinya misionaris.

Segera setelah tiba, Taylor mendapati dirinya menghadapi kesulitan keuangan. Dukungan uang yang dijanjikan kepadanya tidak segera tiba dan uang yang dimilikinya hanya sedikit terutama menghadapi harga-harga yang terus membubung. Impian visi untuk menginjili Cina segera sirna dan ingatan akan masa kanak-kanaknya di Yorkshire membayangi dirinya, Perasaan rindu tanah asal memenuhi suratnya: “Oh, saya harap saya dapat mengatakan betapa cintanya, saya kepada kamu semua. Cinta yang saya miliki dalam surat saya hampir semuanya terpendam sehingga surat ini membiarkan saya merasakan kekuatannya. Saya tidak pernah tahu betapa saya mencintai kamu semua.”Usaha Taylor untuk menguasai bahasa Cina hanya menambah perasaan depresinya. Bulan-bulan pertamanya tinggal di Shanghai dipenuhi dengan jam belajar bahasa yang lama, dan ada saat ketika ia takut tidak pernah menguasai bahasa itu. Untungnya ia memiliki tempat curahan hati – hobinya bertanam dan mengumpulkan serangga. Suatu penghiburan yang lebih dalam baginya adalah imannya kepada Allah. Saat menulis kepada para direktur CES di Inggris ia memohon: “Berdoalah untuk saya, karena saya tertekan melampaui kekuatan, dan jika saja saya tidak mendapatkan bahwa Firman Allah itu makin berharga dan merasakan kehadiran-Nya ber-sama saya, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.”

Setelah beberapa bulan tinggal di pemukiman London Missionary Society, Taylor sementara waktu pindah ke luar dari pemukiman internasional dan membeli pondoknya sendiri yang ia gambarkan memiliki “duabelas kamar, pintu tanpa ujung, lorong yang banyak, akus di mana-mana dan semuanya dipenuhi debu, kotoran, sampah dan barang buangan.” Itu hampir sama sekali bukan tempat tinggal yang ideal. Dan lebih buruk lagi, terjadi perang sipil di dekat situ dan temperatur musim dingin yang menggigit menembus tembok-temboknya. Setelah beberapa bulan mandiri, ia bersyukur dapat kembali ke pemukiman internasional.

Taylor tidak pernah merasa bahagia tinggal di antara misionaris lain. Dalam pandangannya, mereka hidup dalam kemewahan. Tidak ada “tempat di dunia di mana misionaris lebih dihormati dari pada di Shanghai.” la memandang sebagian besar dari mereka malas dan memuaskan diri berlebihan dan lebih dari pada itu ia menganggap misionaris Amerika sebagai “sangat kotor dan vulgar.” Ia hanya ingin sekali menjauhi mereka terutama dari “kritik, fitnah dan komentar mereka yang kasar, sehingga kurang dari satu tahun setelah ia tiba di Cina ia mulai melakukan perjalanan ke pedalaman. Dalam salah satu perjalanan ini ia menelusuri sungai Yangtze dan berhenti di hampir enam puluh tempat pemukiman yang tidak pernah dikunjungi sebelumnya oleh misionaris Prostestan. Itu adalah saat yang menggairahkan baginya, kadang-kadang sendirian dan kadang-kadang bersama teman, tetapi yang lebih penting adalah bahwa itu merupakan pendidikan yang mencerahkan pikiran serta menambah bebannya untuk Cina pedalaman.

Misionaris telah menjadi pandangan umum di Shanghai, dan orang-orang Cina hanya sedikit memperhatikan mereka. Di peda­laman, situasinya berbeda sama sekali. Pada perjalanan awalnya, Taylor mendapati bahwa ia merupakan pemandangan baru dan orang-orang jauh lebih tertarik pada pakaian dan perilakunya dari pada pesannya. Baginya hanya ada satu penyelesaian yang masuk akal: menjadi orang Cina, mengadopsi pakaian dan kultur Cina. Misionaris-misionaris Cina telah lama mengikuti cara-cara Cina dan telah melayani dengan sukses besar, tetapi para misionaris Protestan menganggap hal itu sebagai cara radikal yang jauh dari metode-metode misionaris yang dapat diterima. Bagi mereka, kekristenan bukan suatu yang “resmi” kecuali dilakukan dengan kultur Barat.

Menjadi orang Cina adalah suatu cobaan rumit bagi Taylor muda yang berambut pirang dan dibesarkan di Yorkshire. Pantalon (celana yang lebar bawahnya) longgar yang “dua kaki terlalu lebar di sekitar pinggang,” dan “jubah sutera yang berat” dan juga “sepatu bertelapak datar” dengan jari-jari yang muncul ke luar sebenarnya sudah merupakan percobaan berat, tetapi bergabung dengan orang-orang Cina yang berambut hitam dan berambut ikal sangatlah penting.Usaha pertama Taylor untuk menghitamkan rambutnya menjadi gagal. Ujung atas rambutnya menghantam botol amonia dan membakar kulitnya dan hampir membutakan matanya. Untungnya, ada seorang dokter misionaris yang dekat dan dalam waktu satu minggu Taylor telah pulih kembali dan dapat ke luar dan bekerja lagi. Meskipun memperoleh pengalaman buruk, Taylor tetap melanjutkan rencana-rencana-nya dan “menyerahkan rambutnya untuk dikonde di atas oleh tukang cukur” dan menghitamkan rambut­nya. Tetapi pengalaman itu tidak menyenangkan. la mendapatkan “sungguh menyakitkan ketika untuk pertama kalinya kepala di-cukur sehingga kulit terasa peka ketika panas menyengat,” dan “penerapan cairan penghitam rambut selama lima dan enam jam berikut-nya tidak membantu mengurangi iritasinya.” Tetapi hasil akhirnya benar-benar berharga. Dengan be-berapa “rambut palsu yang ditanam” bersama rambutnya untuk membentuk rambut ikal/ekor kuda dan dengan beberapa kacamata Cina, Taylor bercampur dengan kerumunan orang; “Kamu tidak akan mengenal saya jika kamu menemui saya bersama orang Cina lain … saya tidak diduga sebagai orang asing.”

Meskipun Taylor merasa senang dengan penampilan bamnya, sebagian besar rekan misionarisnya kurang terkesan. la memalukan bagi mereka dan segera menjadi bahan ejekan. Bahkan keluarganya sendiri terkejut dengan berita itu. Tetapi jika Taylor pernah berpikir dua kali, ia tidak membiarkan mereka tahu, dan kebiasaannya memakai pakaian dan budaya Cina menjadi tanda khas dirinya. Bukan hanya ia dapat bergerak lebih bebas, tetapi pakaiannya juga lebih cocok dengan iklim dari pada pakaian barat. Salah se­orang rekan keliling Taylor bernama William Burn begitu terkesan dengan kemudahan dan kenyamanan Taylor sehingga ia sendiri menggunakan pakaian Cina.

Pakaian Cina bukan berarti menyelesaikan semua masalah Taylor saat bekerja di pedalaman. Saat ia bepergian dan membagikan perawatan medis ia mendapati diri­nya bersaing dengan dokter lokal, dan akibatnya ia diusir dalam bebe­rapa kesempatan. Bepergian juga suatu risiko. Dalam suatu kesem­patan, pelayan yang digaji Taylor untuk membawa barang-barangnya melarikan uang dan segala milik Taylor dan memaksa dia kembali ke Shanghai di mana ia bergabung dengan rekan misionaris sampai ia menerima sumbangan pribadi lewat surat dari Inggris – empat puluh poundsterling sesuai jumlah yang dicuri.

Taylor tidak mungkin dapat bertahan di Cina pada tahun-tahun awalnya tanpa bantuan sumbangan pribadi. Meskipun mengikuti pakaian dan kultur Cina dapat mengurangi pengeluarannya secara drastis, dukungan dari CES tak menentu dan jauh dari mencukupi kebutuhannya sehingga ia menuduh Lembaga itu “bertindak memalukan” dalam mendukung dia dan misionaris lain. Pada tahun 1857, setelah mengalami hubungan yang kurang baik dengan CES, ia ke luar. Sejak saat itu ia berdiri sendiri, dan masih mengembara tanpa tempat tinggal di pedalaman Cina. “tidak menganggur, tetapi tanpa tujuan,” seperti yang dikatakan oleh seorang misionaris tentang dirinya.

Kesepian pada masa-masa awal di Cina mengganggu diri Taylor. la sangat merindukan seorang isteri. Meskipun nona Vaughn menolak pergi bersamanya ke Cina, tetapi ia tidak dapat melupakannya; “Saya senang jika kamu memiliki berita tentang nona Vaughn. la mungkin mendapatkan seorang suami yang lebih kaya dan tampan tetapi saya bertanya apakah ia mendapatkan orang yang lebih saleh dari pada saya.” Akhirnya seteiah semua harapan pudar, Taylor memalingkan perhatiannya kepada Elizabeth Sissons, seorang wanita muda lain yang dikenalnya di Inggris. la menulis kepadanya dan meminta potongan rambutnya, dan seteiah ia menerimanya, ia tidak menunda lagi untuk mengajaknya menikah. Elizabeth menerima, tetapi itu hanya pertunangan yang pendek. Mungkin kabar tentang pakaian Cina dan rambut ikalnya telah menjadikan dia berhati-hati, tetapi apapun alasannya, ia tidak dapat menepati janjinya. la tidak menjawab surat-surat Taylor dan untuk sesaat Taylor merenung untuk “melupakan kegiatan misinya,” dan kembali ke Inggris untuk mendekati dia.

Saat itu adalah masa depresi dan ketidakpastian ketika Taylor tiba di Ningpo sebuah kota pelabuhan di selatan Shanghai, dan bertemu Maria Dyer. Untuk pertama kalinya tidak ada daya tarik romantis. Taylor masih memikirkan Elizabeth dan Maria masih belum yakin dengan orang Inggris berjubah Cina dan berambut ikal itu. la memiliki perasaan bercampur aduk: “Saya tidak dapat mengatakan saya mencintai dia saat itu, tetapi saya tertarik kepadanya dan tidak dapat melupakan dirinya. Saya melihat dirinya dari waktu ke waktu dan minat ini berlanjut. Saya tidak memiliki alasan yang baik untuk memikirkan bahwa hal ini dibalas; ia sangat rendah hati dan tidak pernah melakukan pendekatan apapun.” Jika Taylor kelihatan segan menunjukkan perasaan apapun bagi Maria, itu karena ia masih menunggu surat dari Elizabeth dan tanpa diragukan ia takut terhadap penolakan ketiga ketika ia menunjukkan minat pada Nn. Dyer. Tetapi dalam catatan hariannya ia menggambarkan Maria sebagai “ciptaan manis yang terkasih, memiliki semua kebaikan dari Nn. S dan lebih banyak lagi juga. la adalah sesosok gadis yang berharga, memiliki kualitas pribadi yang baik dan memiliki kegairahan tak kenal lelah untuk melakukan kebaikan bagi orang-orang miskin ini. Ia adalah seorang lady juga …” Mengenai “hal yang sangat nyata” dan “pandangan yang jelas pada matanya,” Taylor yang gelisah merasa bersyukur: “Saya merasakan hal itu memberikan kesempatan bagi saya memenangkan dirinya.”

Maria Dyer lahir di Cina dari orang tua misionaris. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil dan ibunya meninggal beberapa tahun kemudian. Setelah itu, Maria dan saudara lelaki dan perempuannya dikirim pulang ke London untuk pendidikan mereka; tetapi bagi Maria dan saudarinya Cina adalah rumah mereka. Mereka kembali ketika mereka pada usia remaja akhir untuk melayani sebagai guru di sekolah perempuan Nona Mary Ann Aldersey. Nona Aldersey adalah misionaris wanita pertama, dan ia membuka sekolah perem­puan pertama di negara yang didominasi pria. la adalah wanita yang benar-benar luar biasa, yang pengabdiannya kepada Tuhan dan misi tidak pernah dipertanyakan, tetapi dalam hubungan asmara antara Hudson Taylor dan Maria Dyer ia memainkan peran sebagai perusak kesenangan, dan sayangnya itulah peran yang ia ingat.

Pada bulan Maret 1857, beberapa bulan setelah Taylor dan Maria mengenal dekat, Taylor melakukan pendekatan pertamanya dan seperti gayanya yang biasa itu adalah pendekatan yang berani sebuah surat yang berisi proposal pernikahan. Seorang teman bersama mereka membawa surat itu kepada Maria sementara ia sedang mengajar di sekolah. Secara diam-diam Maria berharap surat itu berasal dari Taylor, tetapi ia me­nunggu sampai kelas itu selesai sebelum membukanya dan menemukan: “Saya kemudian membuka surat saya dan membaca ketertarikannya pada saya, dan bagaimana ia percaya Allah telah mem­berikan kepadanya cinta kepada saya yang ia rasakan. Saya hampir tidak mempercayai itu suatu realitas. Kelihatannya doa saya sudah terjawab … ia meminta saya menyetujui pertunangan dengan dirinya.” Taylor terus memohon kepada Maria untuk “tidak mengirim penolakan yang terburu-buru” dengan secara tidak langsung mengatakan kalau hal itu akan mengakibatkan “kesengsaraan yang mendalam” bagi dirinya. Tetapi tentu saja” dengan mempertimbangkan perasaan Maria terhadap diri­nya, rasa ketakutannya tidak beralasan. Tidak. Maria mengirim sebuah “penolakan tergesa-gesa”. “… Saya harus menjawab suratmu sebagaimana yang saya baca menurut petunjuk Allah. Dan kelihatannya sudah kewajiban saya menolak proposalmu….” Mengapa? Bagaimana guru misionaris muda ini secara tanpa malu memalingkan dirinya dari pria impiannya – suami yang telah ia doakan? Di sinilah peranan Nona Aldersey yang sangat mendominasi dan melindungi (orang yang dikasihi dan dihargai Maria) memasuki kisah tersebut. Ia mewakili remaja putri yang masih takut-takut itu dan mendiktekan tanggapannya dan setelah semuanya selesai, ia menulis kepada paman dan wali legal Maria di Inggris dan secara tegas menyebutkan alasan penolakannya pada Hudson Taylor. Penolakan-penolakannya? la tidak berpendidikan, tidak diutus, tidak berhubungan (dengan lembaga misio­naris), dan tidak tahu adat. Dan jika, itu belum cukup, ia pendek (Maria tinggi), dan ia memakai pakaian Cina.

Meskipun Taylor ditolak, ia “dengan kuat menduga bahwa halangan terletak pada Nona Aldersey,” dan ia menolak untuk menyerah. Pada bulan Juli 1857, beberapa bulan setelah mengirim surat proposalnya, Taylor secara diam-diam mengatur suatu “wawancara” dengan Maria di tengah kehadiran dari misionaris lain. Mereka berjabat tangan, saling menyatakan pendapat, berdoa, dan kemudian berpisah – suatu pertemuan yang kelihatannya tidak membahayakan, tetapi ternyata juga menimbulkan pertikaian di antara komunitas misionaris yang biasanya tenang. Nona Aldersey mengancam Taylor dengan tuntutan hukum; dan Pendeta W.A. Russell, pendukungnya yang paling kuat, menyarankan supaya Taylor “dicambuk.” Beberapa misionaris lebih tenang dalam reaksinya dengan menyatakan supaya Taylor kembali ke Inggris dan melanjutkan pendidikannya di sana supaya ia berharga bagi Maria. Tanggapan Maria cukup fasih: “Saya akan menunggu jika ia pulang ke negeri asal untuk meningkatkan kemampuannya. Tetapi jika ia meninggalkan pekerjaannya untuk mendapatkan nama guna menikahi saya? Jika ia mencintai saya lebih dari pada Yesus ia tidak layak untuk saya – jika ia meninggalkan pekerjaan Tuhan untuk kehormatan dunia, saya tidak ingin berhubungan dengan dia lagi.”

Sayangnya, pemikiran logis itu kalah. Maria harus tinggal dalam tahanan rumah, dan Pendeta Russell tidak mengijinkan ia berkomunikasi sampai ia “memberikan bukti pertobatan.” Dalam sebuah surat ke negara asalnya, Taylor menulis: “Maria yang terkasih dituduh sebagai maniak, fanatik, tak senonoh, berpikiran lemah, terlalu mudah diombang-ambingkan, terlalu keras kepala dan segala sesuatu yang buruk.”

Bulan-bulan berlalu dengan hanya satu pertemuan pendek di bulan Oktober. Kemudian pada pertengahan Nopember, dengan bantuan seorang yang bersimpati, dua kekasih itu bertemu secara diam-diam dan sungguh suatu per­temuan yang mengesankan! Selama enam jam menjadi kegembiraan yang luar biasa. Mereka diam-diam bertunangan, dan berangkulan dan berciuman dan berdoa dan berbicara dan saling berciuman lagi – tanpa harus minta maaf. Tulis Taylor, “Saya tidak berapa lama lagi bertunangan tanpa berusaha mengejar jumlah ciuman yang harus saya lakukan dalam beberapa bulan terakhir.”

Di negeri asal, di Inggris, William Tarn, paman dan penjaga Maria berada dalam kebingungan. la telah menerima surat bukan hanya dari Nona Aldersey tetapi juga dari Maria dan dari Tayior sendiri. Ribuan mil jauhnya, Tarn berada di luar perselisihan itu, dan pemikiran sehat mendorong dia untuk dengan tenang memeriksa siapa Hudson Taylor itu. Ia begitu terkesan dengan laporan-laporan yang didapat sehingga ia memberi­kan persetujuan tanpa syarat terhadap pertunangan itu, dan pada saat yang sama “menyalahkan”, “kurangnya kebijakan penghakiman” Nona Aldersey. Surat-suratnya tiba pada bulan Desember, dan pada bulan berikutnya, tanggal 20 Januari 1858, Hudson Taylor dan Maria menikah.

Maria adalah wanita yang sangat diperlukan Taylor untuk menghaluskan bagian-bagian kasar dari kepribadiannya dan membantu memfokuskan semangat dan ambisi-ambisinya dan sejak permulaan pernikahan mereka itu adalah suatu kemitraan. Mereka tetap di Ningpo selama tiga tahun di mana selama itu Taylor secara tanpa diharapkan masuk ke dalam profesi pengawasan rumah sakit lokal, suatu posisi di luar kemampuannya. Melalui pengalaman itu ia yakin bahwa ia memerlukan pelatihan medis lebih jauh, meskipun keputusan meninggalkan Cina tidaklah mudah.

Pada tahun 1860 keluarga Taylor tiba di Inggris untuk mudik panjang, suatu mudik yang akan memiliki beberapa tujuan. Baik Hudson dan Maria telah menderita masalah kesehatan yang parah, dan itu adalah saat bersantai dan me-mulihkan diri. Itu juga waktu untuk pendidikan lebih lanjut. Taylor mendaftar di rumah sakit London di mana ia menyelesaikan pelajaran Kimia Praktis, pelajaran kebidanan, dan diploma untuk keanggotaan ahli bedah di Royal College. Prioritas lain selama mudik adalah penyelesaian terjemahan. Yang ikut menyertai mereka ke tnggris adalah seorang asisten Cina dan bersama dia dan misionaris lain, Taylor melakukan revisi Perjanjian Baru Ningpo – suatu tugas berat, kadang-kadang menghabiskan banyak tenaganya, selama lebih dari tiga belas jam tiap hari. Tetapi kemajuan paling penting selama masa mudik mereka adalah pekerjaan organisasional mereka. Pada masa inilah didirikan Misi Pedalaman Cina (CIM – China Inland Mission).

Lembaga Misi Pedalaman Cina ini bukan gagasan orang yang ingin mendapat pengakuan atau mengepalai organisasinya sendiri. Sebaliknya itu adalah gagasan yang berkembang secara perlahan dalam pikiran dan hati seorang pria yang terbeban secara mendalam bagi jutaan orang Cina yang tidak pernah mendengar Injil. Saat Taylor berkeliling Inggris, orang-orang bukan saja tergerak bukan hanya oleh kefasihannya dalam berbicara dan juga pengetahuannya yang mengesankan tetapi juga oleh kegairahannya bagi jiwa-jiwa: “Jutaan orang perbulan mati tanpa Allah,” bergema di telinga para pendengarnya, dan banyak yang menanggapi. Dasar dari lembaga misi yang besar sedang diletakkan.

Lembaga CIM adalah lembaga misi yang unik, dibentuk berkisar pengalaman dan kepribadian Hudson Taylor yang unik. Itu ada­lah organisasi antar denominasi yang diarahkan terutama bagi kelas pekerja. Taylor tahu Cina tidak akan pernah diinjili kalau harus menunggu pendeta yang berpendidikan tinggi dan diutus, jadi ia mencari pria dan wanita yang berpengabdian di antara kelas pekerja Inggris yang jumlahnya besar. Dengan menghimbau pada segmen ini ia menghindari persaingan dengan dewan misi bagi misi di Cina supaya lebih responsif bagi kebutuhan para misionaris. Meskipun pada mulainya ia segan untuk mengendalikan, ia sadar akan perlunya kepemimpinan yang kuat, dan dengan berlewatnya waktu ia menjadi diktator yang sesungguhnya, meskipun selalu peka terhadap kebutuhan orang di bawah dirinya. Mengenai keuangan dan dukungan pribadi, para misionaris CIM tidak ditawari gaji tertentu tetapi bergantung sepenuhnya kepada Allah untuk kebutuhan mereka. Untuk menghindari penampilan dalam kebergantungan pada sumber daya manusia, persembahan dan bentuk himbauan ke­uangan lainnya dianggap sangat tabu.

Pada tahun 1865 CIM didirikan secara resmi, dan pada tahun berikutnya Taylor sekali lagi siap untuk pergi ke Cina. Yang bersama dengan dia adalah Maria, empat anaknya dan limabelas tenaga baru, termasuk tujuh wanita lajang yang siap untuk bersatu dengan delapan tenaga baru yang telah dikirim sebelumnya. Selama mudik, Taylor telah meninggalkan kesannya pada Inggris. Menurut perkataan Charles Haddon Spurgeon, “Cina, Cina, Cina sekarang bergema di telinga kami dalam cara yang khusus, aneh, musikal dan keras seperti yang diutarakan oleh Bp. Taylor.”

Pelayaran ke Cina itu benar-benar luar biasa. Sebelumnya belum pernah terjadi kelompok misi yang begitu besar berlayar dengan pendiri dan direktur misinya dan dampak pada kru kapalnya begitu dramatis. Pada saat mereka berlabuh di Cape, permainan kartu dan kutukan telah digantikan dengan pembacaan Alkitab dan lagu himne. Tetapi ada masalah-masalah lain juga. “Bibit-bibit sakit hati dan perpecahan” telah merambati mereka, dan kelompok yang sebelumnya harmonis itu mulai sumbang sebelum mencapai tujuan. Lewis Nicol, seorang tukang besi yang telah terlatih menjadi pemimpin kelompok pem-bangkang. la dan dua misionaris lain mulai membanding-bandingkan dan sampai pada kesimpulan bahwa mereka dari CIM telah menerima perlengkapan yang jauh di bawah rekan-rekannya dari Presbiterian dan misionaris lain. Bersama keluhan mereka bermunculan keluhan lainnya, dan Taylor segera mendapati dirinya diserang secara gencar dengan panah-panah beracun: “Perasaan di antara kami lebih buruk dari pada yang dapat saya bayangkan. Yang seorang iri karena yang lain memiliki terlalu banyak pakaian bagus, yang lainnya karena temannya mendapatkan perhatian lebih. Beberapa merasa terluka karena diskusi kontroversial lainnya, sehingga memaksimalkan usaha misi di Cina. Pengalamannya dengan CES menyebabkan dia mendirikan kantor-kantor cabang bagi misi di Cina supaya lebih responsif bagi kebutuhan para misionaris. Meskipun pada mulainya ia segan untuk mengendalikan, ia sadar akan perlunya kepemimpinan yang kuat, dan dengan berlewatnya waktu ia menjadi diktator yang sesungguhnya, meskipun selalu peka terhadap kebutuhan orang di bawah dirinya. ” Dengan menemui setiap misionaris “secara pribadi dan penuh kasih sayang” Taylor dapat menenangkan kebencian mereka, tetapi permusuhan yang ada di dalam tetap tinggal dan dengan segera memuncak dan hampir menghancurkan CIM yang masih begitu muda.

Pada saat tiba di Shanghai, Taylor memesan pakaian Cina buatan penjahit bagi setiap misio­naris. Para misionaris semuanya sadar akan pendirian tentang masalah pakaian Cina itu dan setuju dengan prinsip itu; meskipun demikian, perubahan yang dirumitkan oleh tekanan kejutan budaya, adalah pukulan psikologis yang brutal. Ketidaknyamanan awal yang diakibatkan pakaian dan penghitaman rambut sudah cukup merupakan siksaan, tetapi ejekan pada mereka oleh komunitas misionaris lain di Shanghai jauh melebihi kekuatan mereka dan situasinya jauh bertambah buruk setelah para misionaris pindah ke kemah CIM di Hangchow. Kepemimpinan Taylor ditantang dan sekali lagi misi itu diliputi per-selisihan. Bahkan pendukung Taylor paling loyal, Jennie Faulding dan Emily Blatchley, telah berselisih. Nicol dan yang lainnya menolak mentah-mentah untuk memakai pakaian lokal dan mulai bertemu secara terpisah untuk makan dan bersaat teduh. Situasinya tegang dan prospek pembaruan kelihatannya suram. Adakah hal yang dapat menyelamatkan impian visi ini dari kehancuran?

Harganya mahal, tetapi misi ini diselamatkan. Kejadian ini berlangsung selama musim panas tahun 1867, satu tahun setengah setelah para misionaris tiba di Cina. Gracie Taylor yang berusia delapan tahun serta dibanggakan ayahnya, menjadi sakit. Selama berhari-hari ayahnya duduk di sampingnya, memberikan bantuan medis terbaik yang dapat diberikan, tetapi situasi­nya tidak berubah. Iklim juga telah memakan korban lain; dan selama berjaga-jaga dengan Gracie ia melakukan urusan perjalanan lain selama satu hari, di mana saat itu ia dipanggil ke pos lain untuk merawat Jane McLean yang sakit kritis, salah satu dari misionarisnya yang menentang keras dirinya. Penyakitnya ternyata tidak seserius yang dibayangkan, dan ia segera sembuh; tetapi penundaan Taylor pulang ke rumah ternyata mengakibatkan Gracie dalam keadaan kritis. la mendiagnosa air di otak, tetapi ia terlambat tertolong. Dalam beberapa hari Gracie meninggal. Itu adalah tragedi yang menyedihkan, tetapi menyelamatkan CIM. Kedukaan itu dilupakan dan curahan simpati menyatukan para misionaris kecuali Nicol dan isterinya dan dua saudari lajang lainnya, yang salah satunya adalah Jane McLean. Pada musim gugur tahun 1867, Nicol “dikeluarkan” dari misi dan saudari-saudari McLean mengundurkan diri sehingga mengijinkan keluarga misi untuk bergerak dalam harmoni.

Kematian Gracie bukan berarti mengakhiri semua masalah CIM. Krisis lebih besar segera datang dan mereka berkisar dendam kesumat orang-orang Cina terhadap orang asing – permusuhan yang membesar di pedalaman. Serangan sengit pertama kali terjadi di Yangchow pada tahun 1868. Rumah misi diserang dan dibakar dan para misionaris termasuk Maria Taylor hampir saja tidak mampu menyelamatkan jiwanya. Meskipun para misionaris itu dalam keadaan damai, kelihatannya tidak masuk akal bahwa kejadian itu membuat mereka dianggap sebagai penghasut perang, meskipun bukan begitu kejadiannya. Meskipun Taylor tidak pernah berusaha membalas dendam atau bahkan meminta perlindungan Inggris, tetapi ada politisi pendukung perang yang memandang kejadian Yangcho sebagai alasan sempurna untuk mengirim kapal perang dari angkatan perang kerajaan untuk merendahkan Cina, dan CIM menanggung konsekuensinya. Meskipun tidak ada tembakan, Times dari London dengan putus asa menyatakan kalau “harga diri politis telah ternoda” dan menuduhnya sebagai kesalahan “para misionaris di bawah China Inland Mission.” Publikasi negatif yang berakibat parah. Dukungan keuangan berkurang banyak, dan tenaga baru kehilangan minat.

Sementara banyak kontroversi internasional seputar kejadian di Yangchow, para misionaris CIM dengan diam-diam kembali ke kota dan melanjutkan pelayanan. Keberanian mereka adalah kesaksian bagi orang-orang Cina yang telah mengamati perlakuan brutal mereka oleh sekelompok kecil pengacau dan pintu sekarang terbuka bagi kesaksian yang efektif. Sebuah gereja mulai berdiri dan menurut Emily Blatchley, “Para petobat berbeda dari yang pernah kami alami di Cina. Ada kehangatan dan kesungguhan di antara mereka.”

Kritik terhadap Taylor dan CIM tidak berakhir dengan kontroversi Yangchow. Para editor surat kabar dan warga biasa terus menentangnya sampai ia betul-betul dihabisi. la begitu putus asa sehingga kehilangan semangat untuk melan­jutkan, dan menyerah kepada “cobaan yang hebat … bahkan untuk mengakhiri hidupnya.” Sementara kekuatan-kekuatan luar ikut memperparah depresinya yang gelap, penyebab utamanya lebih terletak pada pergumulan di dalam dirinya: “Saya membenci diri saya; saya membenci dosa saya; tetapi saya tidak memiliki kekuatan mengalahkannya.” Makin kuat ia berusaha memperbaiki keadaan rohaninya, makin sedikit kepuasan yang diperoleh: “Setiap hari, hampir setiapjam, kesadaran akan kegagalan dan dosa menindas diri saya.” “Kapan semuanya berakhir? Tetapi perhatian salah seorang temannya menyelamatkan Taylor dari kehancuran mental yang parah. Sadar akan masalah Taylor, teman tersebut dalam suratnya menceritakan rahasia kehidupan rohani-nya: “Membiarkan Juruselamat saya yang penuh kasih bekerja dalam diri saya. Kehendak-Nya … tinggal selamanya, tidak berjuang atau bergumul … Bukan suatu perjuangan untuk memiliki iman, atau me-ningkatkan iman kita tetapi melihat orang-orang yang beriman adalah yang paling kita butuhkan. Bersandar sama sekali pada orang yang kita kasihi …” Dengan surat itu kehidupan Taylor telah berubah: “Allah telah menjadikan diri saya manusia baru.”

Pembaruan rohani Taylor terjadi saat ia membutuhkan kekuatan bagi dirinya saat menghadapi ujian pribadi yang hebat. Segera setelah Natal usai pada bulan Januari 1870, keluarga Taylor mulai melakukan persiapan untuk mengirim empat anak mereka yang lebih tua kem-bali ke Inggris untuk pendidikan mereka. Emily Blatchley, yang mengenal mereka dengan baik, menawarkan diri kembali bersama dengan mereka untuk memelihara mereka di Inggris, tetapi bagaimanapun juga itu adalah saat yang menimbulkan trauma bagi keluar­ga yang sangat dekat. Jadi karena keadaan itu, Sammy yang berusia lima tahun serta lemah tidak tahan. Ia meninggal pada awal Februari. Meskipun terjadi tragedi itu, mereka tetap mengirim anak-anak mereka. Pada bulan Maret, Taylor dengan sedih berpisah dengan ketiga anaknya, yang tidak dapat mengetahui bahwa ciuman dan pelukan mereka adalah yang terakhir bagi ibunya di dunia ini. Selama musim panas setelah itu, Maria yang sedang mengalami hamil tua, mengalami sakit serius. Pada awal Juli, ia melahirkan bayi laki-laki, yang hidup kurang dari dua minggu. Beberapa hari setelah kematiannya, Maria juga mening­gal pada usia 33 tahun.

Tanpa Maria, Taylor merasa kesepian. la banyak bergantung pada dukungan dan penilaiannya, dan ia sangat kehilangan kasih sayangnya yang hangat. la merindukan kebersamaan dengan se­orang wanita yang telah lama dirindukannya., dan hal itu tanpa ragu mempengaruhi keputusannya untuk mengunjungi Hangchow pada bulan-bulan setelah kematian Maria, di mana ia melewatkan waktu dengan Jennie Faulding, seorang misionaris lajang berusia 27 tahun yang merupakan teman keluarga dekat sejak datang ke Cina bersama keluarga Taylor. Tahun berikutnya mereka berlayar ke Inggris dan menikah.

Di Inggris, Taylor sangat bahagia untuk bertemu kembali dengan anak-anaknya, tetapi ia mendapati dirinya dibebani pekerjaan administratif. Sekretaris di tempat asalnya, W.T. Berger tidak mampu lagi memenuhi tanggung jawabnya sehingga sebagian besar dari tugas kantor jatuh di pundak Taylor. Selama mudik ia mengorganisasi dewan untuk mengambil alih tugas-tugas Berger, dan setelah masalah itu selesai, pada musim gugur 1872, ia dan Jennie kembali ke Cina.

Saat CIM bertumbuh, Taylor melewatkan sebagian besar waktunya berkeliling Cina untuk mengawasi pekerjaan di berbagai pos misi. Ia melayani sebagai penyelesaian masalah dan terus menerus dihadapkan pada penyelesaian masalah di seluruh propinsi Cina, selain kembali ke Inggris. Pada tahun 1874, setelah dua tahun absen, ia kembali ke Inggris untuk mengelompokkan kembali anak-anaknya, yang telah terpencar semenjak kesehatan Emily Blatchley yang kurang baik, yang membuat dia tidak mampu untuk melanjutkan perawatannya; dan sekali lagi pada tahun 1876 ia kembali untuk menjaga semangat agar tidak padam di negeri asal. Setiap kali ia kembali ke Cina ia membawa lebih banyak misionaris bersamanya, dan juga kontroversi bersama mereka. Meskipun CIM mengalami keberhasilan, kritik tetap saja ada, khususnya dengan kualitas misio­naris yang kurang baik. Pendidikan adalah suatu prestasi berharga bagi warga Inggris dan mereka yang tidak memilikinya dianggap golongan bawah.

Meskipun kurang memiliki pendidikan yang baik, tetapi para misionaris memiliki nilai lebih dalam pengabdian dan gairah mereka. Mereka bersedia melayani di pedalaman menghadapi bahaya dan kekurangan karena mereka telah melakukan pengorbanan besar hanya untuk pergi ke Cina. Elizabeth Wilson adalah salah satu misionaris itu. Selama bertahun-tahun ia rindu melayani Tuhan di Cina, tetapi karena kesehatan orang tuanya yang kurang baik, ia terhalang. Selama 30 tahun ia mela­yani mereka dengan sabar, dan kemudian pada usia 50 tahun, tiga minggu setelah orang tuanya yang terakhir meninggal, ia mendaftar ke CIM dan diterima. Usianya yang makin kelihatan dengan rambut peraknya, membuat dia menjadi penduduk terhormat di Cina dan melayani dengan setia.

Wanita lajang adalah pemandangan umum di CIM. Taylor telah lama mengenali bukan hanya kegigihan mereka untuk menjadi relawan tetapi juga potensi mereka dalam pelayanan. Ada keterbukaan di antara wanita Cina dan hanya misionaris wanita yang dapat menjangkau mereka secara efektif. Ujian yang sesungguhnya pada keyakinan Taylor terhadap wanita muncul pada tahun 1877 ketika ia kembali ke Inggris bersama Jennie dan anak-anak. Muncul kabar kelaparan hebat yang melanda Cina utara dan diperlukan bantuan untuk para korban. Itu akan menjadi kesempatan luar biasa bagi penginjilan dan ada banyak relawan wanita – tapi tanpa pemimpin. Taylor sendiri kurang sehat, dan siapa lagi mengenal Cina, orang-orangnya serta bahasanya dengan baik untuk memimpin kelompok misionaris? Jawabannya jelas – Jennie. Dengan meninggalkan seorang suami dalam keadaan kesehatan yang buruk dan tujuh anak (dua anaknya sendiri dan empat dari Maria, isteri pertama Taylor, dan seorang anak-angkat) bukan gagasannya tentang menjadi ibu yang baik, tetapi ia sadar bahwa pelayanan melebihi ikatan keluarganya sendiri dan Taylor dengan kuat mendorong dia untuk pergi. Menurut dia, para isteri misionaris bukan hanya isteri tetapi mereka juga misionaris. Saat menulis pada para calon misionaris yang berpotensi, ia telah menegaskan: “Jika anda tidak menginginkan agar isteri anda menjadi seorang misionaris dan bukan hanya sekedar isteri, ibu rumah tangga dan teman, jangan bergabung dengan kami. “Jennie adalah seorang “misionaris sejati”. Ditemani oleh para wanita lajang, ia berangkat menuju ke pedalaman Cina utara, di mana ia dan para mitranya melayani sampai Hudson bergabung bersamanya pada tahun berikutnya dengan membawa para tenaga baru.

Makin banyak pekerjaan dan kunjungan Hudson di Cina, makin besar bebannya untuk menginjili negeri dengan jumlah penduduk yang besar itu, meskipun tanggung jawabnya begitu besar: “Jiwa-jiwa yang ada sedang menuju kebinasaan karena kurangnya pengetahuan; lebih dari 1000 orang tiap jam mati dan masuk dalam kegelapan.” Kelihatannya ini tugas yang mustahil, tetapi Taylor memiliki rencana. Jika ia dapat mengumpulkan 1000 orang penginjil dan jika setiap penginjil itu dapat menjangkau 250 orang per hari dengan Injil, seluruh Cina dapat diinjili tiga tahun lebih sedikit. Tentu saja itu adalah visi yang tidak realistis, dan tujuannya tidak pernah tercapai, tetapi CIM meninggalkan kesan yang tak ter-hapuskan di Cina. Pada tahun 1882, CIM telah memasuki tiap propinsi dan pada tahun 1895, tigapuluh tahun setelah pendiriannya, CIM memiliki lebih dari 640 misionaris yang mengorbankan kehidupan mereka di Cina.

Keinginan Taylor menjangkau seluruh Cina dengan Injil tentu saja ambisi yang tinggi, tetapi tujuan itu mungkin menjadi kelemahan terbesar CIM. Dalam menjangkau seluruh Cina kebijakan penyebaran (dan bukannya konsentrasi) diterapkan. Menurut sejarawan misi ternama, Kenneth Scott Latourette, “Tujuan utama CIM adalah bukan untuk memenangkan petobat atau membangun gereja Cina, tetapi menyebarkan pengetahuan akan Injil Kristen di seluruh kekaisaran secepat mungkin… atau, meskipun para asisten Cina dipekerjakan, tidak ada penekanan pada perekrutan dan pelatihan dari sebuah pela­yanan Cina.” Kebijakan seperti itu tidak bijaksana. Permusuhan terhadap orang-orang asing dilampiaskan dalam pemberontakan Boxer, dan pengambilalihan oleh Komunis beberapa dasawarsa kemudian yang secara menyolok menggambarkan kelemahan bawaan dari kebijakan yang tidak mem­bangun pelayanan dan gereja lokal sebagai prioritas nomer satu.

Hari-hari yang suram berlangsung tidak hanya sebentar bagi CIM. Tahun-tahun akhir abad ke-19 adalah tahun-tahun penuh ketegangan dan kerusuhan. Kekuatan modernisasi (dan masuknya budaya Barat) bentrok dengan kekuatan tradisi dan bersikap menentang ter­hadap para orang asing. Dengan kekuatan-kekuatan imperial yang bergerak menuju ke sisi konservatif, posisi orang Barat menjadi berbahaya. Pada bulan Juni 1900 suatu ketetapan kaisar dari Peking memerintahkan pembunuhan semua orang asing dan pemusnahan kekristenan. Bencana terbesar dalam sejarah misi Protestan terjadi. Seratus tiga puluh lima misio­naris dan lima puluh tiga anak-anak misionaris dibunuh secara brutal, dan para misionaris pedalaman yang gagah berani yang banyak di antaranya adalah wanita lajang yang menderita paling banyak. Di Propinsi Shansi saja, sembilan puluh satu misionaris CIM dibantai.

Bagi Taylor yang diisolasi di Swiss, dan tengah memulihkan diri dari kelelahan mental dan fisik, kabar dari Cina meskipun disembunyikan oleh mereka yang merawat dia, menjadi terlalu berat bagi dirinya, dan ia tidak pernah pulih sepenuhnya dari trauma itu. Pada tahun 1902, ia mengundurkan diri dari posisi sebagai Direktur Umum dari misi itu, dan ia serta Jennie tinggal di Swiss sampai tahun 1904 saat Jenny meninggal. Tahun berikutnya Taylor kembali ke Cina, di mana ia meninggal pada bulan setelah ia tiba. Pada tahun-tahun berikutnya, CIM bertumbuh terus. Pada tahun 1914, CIM menjadi organisasi misi luar negeri yang terbesar di dunia, dan mencapai puncaknya pada tahun 1934 dengan 1368 misionaris. Setelah pengambil alihan oleh Komunis pada tahun 1950, CIM bersama dengan lembaga misi lainnya diusir dari Cina dan setelah melayani seratus tahun, CIM mengubah namanya pada tahun 1964 menjadi Persekutuan Misi Luar Negeri (OMF – Overseas Missionary Fellowship), suatu nama yang memberi petunjuk akan kegiatan misi mereka di wilayah Dunia Timur.

Kontribusi Hudson Taylor pada misi Kristen tidak dapat dihitung. Sulit membayangkan di mana keadaan misi sekarang tanpa visi dan pandangannya ke depan. Ia adalah “pemula muda” menurut istilah Ralph Winter, yang dampaknya pada misi Kristen menyaingi atau melebihi kegiatan William Carey suatu dampak yang digambarkan secara perseptif dalam ringkasan-nya akan perkembangan terakhir:

Dengan hanya pengobatan sekolah kejuruan, tanpa pengalaman universitas, apalagi pelatihan misi, dan masa lalu yang gagal dalam hubungannya dengan perilaku pribadinya sementara ia berada di lapangan, ia hanyalah salah satu dari hal kecil yang digunakan oleh Allah untuk membingungkan orang-orang pandai. Meskipun strategi misi penanaman anti-gereja pada awalnya secara mengejutkan banyak mengandung kesalahan menurut standar penanaman gereja pada masa sekarang. Meskipun demikian secara ajaib Allah menghormati dia karena pandangannya diarahkan pada orang-orang yang paling kurang dijangkau. Hudson Taylor memiliki hembusan ilahi di belakangnya. Roh Kudus menghindarkan dia dari banyak bahaya, dan organisasinya, China Inland Mission – organisasi pelayan paling kooperatif – yang pada akhirnya melayani dengan satu atau lain cara atas 6000 misio­naris, terutama di pedalaman Cina. Dibutuhkan 20 tahun bagi misi-misi lain untuk mulai bergabung dengan Taylor dalam penekanan khususnya wilayah-wilayah pedalaman yang tak terjangkau.

Sumber: FROM JERUSALEM TO IRIAN JAYA by RUTH TUCKER

Wanita Dalam Rancangan Allah.

Bacaan: Keluaran 2 : 1-10

Tidak terduga cara Allah bertindak dalam memelihara umat-Nya. “Siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat?” (Yesaya 40 :13) Bagaimanakah Dia berkarya dalam perikop ini? Dengan memakai tiga wanita dalam kehidupan Musa.

Pertama, ibu kandungnya. Yokhebed ( Keluaran 6 : 19) hanyalah wanita biasa. Ia adalah ibu rumah tangga sebuah keluarga Ibrani, keturunan Lewi. Nenek moyang mereka, yaitu Lewi, putra Yakub, pernah dikutuk kehilangan hak waris karena sifat kejamnya ( Kejadian 49 :5-7a). Namun, melalui Yokhebed, Musa lahir. Lewat keberanian dan kecerdikan si ibu, tiga bulan lamanya Musa dilindungi di rumahnya dari rencana keji Firaun untuk menumpas bayi-bayi lelaki Ibrani. Dengan hikmat Tuhan, Yokhebed kemudian menyembunyikan bayi Musa dalam sebuah peti pandan di tepi sungai Nil.

Kedua, kakak perempuan Musa. Anak remaja ini dengan berani dan setia menjaga sang adik yang disembunyikan di tepi sungai Nil itu. Tuhan memakai Miryam ( keluaran 15 : 20) untuk menjadi penghubung bagi ibu Musa untuk menjadi inang pengasuh putranya sendiri, yang nantinya diangkat anak oleh putri Firaun. Ketiga, ibu angkat Musa, yaitu sang putri Firaun. Dalam kedaulatan Tuhan, putri Firaun jadi jatuh hati dan mengangkat Musa sebagai anak. Dalam hikmat Tuhan, Musa mendapatkan perlindungan-Nya justru di rumah sang musuh, yaitu Firaun.

Sama seperti Tuhan memakai tiga wanita tersebut untuk memelihara Musa, yang kelak akan menyelamatkan umat Israel, demikianlah Tuhan memakai Maria. Gadis perawan itu melahirkan bayi Yesus yang akan menyelamatkan umat manusia. Baik Anda pria atau wanita, dari suku dan budaya bahkan bahasa apa pun, berpendidikan tinggi atau rendah, status sosial tinggi atau rendah, Tuhan mau memakai Anda menjadi alat anugerah-Nya untuk menggenapi rencana-Nya. Maukah dan siapkah Anda untuk Tuhan pakai?

 

Disadur dari Renungan Wanita Kristen

 

Maafkan Dia

Rasa gelisah dirasakan oleh Peter. Jangan-jangan Andrew marah. Mungkin dendam sama saya. Bisa jadi dia akan membalas dendam, kata Peter lirih. Alasan kegelisahan Peter adalah karena dia telah membuat Andrew, sahabatnya menjadi malu. Latar belakang hidup Andrew yang kurang baik tanpa sengaja terungkap melalui mulutnya. Padahal Andrew sudah menguburnya dalam-dalam dan sudah menunjukkan perubahan hidup. Apa yang dilakukan Peter berdampak pula pada karier Andrew. Pihak perusahaan di mana Andrew bekerja telah memutuskan untuk menunda promosi Andrew dengan pertimbangan latar belakangnya itu. Peter, kita pergi ke pantai yuk, ajak Andrew di suatu hari libur. Dengan menyimpan segudang pertanyaan di dalam hati, Peter terpaksa menerima ajakan sahabatnya itu. Mereka pun duduk berdampingan di atas pasir pantai. Sembari berbincang-bincang, jari Andrew mulai menulis sesuatu di pasir. Andrew menulis dengan huruf kapital dan dengan ukuran huruf yang cukup besar. Peter terbelalak ketika tulisan Andrew itu selesai, karena tulisan itu berbunyi kesalahan yang telah dibuat Peter dan akibat yang harus diterima Andrew. Ayo, kita ke sana untuk menikmati air laut ini, ajak Andrew sesaat setelah Peter membaca tulisannya. Peter tidak bisa menolak dan hanya mengangguk saja. Sekitar sepuluh menit mereka bermain air laut. Lalu, Andrew mengajak Peter kembali ke tempat semula. Tetapi, mereka tidak lagi menemukan tulisan itu, karena angin laut dan kaki orang-orang telah menghapusnya. Peter memberanikan diri bertanya, Mengapa kamu tulis kesalahan saya di atas pasir yang dengan mudah akan terhapus. Sebagaimana kita tidak melihat tulisan itu lagi di pasir ini, demikian juga saya tidak melihat lagi kesalahanmu di hatiku. Bahkan dampak dari kesalahanmu pun tidak tersimpan di hatiku. Aku telah memaafkanmu, kata Andrew. Biarlah itu menjadi masa lalu, lanjut Andrew. Peter pun hanya bisa terdiam malu. Paulus mengajak kita untuk tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Kor 13:5). Sejalan dengan itu, Amsal 17:9 berbunyi, Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib. Ini bukan nasihat untuk menyetujui atau kompromi dengan kesalahan dan pelanggaran. Kesalahan tetap kesalahan, pelanggaran tetap pelanggaran. Kesalahan harus tetap diperbaiki, pelanggaran harus tetap diluruskan. Yang berbuat salah atau yang melanggar juga harus tetap memperbaiki diri. Tetapi, bagi seorang sahabat, kesalahan sahabatnya bukan sesuatu yang harus menghantui kehidupannya. Dia tidak harus menjadi benci dan dendam. Bukan juga menjadi sesuatu yang harus mendapat balasan yang setimpal. Jangan sampai persahabatan yang sudah dibina bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Memaafkan, itulah kuncinya sehingga persahabatan tetap langgeng. Mari, buka hati, maafkan kesalahan sahabat dan terima dia kembali.

 

Disadur dari Renungan Manna Sorgawi

 

ANAK MUDA KRISTEN.
Baca:  2 Timotius 2 :18-26
Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni.”  2 Timotius 2:22

Dengan siapa kita bergaul akan membentuk kehidupan kita.  “Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.”  (Amsal 13:20).  Itulah akibatnya jika kita salah dalam memilih teman.  Terlebih-lebih di kota-kota besar fenomena kenakalan anak muda begitu marak terjadi:  pelajar merokok, terlibat tawuran, bolos sekolah, mengkonsumsi narkoba, dugem, bahkan seks bebas.

Sebagai anak-anak Tuhan kita harus memisahkan diri dari mereka.  “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.”  (Mazmur 119:9).  Kita harus makin giat di dalam Tuhan dengan tidak menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah  (baca Ibrani 10 : 25)  supaya pondasi iman kita kuat dan turut terlibat dalam pelayanan pemuda di gereja supaya kita memiliki teman-teman yang saling membangun, menguatkan dan mendorong kita untuk mengasihi Tuhan lebih lagi.  Firman Tuhan adalah perisai yang kuat untuk mempertahankan diri dari serangan iblis dan pengaruhnya.  Alkitab mengingatkan,  “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.”  (1 Petrus 5:8).  Iblis tahu benar titik lemah anak muda, karena itu ia berusaha untuk menggoda mereka dengan menawarkan segala kenikmatan supaya mereka terjerumus ke dalam dosa.  Mengapa kaum muda menjadi sasaran Iblis?  Karena kaum muda adalah tiang gereja dan juga masa depan gereja.

Rasul Paulus meminta Titus untuk menasihati para pemuda supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan terlebih dahulu memberikan teladan hidup  (baca  Titus 2 : 6-7).  Mengapa demikian?  Karena orang muda cenderung bersikap kritis dan butuh figur yang bisa ia jadikan panutan.  Memang tidak mudah bertahan di tengah gempuran dunia, apalagi jika kita mengandalkan kekuatan sendiri.  “Latihlah dirimu beribadah…bertekunlah dalam membaca Kitab-kitab Suci,”  (1 Timotius 4:7b, 13).

Jadilah pemuda Kristen yang berbeda dari dunia dan jangan terseret oleh arus dunia yang menyesatkan!

Disadur dari Renungan Harian Air Hidup

 

Cinta anda ditolak? Bersyukurlah.
Bersyukurlah ketika anda ditolak. Jelas yang saya maksud bukan, “sukurin!” Kenapa mengutuk selagi bisa mengucap berkat? (Lukas 6:31) Syukur yang saya maksudkan di sini adalah bersyukur dalam arti yang sebenarnya. Mengapa perlu bersyukur ketika anda ditolak?

1. Untuk mensyukuri bahwa anda setidaknya tahu bahwa dia bukanlah jodoh anda, mengetahui ini bukanlah waktu yang tepat untuk anda melangsungkan hubungan dengannya, atau bahkan mungkin itu bukanlah lokasi ‘penembakan’ yang tepat untuk anda. Kita seharusnya bersyukur karena walaupun mungkin dia bukan orang yang tepat, atau mungkin waktunya yang tidak tepat, maupun tempatnya yang tidak tepat, kita masih punya waktu-waktu lain, masih punya lokasi yang mungkin lebih romantis, atau bahkan jodoh yang tersembunyi di suatu tempat.

2.Alasan yang kedua karena anda bisa merasakan seperti apa yang dirasakan oleh Kristus, yakni penolakan dari umatNYA. Walau memang penolakan yang anda rasakan tidak serupa dengan yang Ia rasakan. Mengapa saya bilang beda? Karena penolakan yang Ia terima justru berasal dari umatNYA. Sebelumnya kita adalah milikNYA, tetapi kita menolakNYA, itu sama artinya dengan mengkhianati cinta yang telah lama berlangsung. Belum lagi ketika Kristus dihina setelah ditolak. Ibaratnya setelah putus cinta, sang mantan malah menghina, tentu Kristus akan merasakan rasa sakit hati yang luar biasa. Hal ini jelas berbeda dengan cinta yang sama sekali belum dimulai bukan? Ketika anda dikhianati, jelas anda harus berusaha untuk mengampuni, sama ketika Kristus juga mengampuni (Lukas 23:34). Bersyukurlah karena paling tidak kita merasakan sebagian kecil dari apa yang Kristus rasakan.

3.Anda tidak punya alasan untuk merasa tersakiti ketika ditolak. Kenapa anda tidak punya alasan untuk merasa tersakiti? Karena cinta tidak bisa dipaksakan. Ketika anda merasa tersakiti saat ia menolak anda, sebenarnya siapa yang sedang menyakiti diri anda? Jelas diri anda sendiri! Anda melakukan sesuatu yang menyakiti diri anda, dan anda malah menganggap orang lain sedang menyakiti anda? Sungguh suatu hal yang aneh bukan? Ingat saja pada Amsal 11:17

“Orang yang murah hati berbuat baik kepada diri sendiri, tetapi orang yang kejam menyiksa badannya sendiri.” Seperti yang saya bilang, ketika anda tersakiti, bersyukurlah. Selamat bersyukur.

 

 

Disadur dari Renungan Air Hidup

 

 

 

 

Cari Pacar Itu Gampang.

 

Nas bacaan alkitab Yakobus 1 : 12 – 18

“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” Yakobus 1 : 12

 

Sobat Muda, banyak orang dan terutama kamu-kamu yang jomblo akan protes dengan tema renungan ini. Mudah apanya? Susah kali, nggak gampang bro. Justru kita merasa yang paling susah dapat pacar dibanding teman-teman kita yang lain. Kita bisa lihat di fesbuk, selalu ada saja teman kita tiba-tiba berubah statusnya dari single jadi in a relationship. Bahkan ada teman kita mungkin suka gonta ganti pacar lebih cepat dari dia ganti hape. Mungkin dalam hati kita protes, apa yang salah dengan diriku? Kenapa aku susah banget dapat pacar? Kenapa aku ga seperti orang-orang yang mudah dapat pacar?

Sobat Muda, mari kita renungkan. Apakah mudah mencari pacar? Kalo kita orangnya suka marah, kasar, ga suka bergaul dengan orang lain, sombong, dll, itu jelas alasannya kenapa pacar ga juga hadir dalam kehidupan kita. Tapi, bagaimana kalo kita anak Tuhan yang baik, rendah hati, ramah, bahkan tampang pun tak kalah dibanding teman-temanmu yang sudah punya pacar. Justru baik kalo kita merasa mencari pacar/pasangan hidup itu nggak gampang. Why? Karena memang ga semua cowo/cewe layak menjadi pendamping hidupmu.

Sobat Muda, status jomblo dianggap sebagai hal yang malu-maluin. Tapi manakah yang lebih malu-maluin, jomblo sekian tahun kemudian dapat yang terbaik ataukah ga pernah jomblo tapi ga pernah dapat yang benar juga! Ayat renungan kita hari ini dalam Yakobus 1 : 12 “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” jadi penyemangat buat kita. Yup, masa-masa jomblo bisa jadi ujian buat anak-anak muda. Di masa inilah, kita diuji apakah kita bisa bertahan dengan ujian ini atau justru kita tak tahan uji. Tapi ingat Tuhan sudah atur semuanya buat kita, teruslah berusaha. Tuhan memberkati Firman-Nya. Amen.

 

Disadur dari Renungan Air Hidup

 

 

 

 

 

 

« Older Entries